Seorang pria berlari melewati koridor rumah sakit, disusul oleh seorang wanita yang tertinggal jauh. Ia terlalu cemas saat mendapat kabar bahwa sang adik bungsu mengalami kecelakaan. Ia membanting pintu ruang rawat Eisha. Para pemuda yang sejak tadi berjaga segera berpamitan. Tugas mereka telah selesai. Eisha juga sudah tersadar. Gadis itu sedari tadi melamun dan mengabaikan keberadaan teman-temannya.
"Eca, apa ada yang sakit? Abang panggil dokter untuk periksa Eca lagi, ya?" ujar Edzard menahan desakan air mata di pelupuk matanya.
Eisha menggeleng, "Eca mau pulang."
"Di sini dulu, ya? Abang khawati—"
"ECA MAU PULANG, ABANG!!!" teriak Eisha dengan air mata yang mengalir deras.
Suasana hatinya begitu kacau. Berada di rumah sakit hanya membuat kondisinya semakin buruk. Ia tidak suka tempat dengan bau obat-obatan yang begitu menyengat.
Seorang wanita berjingkat mendengar teriakan dari dalam. Ia segera mendongakkan kepala. Bukan sekali atau dua kali Eisha kehilangan kendali diri. Semenjak kepergian dia, emosi gadis itu tak pernah stabil. Gadis tersebut selalu memendam semua rasa sakitnya seorang diri. Di dunia ini, tak ada satu pun orang yang dipercaya oleh Eisha. Gadis yang bertahan hidup dengan berbagai topeng di wajahnya.
"Kita pulang. Eca jangan menangis lagi." Edzard hendak mengusap jejak air mata sang adik, tetapi langsung ditepis kasar oleh Eisha.
Elusan lembut di punggungnya, membuat Edzard menoleh. Ia tersenyum tipis kepada wanita yang telah menjadi istrinya. Wanita yang dipilihkan langsung oleh sang pelindung keluarga Evander.
"Aku tunggu Eca di sini, kamu temuin dokter sana," titah Zia menatap lamat wajah suaminya.
Setelah diizinkan pulang, Eisha terus menundukkan kepala. Zia yang duduk di samping sang adik ipar merengkuh tubuhnya. Ia menyandarkan kepala Eisha di dada. Tangis yang berusaha ditahannya kembali pecah. Setelah sekian lama, Eisha menunjukkan sisi rapuhnya. Gadis itu selalu sembunyi di balik sifat cerianya yang palsu.
"Ayo turun, udah sampe." Zia mengusap jejak air mata Eisha menggunakan ibu jarinya. Lalu menggandeng tangan gadis yang sangat berat melangkahkan kakinya ke dalam kediaman penuh luka itu. Semua kenangan bahagia telah terkubur dalam-dalam.
"Kak Zia jemput ponakan Eca dulu, ya!" pamitnya tersenyum hangat pada Eisha yang menatapnya datar. "Bang, aku pergi dulu."
Perlakuan manis pasangan suami-istri itu tak luput dari pandangan gadis yang segera memalingkan wajah. Setiap kali melihat keharmonisan mereka, ia selalu teringat akan rumah tangga kakak keduanya yang berantakan karenanya. Kakak ipar yang paling disayangi tak pernah lagi menunjukkan batang hidung selama lima tahun terakhir ini.
"Eca masih sanggup jalan? Atau mau Abang gendong?" tawar Edzard membuyarkan lamunan gadis yang menggelengkan kepala.
Keberadaan tuan dan nyonya Evander di ruang tamu membuat Eisha berhenti melangkah. Ia mencengkeram tangan sang abang. Saat tatapan tuan Evander mengarah pada mereka, Eisha langsung berlari ke lantai atas. Ia membuka pintu kamar secara kasar, lalu mencari dompetnya di lemari. Setelah menemukan, ia segera kembali ke lantai bawah. Berkali-kali Eisha tersandung oleh kakinya sendiri, tetapi gadis itu tak menyerah.
"I-ini buat ganti uang Abang. Eca tidak memiliki uang cash," tutur Eisha dengan suara bergetar. Ia menyerahkan tiga kartu ATM pada Edzard yang menatapnya dengan tatapan rumit.
Nona muda Evander meraih tangan sang abang, lalu meletakkan tiga kartu tersebut di telapak tangannya. Ia kembali ke kamar dengan langkah tergesa-gesa. Ia tak sempat menoleh ke arah kedua orangtuanya yang mengamati dalam diam. Rasa takut yang sudah mendarah daging membuatnya harus segera bertindak sebelum kemurkaan sang tuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EISHAYANG
Teen FictionKasih sayang dan cinta tak lagi melimpah ruah. Eisha tidak lebih dari seorang anak bungsu yang tak seberuntung bungsu lainnya. Hanya ada sosok kakak laki-laki kelima yang selalu berada di sisi Eisha. Lelaki yang tiba-tiba muncul di sekolah SMA Pelit...