Episode 28

48 42 52
                                    


Episode 28

Angin berhembus membelai surai kuning keemasan panjang, tubuh tinggi tegap itu beranjak dari tempat duduknya berjalan beberapa langkah menghampiri Arsy.

Reflek Arsy mundur beberapa langkah seakan Zein akan menerkamnya.

Melihat calon Istrinya terlihat menghindar, Zein menghentikan langkah kakinya lalu sedikit memutar tubuhnya menghadap arah lain.

"Kau terlihat enggan saat aku mendekati mu, apakah kau ada hubungan dengan wanita itu?"

Arsy memandang Zein penuh tanda tanya, ia tidak mengerti tentang wanita yang dimaksud calon Suaminya tersebut.

"Yang Mulia, maaf. Tapi … bukan begitu maksud saya, hanya saja …" Arsy tidak tahu bagaimana harus menjelaskan tentang jantung berdebar sangat kencang saat berada di dekat pria tersebut.

Zein memutar kepala menoleh pada gadis itu dengan tatapan penasaran.

Arsy mencengkram bajunya menahan rasa yang ada dalam dada."Tapi saya tidak tahu dengan wanita yang Anda maksud."

"Hanya saja apa?" Tanya Zein.

"Hanya saja setiap kali berada di dekat Yang Mulia bahkan melihat Anda, jantung saya sangat bermasalah," jelas Arsy sambil menundukkan kepala.

Zein menghela nafas, ia kembali memalingkan wajah ke arah lain."Bukankah kau mengatakan menyukaiku?"

"Eh?"

Reflek Arsy mendongakkan kepala mendengar pertanyaan Zein, ia berjalan cepat beberapa langkah dan tanpa sadar langsung menyentuh lengan berbalut baju warna kuning keemasan milik Zein.

"Tentu saja, Yang Mulia. Saya tidak lupa dengan perkataan saya, apakah Anda ragu?"

Pandangan mata Zein beralih pada jemari putih mungil milik gadis itu, ia tersenyum tipis melihat kebiasaan Arsy tidak berubah, selalu suka menyentuhnya tanpa permisi.

Menyadari tatapan mata Zein tertuju pada tangannya, Arsy langsung menarik tangan tersebut dan kembali menunduk malu.

"Kenapa kau bingung dengan jantung berdebar kencang? Apakah kau ingin aku menjelaskan bahwa kau jatuh cinta padaku?" Balas Zein.

Arsy kembali mengangkat pandangan sambil memikirkan kembali apa yang dikatakan pria bersurai kuning keemasan tersebut.

"Cinta? Apakah rasa suka dan rasa cinta itu beda?"

Zein memutar tubuh menghadap gadis itu, menatapnya dalam dengan senyum memikau.

"Bagaimana kalau aku menikah dengan wanita lain? Apakah kau sakit hati?"

Arsy tidak tahu harus menjawab apa, tentu saja dia akan sakit hati dan tidak rela, tapi ia sadar diri bahwa dirinya tidak pantas memiliki rasa itu terhadap seorang Pangeran.

Melihat tatapan sedih namun tidak mampu berkata jujur, Zein tersenyum sendiri. Gadis itu tidak mampu mengakui perasaan karena merasa rendah diri akan status, ia pun meraih tangan sang gadis lalu menariknya ke dalam pelukan.

Hangat serta nyaman bahkan merasa sangat terlindungi saat dirinya berada dalam pelukan pria yang sangat dicintai, tanpa sadar air mata Arsy mengalir bahkan kedua tangannya membalas pelukan sang Pangeran.

"Kenapa Yang Mulia tega pada saya? Manalah mungkin saya tidak akan bersedih kalau Yang Mulia menikah dengan wanita lain? Tapi apalah daya saya hanya seorang pelayan."

Zein mengeratkan pelukannya untuk memberi rasa ketenangan dalam hati gadis itu."Maaf, aku sudah memilihmu menjadi Istriku dan Permaisuri ku. Aku tidak akan pernah menarik kembali ucapanku, karena aku adalah seorang calon Raja."

Arsy mengangguk, setelah gadis itu merasa tenang, Zein melepaskan pelukannya.

"Kembalilah."

Arsy memandang bingung pria bersurai kuning keemasan tersebut, baru saja pria itu bersikap sangat lembut terhadap dirinya tapi sekarang memintanya kembali.

"Masih banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan," kata Zein lagi.

Arsy mengangguk, wajahnya memerah karena malu. Ia pun berjalan mundur beberapa langkah lalu meninggalkan ruang belajar Zein.

Pangeran Mahkota Kerajaan Bintang Tenggara tersenyum tipis melihat sikap malu-malu gadis itu, perbedaan usia antara dirinya dengan sang gadis cukup jauh tapi baginya Arsy terlihat sangat imut.

Zein memutar tubuh lalu berjalan menuju tempat duduknya, setelah duduk di kursi tersebut, ia terus memikirkan sosok wanita berbaju merah yang tega membunuh seorang Ibu dengan sangat sadis.

Di sisi lain…

Jiao Hua memutar bola matanya bosan  melihat Ne Shu memandang kalung pemberian Zein sambil senyum-senyum sendiri, seakan kalung itu adalah pemberian pacarnya.

Jiao Hua sengaja datang ke paviliun Adiknya hanya untuk memberikan kalung tersebut, saat itu ia melihat Ne Shu begitu kesal tapi sekarang terlihat begitu bahagia.

"Ne Shu, apa bagusnya kalung itu? Kalung itu terbuat dari helaian rambut Kak Zein dan batu sungai."

Ne Shu mengalihkan perhatiannya pada Jiao Hua lalu memperhatikan kembali kalung di tangannya.

"Bukankah artinya sangat bagus? Apakah Kakak ke 7 tidak ingat kalau rambut Kak Zein itu bisa berubah menjadi emas murni dengan harga jual tinggi ketika rambut itu lepas dari kepala Kak Zein?"

Jiao Hua mengingat kembali saat dirinya masih kecil, karena Jaya Negara murka akibat kenakalan dirinya, Sang Raja memberikan hukuman kurung, saat itu ia sangat kesepian dan tidak punya teman.

Jiao Hua memutuskan keluar diam-diam dari tempat itu lalu kabur dari Istana, namun dirinya tidak membawa sepeser pun pun uang, melihat surai hitam Zein membuatnya berpikir bahwa sebuah rambut bisa jadi emas untuk dijual.

Jiao Hua memotong rambut Zein saat pria itu tidur lalu menjualnya, ia sangat bahagia karena harga jual rambut yang beruban jadi emas murni itu bernilai tinggi, tapi setelah itu dirinya terluka karena kemarahan Zein hingga membuat dirinya terlempar jauh akibat tendangan pria bersurai kuning keemasan.

"Hahahaha."

Ne Shu mengerutkan kening melihat Jiao Hua tiba -tiba tertawa seakan melihat kejadian lucu.

"Apa yang kau tertawakan?"

"Tidak ada, aku hanya mengingat kejadian itu. Kakak pertama sangat marah karena rambutnya kupotong, aku bahkan tidak bisa turun dari kasur setelah menerima tendangan itu," jelas Jiao Hua.

"Salah sendiri, Kakak memotong rambut orang tanpa permisi," balas Ne Shu.

"Aku masih kecil, warna rambut Kakak pertama sangat terang seperti kilau emas. Jadi ku pikir itu asli emas," kilah Jiao Hua.

Ne Shu ikut tersenyum mendengar penjelasan Jiao Hua, tapi siapapun akan mengira kalau Zein membawa emas kemana-mana, surai milik Zein memang paling unik tidak seperti kebanyakan surai kuning keemasan.

"Aku akan menemui Kak Zein, aku akan mengucapkan terimakasih karena sudah membuatkan ku kalung."

Jiao Hua mengangkat kedua bahunya tidak peduli.

Koridor panjang…

Ne Shu mengerutkan kening saat melihat Arsy berjalan dengan ekspresi ceria, pipi merah merona.

"Ada apa dengan pelayan rendahan itu? Jangan-jangan dia telah melakukan sesuatu? Aku harus menyelidikinya."

Ne Shu mempercepat langkah kakinya lalu berhenti di depan Arsy dan menatapnya dengan angkug.

"Pelayan rendahan!"

Arsy menghentikan langkah kakinya."Salam, Yang Mulia Putri ke 9."

"Kau bersikap seperti menghormati ku, tapi sebenarnya kau sangat berani melawan ku," balas Ne Shu.

"Manalah mungkin saya berani melakukan itu, Yang Mulia. Saya hanya seorang pelayan dan Anda seorang Putri Raja," bantah Arsy sopan.

"Hmmp, dasar munafik! Bilang saja kau baru menggoda Kak Zein," sinis Ne Shu.

Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang