100 ribu prajurit telah berbaris rapi, mereka terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pemanah dan pasukan yang memakai tombak serta pedang.
Di barisan paling depan adalah Zein Zulkarnain dengan kuda putih, Arya Anggara dengan kuda hitam serta Mahesa dengan kura coklat.
Mereka berada di sisi utara Kerajaan Bulan, menunggu kabar selanjutnya dari Satria Dirgantara Mahardika.
"Yang Mulia, apakah kita akan menyerang sekarang?" tanya Mahesa tanpa menoleh pada Zein.
"Tunggu kabar dari Satria, tidak boleh melakukan tindakan gegabah," jawab Zein.
Mahesa dan Arya mengangguk setuju, mereka berdua bersama para prajurit pilihan bersiap menunggu perintah.
Sementara itu
Satria dan anak buahnya tersenyum senang membaca surat dari Zein, mereka tidak menyangka kalau pria berambut emas panjang itu benar-benar ingin membantu mereka.
"Jenderal, ternyata Pangeran Mahkota benar-benar tidak ingkar pada kita," kata Fatir dengan bahagia.
"Ya, meski dia sangat menyebalkan, tapi Zein selalu tepat janji. Sekarang kita akan bergabung dengan pasukan Bintang Tenggara, tapi aku berpesan pada kalian untuk tidak terpancing apapun dengan ucapannya." Satria menutup gulungan kecil berisi pesan dari Zein.
"Baik, Jenderal!" Fatir dan prajurit Bulan yang lain menyanggupi permintaan Satria.
Satria menoleh pada Fatir kemudian memberikan perintah,"Fatir, kamu pergilah bersama beberapa orang ke wilayah utara, pasukan Zein Zulkarnain sudah siap di sana. Kamu sampaikan pesan ku padanya, kita semua memberikan kebebasan pada pasukan Bintang Tenggara untuk menyerang Hundan."
"Baik, Jenderal." Fatir menyanggupi, setelah itu ia segera pergi menunggangi kuda bersama beberapa prajurit ke wilayah utara.
"Farhan, kamu bawa orang secukupnya untuk mengevakuasi penduduk! Pastikan mereka semua aman dari dampak peperangan ini!" Satria kini beralih pada Farhan, lalu memerintahkan pria itu.
"Baik, Jenderal." Farhan pun mematuhi perintah Satria, ia segera berjalan menunggangi kuda bersama beberapa prajurit.
Satria menutup mata sejenak kemudian membuka lagi."Sebentar lagi kita akan berperang secara terbuka, kalian semua harus ingat untuk tidak menyakiti rakyat kecil dengan sengaja."
"Baik, Jenderal!" Semua berseru dengan kompak dan penuh keberanian.
Markas pasukan Hundan
Ka Le Nan, Ku Ba Ngan dan Tong Sam Pah berdiri melingkari meja, di atas meja terdapat peta wilayah Bulan.
Ka Le Nan telah menandai titik-titik tertentu untuk menyerang rakyat Bulan.
Rong So Kan salah satu prajurit masuk memberikan laporan."Lapor Jenderal!"
Tong Sam Pah mengalihkan perhatian pada Rong So Kan."Ada apa?!" tanyanya dengan suara lantang.
"Perbatasan wilayah utara terdapat pasukan Bintang Tenggara, mereka berjumlah sekitar 100 ribu prajurit dan dipimpin oleh Pangeran Mahkota Zein Zulkarnain," terang Rong So Kan dengan posisi tegak.
Tong Sam Pah, Ka Le Nan dan Ku Ba Ngan terkejut, mereka tidak pernah berpikir bahwa Zein sungguh akan membantu Bulan dengan pasukannya.
"Selain Zein Zulkarnain, siapa lagi yang memimpin?" tanya Ka Le Nan berjalan cepat menghampiri Rong So Kan.
"Perdana menteri pertahanan Arya Anggara dan Jenderal Mahesa," jawab Rong So Kan.
"Sam Pah, kenapa mereka bisa di sini?" tanya Ka Le Nan mulai panik.
"Paman, aku juga tidak tahu. Zein Zulkarnain itu kemari awalnya hanya seorang diri, tapi sekarang kenapa membawa banyak pasukan?" jawab Tong Sam Pah juga tidak mengerti.
"Kita semua jangan panik, meski Zein Zulkarnain terkenal kemampuan kehebatannya, tapi dia bukan Jenderal perang. Aku yakin dia tidak bisa perang," kata Ku Ba Ngan berusaha menenangkan mereka namun dalam hati ia bahkan lebih panik.
Tong Sam Pah dan Ka Le Nan menatap Ku Ba Ngan tajam."Kau pikir dia itu manusia bodoh?! Dia menjadi seorang Pangeran Mahkota adalah kerenan kemampuannya dalam segi apapun!" kata Ka Le Nan dengan emosi.
Ku Ba Ngan diam seketika, ia yakin semua panik kalau Zein, Mahesa dan Arya sudah memimpin perang karena mereka bertiga pasti membawa pasukan terbaik bukan pasukan biasa.
"Tong Sam Pah, kau bawa pasukan menghadapi Satria dan pasukan Bulan! Ku Ba Ngan, kau bawa pasukan untuk memusnahkan semua rakyat Bulan dan aku akan menghadapi Zein Zulkarnain." Ku Ba Ngan memberikan perintah pada Tong Sam Pah dan Ka Le Nan.
Ka Le Nan dan Tong Sam Pah mengangguk, mereka tidak punya pilihan selain menjalankan perintah.
Ka Le Nan dan Tong Sam Pah meninggalkan markas pasukan dengan membawa prajurit masing-masing.
Ku Ba Ngan mengepalkan tangan menahan emosi, ia segera berbalik dan mengambil pedang kemudian berjalan menuju kuda hitam miliknya.
Fatir melihat dari pasukan kerajaan Bintang Tenggara dari bendera warna hijau dengan tulisan huruf arab dan bulan bintang di tengahnya.
Fatir semakin mempercepat laju kuda dengan mengibarkan bendera warna biru dengan lambang bulan sabit agar Zein dan pasukan Bintang Tenggara tahu bahwa dirinya bukan musuh.
"Yang Mulia, sepertinya utusan Jenderal Satria datang kemari," kata Mahesa tanpa mengalihkan perhatian pada Zein, tatapan mata pria itu tidak teralihkan dari bendera di tangan Fatir.
"Tapi kenapa dia datang bersama pasukan meski hanya sedikit?" tanya Mahesa tidak mengerti.
"Di sini banyak pasukan Hundan yang mungkin bersembunyi mengintai mereka, tidak mungkin mereka keluar tanpa persiapan," jawab Zein tanpa mengalihkan perhatian dari Fatir dan pasukannya.
Fatir memerintahkan pasukan untuk berhenti, ia turun dari kuda lalu berjalan beberapa langkah menghampiri Zein yang masih duduk di atas kuda.
Sebuah anak panah melesat ke arah Fatir dengan cepat dan kuat, Zein melihat anak panah itu langsung melompat turun dari kuda dan menangkis serangan anak panah tersebut menggunakan pedang.
Sontak Mahesa dan Arya Anggara memerintahkan pasukan untuk melindungi Zein bersiap membalas serangan.
Fatir dan prajurit Bulan yang ikut bersama Fatir sedikit terkejut, mereka sama sekali tidak menyadari serangan tersebut namun mereka bersyukur karena Zein menyelamatkan Fatir.
"Katakan! Pesan apa yang kau bawa dari Satria?" kata Zein masih memunggungi Fatir, posisi pedang di tangannya masih siap menyerang.
Fatir memutar tubuh memunggungi Zein, dalam peperangan adu punggung lebih menguntungkan daripada adu wajah.
"Yang Mulia, Jenderal Satria berpesan, Anda dan pasukan Bintang Tenggara bebas melakukan penyerangan terhadap Hundan."
Zein Zulkarnain tersenyum tipis."Baiklah, kau bisa kembali sekarang. Tidak perlu mengkhawatirkannya wilayah utara, pasukan Hundan akan merasakan akibat menyerang di depan ku."
"Baik, Yang Mulia." Fatir meninggalkan Zein dan pasukan Bintang Tenggara setelah memberi hormat pada Zein.
Serangan anak panah belum nampak lagi, Zein yakin mereka masih mengintai dari tempat yang tidak terlihat.
Zein membalikkan tubuh dan kembali menaiki kuda, setelah itu menyimpan pedangnya.
Zein menekuk tiga jari dan membiarkan jari telunjuk dan jari tengah tetap berdiri, ia menggerakkan tangan yang satu di depan dada dengan posisi empat jari merapat dan berdiri tegak namun ibu jari sedikit ditekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati
RomansaArsy seorang pelayan jatuh cinta pada pandangan pertama pada Zein Zulkarnain, seorang putra mahkota kerajaan Bintang Tenggara. Sayangnya pria bersurai kuning keemasan itu sangat sulit untuk didekati bahkan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyq...