Episode 53

15 8 9
                                    

Afzam duduk di meja makan, di depannya terdapat berbagai macam jenis minuman memabukkan, seteguk demi seteguk air laknat itu masuk ke dalam tubuh.

Mahesa duduk di depan Afzam, sengaja mengikuti pria tersebut karena merasa tidak tega, mencintai seseorang yang mencintai pria lain.

"Yang Mulia Pangeran ke delapan, Anda sudah minum terlalu banyak. Mari saya antar ke kamar."

Dengan mata sendu Afzam menatap Mahesa, ia telah mabuk oleh minuman laknat dan sakit hati karena cinta.

"Apa bagusnya Kak Zein? Dia tidak pantas mendapatkan gadis sebaik Arsy, meski hanya seorang pelayan, tapi aku mencintai Arsy." Pengaruh alkohol membuat Afzam berbicara tanpa sadar, semua perasaan dan sakit hati diluapkan di depan Mahesa.

"Tapi Yang Mulia juga tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksa, lagi pula ..." Mahesa menghentikan ucapannya sejenak, ia menatap Afzam heran.

Afzam menatap Mahesa penasaran."Lagipula apa?"

"Bukankah Yang Mulia Pangeran Mahkota baru datang beberapa Minggu, sedangkan Arsy sudah lama di istana, Pangeran juga di istana. Kenapa Pangeran tidak mendekati Arsy? Pangeran bahkan membiarkan Arsy disiksa oleh Putri Ne Shu dan Selir Sekar." Mahesa melanjutkan ucapannya.

"Kau pikir Istana Bintang Tenggara itu hanya seluas daun kelor? Aku bahkan baru bertemu Arsy setelah dia bertemu Kak Zein, aku tidak tahu selama ini dia sembunyi dimana." Afzam semakin terpuruk.

"Kau seorang Pangeran bisa punya alasan seperti itu," batin Mahesa tidak habis pikir.

"Baiklah, saya akan membantu Yang Mulia Pangeran ke delapan masuk ke kamar." Mahesa bangkit dari tempat duduknya mendekati Afzam lalu membantu pria itu berjalan, tidak peduli dengan sikap penolakan dari sang Pangeran.

Di dalam kamar penginapan

"Permaisuri."

Arsy terkejut mendengar suara sang Suami, ia mengangkat kepala memandang Suaminya.

"Yang Mulia, Anda sudah siuman."

"Apakah kau sungguh mengharapkan cinta ku?" Iris safir Zein bergulir memandang sang Istri.

Arsy tersentak mendengar pertanyaan Zein."Yang Mulia, saya tidak akan memaksa lagi. Saya tidak ingin Yang Mulia pingsan lagi."

"Jika nanti ternyata kau keturunan Iblis dan Manusia, apakah kau bisa melihat ku membunuh bangsa Iblis?" Zein melanjutkan pertanyaan.

"Yang Mulia, saya dapat pastikan bahwa saya akan selalu mendukung Yang Mulia. Saya bukan keturunan Iblis, jadi ... Bisakah Yang Mulia mencintai saya?" Arsy menjawab dengan penuh keyakinan.

Perlahan Zein bangkit dari posisi berbaring, duduk sambil menatap sang Istri.

"Aku telah memberikan cinta ku padamu saat aku menikahi mu, tapi aku tidak ingin kau kecewa bila nanti aku harus meninggalkan mu demi negara."

Arsy sangat terkejut, selama ini pria itu telah mencintainya tapi tidak mau berkata jujur.

"Yang Mulia, saya tahu Anda memikul tanggung jawab besar. Saya tidak akan menyesal mencintai dan mendapatkan cinta Anda."

"Benarkah?" Zein meraih tangan gadis itu, membawanya lebih dekat.

"Kau adalah calon Ratu Bintang Tenggara, aku harap kau bisa belajar mencintai rakyat."

"Saya mengerti, tapi apakah Anda tidak ingin menikah lagi?" Arsy berharap jawabannya adalah tidak.

Zein tersenyum manis, ini adalah pertama kalinya Arsy melihat Zein tersenyum manis padanya bukan hanya senyum tipis.

"Yang Mulia, Anda sangat tampan saat tersenyum."

Zein terkekeh pelan, ia tahu kalau gadis itu sangat memujanya, setia hari hanya memikirkan cinta dan mendambakan dirinya.

" Permaisuri, ini sudah malam, bagaimana kalau kau membantuku membuat garis keturunan?"

Arsy memandang bingung sang Suami."Yang Mulia, maksud Anda?"

"Ada sesuatu yang berdiri namun bukan tiang," jawab Zein dengan senyum menggoda.

Wajah Arsy memerah mendengar ucapan isyarat Zein, tidak disangka rupanya pria itu mesum juga."Yang Mulia, Anda adalah Suami saya, saya tidak memiliki hak untuk menolak keinginan Anda."

Gadis itu menunduk menyembunyikan rasa malunya.

Zein mengangkat tangan meraih wajah cantik tersebut, mengangkat wajah itu menggunakan jari telunjuk."Lihat aku, Sayang. Jangan alihkan perhatian mu."

Arsy mengikuti keinginan Zein, mendongakkan pandangan menatap paras tampan tersebut.

Tersenyum malu-malu menatap sosok di depannya."Yang Mulia."

Perlahan Zein membaringkan tubuh mungil tersebut, menatap penuh kasih.

Di depan pintu, Mahesa berniat mengetuk pintu setelah mengantar Afzam ke kamar, ia mengurungkan niatnya mendengar suara aneh dari dalam.

"Ahhh...."

"Pelan-pelan, Yang Mulia."

"Ugh..."

"Apa yang sebenarnya terjadi di dalam? Apakah ..." Tiba-tiba wajah Mahesa menjadi panas membayangkan adegan di dalam.

Ia menatap kesal pintu tersebut."Kenapa tidak dilengkapi peredam suara? Jomblo seperti ku jadi berfikir liar."

Tidak tahan dengan suara desahan tersebut, Mahesa memutuskan untuk kembali ke kamar Afzam.

***

Mentari malu-malu menampakkan sinar, kicau burung bernyanyi dengan iringan hembusan angin sepoi-sepoi.

Menerobos masuk di sela-sela jendela, membangunkan sosok cantik berselimut kain.

Gadis cantik menoleh ke samping, terlihat sosok pria tampan masih terlelap dalam tidur, bibir mungil tersenyum manis."Yang Mulia, terimakasih sudah mencintai saya. Saya akan selalu setia pada Anda."

"Hm."

Arsy terkejut mendengar gumaman sang Suami, rupanya pria itu sudah bangun namun tidak membangunkan dirinya.

"Yang Mulia, Anda sudah bangun?"

Perlahan Zein membuka matanya, melirik sang Istri, gadis itu terlihat terkejut.

Ia kembali mengalihkan perhatian ke arah lain, lalu bangkit dari tempat tidur.

"Permaisuri, aku ada urusan sebentar." Zein berjalan meninggalkan sang Istri.

Arsy mengangguk, pandangan mata memperhatikan punggung tegap sang Suami yang menghilang di balik pintu kamar mandi.

Di lantai satu, Afzam duduk dengan  malas di salah satu meja, di depannya sudah terdapat berbagai macam hidangan.

Tak lama kemudian Mahesa datang, ia duduk di depan Afzam.

"Tidak sopan sekali kau, tanpa memberikan hormat langsung duduk di depan seorang Pangeran," kata Afzam menyindir Mahesa.

"Mohon maaf, Yang Mulia. Lebih tidak sopan mana saya dengan seorang pria yang mencintai Istri saudaranya sendiri," balas Mahesa tanpa rasa takut.

"Kau ..." Afzam mengangkat tangan menunjuk Mahesa, mata menatap galak seakan bola mata hampir keluar.

Mahesa menyeringai melihat sikap Afzam, baginya tidak ada yang pantas dihormati selain Zein.

"Yang Mulia, saya rasa Anda sudah tahu seperti apa saya. Saya tidak akan menundukkan kepala selain pada Yang Mulia Pangeran Mahkota."

Afzam menarik kembali tangan dengan perasaan jengkel, ia ingin membunuh pria di depannya tersebut tapi kemampuan bertarungnya tidak sepadan, Mahesa jauh lebih kuat daripada dirinya.

"Kalian sedang apa?"

Afzam dan Mahesa mengalihkan perhatian ke asal suara, terlihat wajah cantik berseri -seri dengan mahkota merak di atas kepala, gaun merah muda dengan ikat pinggang sutra.

Afzam terdiam tanpa kata melihat kecantikan wanita pujaan hatinya, sayangnya wanita itu adalah Istri dari saudaranya.

Mahesa tersenyum miring melihat betapa Afzam tidak bisa mengalihkan perhatian dari sosok cantik itu.

Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang