Satria berjalan menuju kuda hitam miliknya, ia segera menaiki kuda lalu menyusul Zein, rasa penasaran tak bisa dibendung.
Derap langkah kaki kuda menggema di setiap jalan yang mereka lalui, Satria mengerutkan kening mengingat bahwa jalan itu adalah menuju markas terbesar pasukan Hundan.
"Apakah dia sudah gila?" Satria terus memacu kudanya, firasatnya buruk kalau Zein harus pergi sendiri untuk melawan Hundan.
Meski Zein sangat hebat, namun ia dalam keadaan terluka dan tidak bisa optimal menggunakan kekuatan energi suci, Satria tidak ingin sahabatnya itu terluka.
Satria melompat ke udara, lalu mendarat dengan sempurna di depan Zein.
Zein terkejut melihat Satria tiba-tiba berdiri di tengah jalan, itu sangat berbahaya.
Zein menarik tali kuda, memaksa kuda putih miliknya untuk berhenti mendadak.
Dahi Zein berkerut dengan alis hampir menyatu saat tatapan mata itu bertemu dengan pandangan Satria.
Satria berdiri sambil bersedekap dada, raut wajah kesal seperti ingin memangsa seseorang.
Tidak ada yang keluar dari mulut Zein, pria itu hanya diam dengan tatapan tidak suka.
"Kau tahu salahmu?!" Satria berjalan mendekati Zein, mendongakkan kepala menatap pria berambut emas panjang itu.
"Kau bertanya tentang kesalahan, sedangkan kau sendiri lupa akan kesalahan mu." Zein bicara tanpa menoleh pada Satria, semua yang diucapkan Satria baginya hanya omong kosong, ia tidak menyukai itu.
"Kesalahan?"Satria mengerutkan kening, ia tidak mengerti maksud ucapan Zein, dirinya hanya memikirkan para prajurit dan membiarkan mereka istirahat, mana mungkin itu bisa dianggap sebagai kesalahan?
Zein menoleh pada Satria, mata itu sangat sinis dan penuh kemarahan."Kau seorang Jenderal, kau juga seorang pejuang, peperangan belum selesai! Kau diam saja."
"Aku tidak diam!" Satria membentak Zein, entah apa yang dikatakan pangeran Bintang Tenggara itu sudah keterlaluan, tidak ada salahnya jika dirinya memperdulikan para prajurit.
"Hmmp, kalau begitu, kenapa kamu belum perintahkan prajurit mu untuk mengejar Ku Ba Ngan?" Pupil mata Zein melebar, ia tidak bisa menerima apapun yang dikatakan oleh Satria, selama Ku Ba Ngan belum dimusnahkan, maka Bulan belum bisa dinyatakan merdeka.
Satria sangat marah, ia merasa tidak memiliki harga diri di depan Zein, pria berambut emas panjang itu selalu memerintah sesuka hati tanpa peduli siapa dirinya.
"Terserah padamu! Kau mau pergi, pergi saja! Jangan katakan aku tidak memberi mu peringatan!" Satria mengacungkan tangan, menunjuk wajah Zein dengan penuh ancaman.
"Ini adalah negaraku, kau tidak berhak bertindak lebih dari itu. Kau hanya orang asing!"
Zein tersenyum miring, tanpa mengatakan apapun ia menjentikkan jari, keluarlah sebuah kupu-kupu dengan sayap bersinar merah muda.
Kening Satria berkerut melihat kupu-kupu itu, ia menatap kagum semua benda yang dikeluarkan sahabatnya tersebut.
Entah apa yang dikatakan Zein, pria itu membiarkan kupu-kupu surga itu terbang dengan sayapnya yang indah.
"Kemana kau suruh kupu-kupu itu pergi?" Satria sangat penasaran, ia mengamati arah terbang kupu-kupu tersebut, jalan menuju kamp tentara Bulan.
Satria kembali menoleh pada Zein, menatap sang sahabat penuh selidik dan berkata,"Kau..."
Zein mengalihkan perhatian ke arah lain "Ya, kau sudah tidak membutuhkan ku, aku hanya orang asing."
Zein kembali menoleh pada Satria, menatap pria berambut hitam itu kecewa."Tentu aku akan menarik semua pasukanku dan tidak akan lagi peduli padamu serta Bulan."
Zein mengalihkan perhatian pada jalan di depannya, netra safir menatap jalan itu tajam.
Zein menarik kembali tali kuda, memaksa kuda itu berputar ke arah jalan perbatasan, lalu menyuruh kuda putih itu segera berlari.
Satria memutar tubuh menatap punggung Zein yang semakin menjauh, rambut emas milik Zein berkibar tertiup angin, ia pergi dengan perasaan kecewa.
"Kenapa kau tidak memberikan kami waktu untuk bernafas? Atau setidaknya biarkan kami mengatur strategi baru." Satria mendesah panjang, frustasi dengan semua sikap tegas sahabatnya itu.
Tidak semua prajurit Bulan seperti Prajurit Bintang Tenggara yang berkemampuan khusus, mampu tetap berperang tanpa istirahat dalam kurun waktu tertentu, meski prajurit yang dibawa Zein adalah prajurit milik Arya Anggara bukan asli milik Zein Zulkarnain.
Satria memutar tubuh berjalan mendekati kudanya lalu naik ke atas kuda, ia segera memerintahkan kuda miliknya berlari ke arah kamp prajurit.
Mahesa memperhatikan kupu-kupu surga milik Zein, kupu-kupu itu bertengger di jari telunjuknya, kelap-kelip keluar dari kupu-kupu itu memberi pesan agar Mahesa mengatakan pada Arya Anggara untuk segera menarik pasukan kembali ke Bintang Tenggara.
Mahesa menghela nafas panjang, ia yakin pasti ada masalah antara Zein Zulkarnain dan Satria Dirgantara Mahardika, tapi apapun masalahnya dirinya akan tetap berpihak pada junjungannya.
Mahesa berjalan mendekati Arya, duduk si samping Arya yang sedang membakar ubi.
Arya mengangguk tanpa Mahesa perlu mengatakan apapun."Aku mengerti, sebenarnya kami di sini bukan untuk perang juga, tapi untuk melindungi Pangeran Mahkota. Kalau Pangeran memerintahkan kami pulang, dan dia juga akan meninggalkan Bulan, tentu kami akan patuh, apapun alasannya."
"Tapi ..." Mahesa tidak ingin pasukan Bintang Tenggara terburu-buru ditarik kembali, Bulan masih belum merdeka, Ku Ba Ngan belum gugur, sewaktu -waktu dia bisa kembali menyerang.
"Aku mengerti apa yang kau pikirkan, Pangeran juga tidak mungkin melakukan hal itu kalau harga dirinya tidak di hancurkan dan dianggap orang lain. Dia adalah seorang Pangeran, keras kepala, dingin dan sombong, kecuali pada rakyat kecil. Dia sudah memerintahkan seperti ini, artinya kami harus patuh." Arya berkata sambil bangkit dari posisi duduknya lalu berjalan ke tengah-tengah pasukan khusus Bintang Tenggara.
"Rekan-rekan prajurit Bintang Tenggara, dengarkan perintah!" Satria berbicara dengan lantang dan tegas.
Seluruh prajurit Bintang Tenggara seketika bangkit dari tempat duduknya lalu berdiri dengan sikap pria posisi sempurna, mereka siap menjalankan perintah, meski itu harus kembali berperang.
Fatir dan Farhan beserta seluruh pasukan Bulan ikut mengalihkan perhatian pada Arya, mereka penasaran apa yang sedang terjadi.
"Pangeran kita tidak lagi dibutuhkan di sini, Pangeran kita dianggap orang asing dan disuruh pergi dari Bulan. Ingatlah alasan kita berada di sini, yaitu untuk melindungi Pangeran Mahkota. Pangeran Mahkota akan meninggalkan tempat ini dengan perasaan kecewa, apakah kalian akan diam di sini atau mengikuti Pangeran?" Arya Anggara memperhatikan perubahan ekspresi wajah para prajurit khusus Bintang Tenggara, terlihat marah, kesal dan kecewa pada pancaran mata mereka.
Fatir dan Farhan saling berpandangan, mereka tahu kalau Zein Satria selalu ribut tapi pria berambut emas panjang itu tidak akan sampai menarik pasukan.
Fatir dan Farhan memperhatikan para prajurit Bulan, terlihat sekali di wajah mereka ada kekecewaan dan keraguan, mereka tidak ingin Bintang Tenggara kembali karena peperangan belum selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati
RomantikArsy seorang pelayan jatuh cinta pada pandangan pertama pada Zein Zulkarnain, seorang putra mahkota kerajaan Bintang Tenggara. Sayangnya pria bersurai kuning keemasan itu sangat sulit untuk didekati bahkan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyq...