Episode 29

47 42 53
                                    

Episode 29

Hembusan angin membelai indah surai hitam panjang Arsy saat gadis itu menerima hinaan dari Ne Shu, jiwa membara menelusup amarah dalam dada, ke dua tangan mengepal di samping tubuh namun pandangan tak berani menatap sosok Tuan Putri angkuh di depannya.

Dengan suara bergetar menahan amarah dia berkata,"Kenapa saya harus menggoda Yang Mulia Pangeran Mahkota, Tuan Putri? Bukankah besok adalah hari pernikahan kami? Setelah itu, bukankah Anda harus memanggil saya Permaisuri?"

Ne Shu mendelik galak mendengar ucapan Arsy, amarah memenuhi setiap relung hati, rasa tak terima ketika gelar Permaisuri harus diberikan pada sosok pelayan cantik di depannya.

"Apakah kau mengigau? Kau lihat kalung ku ini?"

Ne Shu menunjuk kalung yang melingkar indah di leher dan menjuntai hingga dada.

Arsy mengikuti arah tunjuk Ne Shu, iris kecoklatan gadis cantik itu menemukan sebuah kalung emas dengan bandul permata biru, ia tidak menyadari kalau warna emas itu adalah sebuah rambut.

"Kalung yang sangat bagus, Yang Mulia."

"Tentu saja, kalung ini terbuat dari rambut Kak Zein. Kau pasti mengira ini dari emas dan permata? Artinya bagi Kak Zein, aku sangat penting," balas Ne Shu dengan angkuh.

Arsy tersenyum ramah dengan ucapan Ne Shu, tidak ada rasa marah dan perasaan curiga dalam hati mengingat hubungan antara Zein dan Ne Shu adalah saudara se Ayah beda Ibu.

"Bukankah itu wajar? Putri dan Yang Mulia Pangeran Mahkota adalah saudara se Ayah lain Ibu, tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan Pangeran pada Putri."

Ne Shu mengerutkan kening dengan jawaban Arsy, rencana memprovokasi gadis itu gagal justru dirinya yang kesal sendiri.

"Apakah Yang Mulia Putri berpikir kalau saya akan marah? Saya justru sangat senang dengan sikap Yang Mulia Pangeran Mahkota, sebagai seorang Kakak, dia sangat sayang pada Adiknya," kata Arsy mengartikan kerutan kening pada Ne Shu.

Ne Shu mendengus sebal, ia pun berjalan melewati Arsy dengan menyimpan rasa kesal.

Arsy menghela nafas lega karena bisa membuat Ne Shu semakin kesal, tapi ia berharap bahwa Ne Shu tidak akan mengadu pada Sekar Wangi, karena pasti Selir utama itu akan memberikan hukuman untuk dirinya.

Pelayan cantik itu meneruskan perjalanan menuju kamarnya, tak sabar ingin menceritakan kejadian itu pada Ezra.

Ruang belajar Zein…

Lukisan seorang wanita bersurai putih dengan iris merah menyala senada dengan baju yang dikenakan, tergeletak rapi di atas meja.

Iris safir sang Pangeran Mahkota terus mengamati lukisan tersebut, paras mirip calon Istrinya namun bukan sang calon Istri.

"Siapa kira-kira wanita ini? Apakah ada hubungan dengan Arsy? Tapi …"

Zein menggigit bibir bawahnya tanda sedang berpikir.

Tok …
Tok…
Tok …

Suara pintu diketuk mengganggu konsentrasi Sang Pangeran, ia mendongak sejenak memandang pintu.

Bayangan sosok gadis cantik bermahkota kecil terlihat dalam pintu, tanpa harus membuka pintu, Zein dapat mengenali siapa sosok gadis di depan pintu.

"Ne Shu, masuklah."

Dengan senang hati Ne Shu membuka pintu ruang belajar Zein, ia tersenyum saat melangkah mendekati pria tersebut.

"Salam, Kakak pertama." Gadis itu memberi hormat.

"Kenapa kau kemari, Adikku?" Tanya Zein lembut.

Ne Shu kembali melangkah kaki semakin mendekati Zein, kemudian menunjukkan kalung yang melingkari leher.

Iris safir memperhatikan arah pandang gadis itu."Apakah kau tidak suka?"

"Manalah mungkin aku tidak menyukai kalung pemberian, Kak Zein?" Balas Ne Shu cepat.

Zein mengangguk."Syukurlah kalau seperti itu, kau boleh pergi."

Kedua alis gadis itu hampir menyatu mendengar ucapan Zein, ia tidak percaya kalau Saudaranya itu mampu mengusir dirinya.

"Kenapa Kak Zein menyuruhku pergi? Aku masih ingin bersama Kakak, lagipula besok Kakak menikah. Aku ingin Kakak menemaniku jalan-jalan, anggap ini permintaan terakhir Adikmu sebelum Kakak menjadi Suami orang."

Zein terdiam sejenak memikirkan ucapan Ne Shu, setelah beberapa detik, ia pun mengangguk.

Pria bersurai kuning keemasan tersebut melipat lukisan seorang wanita mirip dengan Arsy lalu menyimpannya ke dalam laci.

Tanpa disadari oleh Zein, Ne Zhu diam-diam memperlihatkan gulungan berisi lukisan itu hingga timbul rasa penasaran dalam diri.

"Itu seperti sebuah lukisan? Tapi lukisan siapa? Kenapa sepertinya Kak Zein sangat memperhatikan lukisan tersebut. Aku sangat penasaran, aku harus memikirkan cara untuk mengambil lukisan tersebut," batinnya.

Zein bangkit dari tempat duduknya lalu merapikan bajunya, dahinya berkerut saat melihat arah tatapan Ne Shu tertuju pada laci tempat menyimpan lukisan.

"Apa yang kamu lihat?"

"Ah?" Ne Shu sedikit tersentak mendengar pertanyaan Zein, buru-buru ia mengalihkan perhatiannya pada tempat lain dan mengelak dari pertanyaan pria tersebut.

"Aku tidak melihat apapun, aku hanya memperhatikan Kakak saja, aku merasa Kakak sangat menarik."

Zein menatap gadis itu sangsi, pandangan matanya tidak mungkin salah saat melihat Ne Shu terus memperhatikan laci tempat dirinya menyimpan lukisan.

"Aku harap kau tidak akan memiliki pemikiran untuk mengambil apapun yang ada dalam ruangan ini tanpa izin dari ku."

Ne Shu menelan ludah sendiri, tubuh menegang mendengar peringatan dari Zein, tidak menyangka kalau Saudara pertamanya itu tidak mudah untuk ditipu.

"Ka-Kak jangan salah paham, aku tidak mungkin memiliki niat mengambil lukisan Kakak tadi."

Gadis itu mendadak gagap bahkan mengungkapkan sendiri isi pikirannya.

Zein menyeringai dalam hati, jemari lentik menyentuh laci lalu menariknya hingga terlihat dua gulungan yang satu berisi lukisan wanita mirip Arsy dan satu lagi lukisan bunga.

Ia menyisihkan gulungan berisi lukisan wanita mirip Arsy dan mengambil lukisan bunga, kemudian membawanya ke depan Ne Shu.

Gadis cantik itu mundur beberapa langkah tak berani menatap saudaranya tersebut.

Zein menghentikan langkah kakinya, iris safir itu menyorot penuh tanda pada.

"Ka-Kakak, aku tidak bermaksud seperti itu."

Ne Shu gemetar takut kalau Zein akan murka dan menghukumnya.

"Apa maksudmu? Bukankah kau sangat penasaran dengan lukisan ini?" Balas Zein pura-pura tidak mengerti. Ia menunjukkan gulungan berisi lukisan bunga.

Ne Shu menggeleng cepat, ia bahkan menjatuhkan tubuh di atas kedua lututnya dengan kepala tertunduk takut.

Iris safir itu hanya menatap datar gadis tersebut.

"Apa yang sedang kau lakukan? Bangunlah, kalau kau memang penasaran dengan lukisan ini, aku sama sekali tidak keberatan menunjukkan padamu."

"Tidak, Kakak. Aku tidak penasaran," jawab Ne Shu dengan suara bergetar karena takut.

Zein tersenyum puas."Baiklah."

Zein menaruh kembali lukisan bunga itu di atas meja lalu membantu Ne Shu bangkit.

Perlahan Ne Shu bangkit dari posisi berlutut, namun tubuh mungil itu masih bergetar.

"Jangan takut, tubuh mu  gemetar seakan aku akan membunuhmu," kata Zein lembut, namun dalam hati ia sangat memandang remeh gadis itu.

Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang