Episode 18
Jiao Hua mengerutkan kening menerima laporan sekaligus saran dari Arya, tidak menyangka kalau pengawal pribadinya tersebut ternyata memiliki pemikiran sama dengannya.
"Bagaimana dengan Kak Zein? Apakah menurutmu dia belum tahu?"
"Kalau mengenai itu, saya kurang tahu. Tapi saya yakin kalau Yang Mulia Pangeran Mahkota tidak akan pergi sekalipun dia tahu," jawab Arya.
"Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" Tanya Jiao Hua penasaran.
"Karena Yang Mulia Pangeran Mahkota akan segera menikah, jadi tidak akan mungkin dia ikut campur," jelas Arya.
Jiao Hua tersenyum sinis."Ada benarnya, baiklah aku akan menghadap Ayah sekarang."
Arya mengangguk, mereka pun pergi menuju istana Jaya Negara.
Jaya Negara menatap kedua putranya dengan alis bertaut."Zein, Hua-hua. Apa yang kalian ingin katakan di sini?"
Zein dan Jiao Hua sama-sama memberi hormat pada Jaya Negara.
"Ayah, saya ingin Ayah berikan perintah untuk pergi ke desa Endas Gundul,"kata Zein sopan.
Jiao Hua terkejut mendengar Zein meminta surat perintah dari sang Ayah, padahal dia sudah berencana agar dirinya dan sang Pengawal yang pergi.
"Kakak, kenapa Kakak harus pergi ke sana? Sebentar lagi Kakak akan menikah, biarkan Adik saja yang pergi."
"Bagaimana mungkin aku akan membiarkan mu pergi sedangkan aku sendiri tidak percaya pada kemampuan mu," jawab Zein.
Jaya Negara menghela nafas dengan sikap putra pertamanya, sikap dingin bahkan kata yang selalu membuat orang sakit hati tidak pernah berubah bahkan di hadapan Adiknya sendiri.
"Zein, memangnya apa yang terjadi di sana?"
"Ayah, menurut laporan dari Afzam, desa Endas Gundul terjadi teror dari penganut aliran hitam, banyak pembunuhan tak masuk akal di malam hari namun pembunuh sulit ditangkap," jelas Zein.
Jaya Negara mengangguk mengerti."Dulu, kerajaan ini berseteru dengan kerajaan Iblis. Ayah sendiri yang memimpin pasukan menyerang pasukan Iblis dan mengalahkan mereka dengan pusaka pedang Rajawali, tapi pedang itu lenyap entah kemana sedangkan dari bangsa Iblis, mereka kehilangan calon penerus yaitu Tuan Putri Rajeswari."
Jaya Negara memandang satu persatu buah hatinya."Ayah khawatir kalau mereka datang untuk balas dendam sedangkan kita tidak memiliki pusaka itu."
"Ayah jangan khawatir, saya bisa memukul mundur mereka," balas Jiao Hua.
Jaya Negara tersenyum bangga."Hua-hua, tapi kemampuan bela diri tidak lebih tinggi dari Afzam."
Jiao Hua pundung seketika mendengar ucapan Ayahnya, ia mengepalkan tangan menahan kekesalan.
"Ayah, biarkan saya yang pergi. Saya tidak akan mengecewakan Ayah," sahut Zein.
Jaya Negara mengalihkan perhatiannya pada putra pertamanya tersebut, ia khawatir kalau Zein pergi dengan kondisi tubuhnya yang terluka akan membuat sang buah hati semakin kehilangan kesempatan untuk sembuh.
"Tapi, Zein …"
"Ayah, saya yakin saya mampu," tegas Zein penuh keyakinan.
"Baiklah, kau dan Hua-hua pergilah ke desa itu. Kalian adalah saudara, Ayah yakin kalian bisa mengalahkan mereka," balas Jaya Negara.
"Baik, Ayah," jawab Zein meski ia yakin kalau saudaranya itu tidak suka mereka bersama.
"Baik, Ayah." Jiao Hua melirik Zein tidak suka.
Mereka pun berpamitan meninggalkan istana Raja.
"Kak Zein, aku harap Kakak tidak akan merepotkanku," kata Jiou Hua sambil berjalan.
"Aku rasa ucapan itu lebih cocok untuk dirimu," balas Zein santai.
Jiao Hua mengeraskan rahangnya menahan amarah tapi ia tahu kalau dirinya tetap tidak akan bisa mengalahkan saudaranya tersebut.
"Kita buktikan saja."
Zein menyeringai, ia membiarkan saudara ke 7 itu berjalan mendahului dirinya.
"Yang Mulia, apakah Yang Mulia serius akan pergi ke desa Endas Gundul?" Tanya Mahesa ragu.
"Ada apa denganmu?" Balas Zein tidak suka.
"Maaf, Yang Mulia. Saya hanya khawatir dengan kondisi tubuh Anda," jawab Mahesa sambil menundukkan kepala.
"Aku adalah calon Raja, apa yang paling penting bagi seorang Raja selain keselamatan rakyatnya?" balas Zein sambil kembali berjalan menuju kamar Arsy.
Mahesa mengangguk, tidak ada yang dapat merubah sikap dan keputusan pria tersebut ketika sudah membuat sebuah keputusan.
Di dalam kamar Arsy membaringkan tubuh sambil mengingat sikap memalukan yang ia lakukan pada Zein."Bagaimana bisa aku sangat memalukan seperti itu? Aku bahkan hampir menciumnya."
"Kau terlalu bucin, Arsy. Kau bahkan belum menjadi Istri sah Pangeran," sahut Ezra sambil melipat baju.
"Tapi siapapun juga pasti akan melakukan hal yang sama denganku, kau lihat sendiri bukan seperti apa paras rupawan Yang Mulia Pangeran? Dia bagaikan seorang Pangeran yang turun dari langit," jawab Arsy sambil mengangkat tangan ke udara, ia membayangkan sosok pria bersurai kuning keemasan panjang tersenyum lembut ke arahnya.
"Kau seperti pernah lihat Pangeran langit saja?" Cibir Ezra.
Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk. Arsy dan Ezra mengalihkan perhatian ke arah pintu."Siapa siang-siang begini datang kemari?" Tanya Arsy.
"Biar aku lihat." Ezra menaruh baju lipatannya di atas meja lalu bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju pintu.
Gadis itu terkejut dan langsung mundur beberapa langkah sambil menunduk hormat."Salam, Yang Mulia Pangeran Mahkota."
Mendengar gelar calon Suaminya disebut, Arsy langsung merapikan diri kemudian turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri calon Suaminya tersebut.
"Salam, Yang Mulia."
"Arsy, hari ini aku akan pergi ke desa Endas Gundul. Aku tidak tahu kapan akan kembali, tapi aku dapat pastikan akan segera kembali setelah menyelesaikan masalah di sana," jelas Zein.
"Yang Mulia, meski saya tidak ingin tapi Anda tahu kalau saya juga tidak dapat membantah," balas Arsy halus tapi sangat tidak suka dengan kepergian Zein.
"Apa alasan mu untuk keberatan?" Tanya Zein.
Arsy tersentak mendengar pertanyaan Zein, ia tidak menyangka kalau calon Suaminya itu bisa mengerti keberatan dirinya.
"Yang Mulia, sebentar lagi kita akan menikah, bukankah lebih baik kalau Anda tidak pergi sebelum acara pernikahan. Saya juga yakin kalau selain Yang Mulia, masih banyak yang bisa diutus ke desa itu," jelas Arsy penuh keyakinan.
"Hmm, nampaknya kau sangat yakin kalau itu yang terbaik," jawab Zein, iris safir menatap surai hitam panjang di depannya.
Arsy diam tanpa berani berbicara, ia dapat merasakan kalau pria bersurai kuning keemasan tersebut tidak suka dengan penjelasannya.
"Arsy, aku adalah calon Raja. Menurutmu apa yang lebih penting dari memastikan keselamatan rakyat ku?" Lanjut Zein.
"Tapi bagaimana dengan saya? Saya juga rakyat Anda dan calon Istri Anda, apa yang akan terjadi setelah Anda pergi?" Balas Arsy sedikit emosi.
"Kau takut Ne Shu dan Selir Sekar Wangi akan mengganggumu?" Tanya Zein curiga.
Arsy sedikit memalingkan pandangan tak berani menatap iris safir di depannya."Maaf, tapi saya hanya merasa tidak yakin kalau saya akan baik-baik saja setelah Anda pergi," lirihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati
RomanceArsy seorang pelayan jatuh cinta pada pandangan pertama pada Zein Zulkarnain, seorang putra mahkota kerajaan Bintang Tenggara. Sayangnya pria bersurai kuning keemasan itu sangat sulit untuk didekati bahkan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyq...