Episode 79: Balas dendam

13 2 13
                                    

Fatir dan Farhan memperhatikan Satria, mereka saling berpandangan merasa ada yang tidak beres pada Satria.

"Kenapa Jenderal terlihat muram? Bukankah kita sudah memenangkan peperangan?" Kening Fatir berkerut menatap Farhan, ia memegang sebilah pedang, berdiri sambil bersedekap dada.

"Aku tidak tahu, mungkin memikirkan Putri Ne Shu." Farhan mengalihkan perhatian pada Satria, alisnya menukik tajam mengamati sang Jenderal.

Fatir sedikit memiringkan kepala melihat ekspresi wajah Farhan, menurutnya itu sangat aneh.

"Ada apa dengan ekspresi mu? Apakah kau melihat ada yang menempel pada Jenderal?"

Farhan menoleh pada Fatir dengan pandangan sinis."Apa maksud mu?"

Fatir memalingkan muka menghindari tatapan Farhan.

Tanpa sengaja Satria melihat Fatir dan Farhan terus mengamati dirinya, ia bangkit dari tempat duduk lalu berdiri menatap mereka, menyimpan tangan ke belakang.

Satria sedikit mengangkat dagu ke atas, menatap Fatir dan Farhan dengan sebelah alis terangkat.

"Farhan, Fatir. Sepertinya kalian terlalu banyak waktu kosong."

Sontak Farhan dan Fatir berubah posisi berdiri dengan sikap sempurna, kedua tangan ditaruh di samping tubuh.

Kepala mereka tertunduk takut, menyesal karena berani membicarakan Jenderal Satria.

"Jenderal, kami hanya khawatir saja. Kenapa Jenderal terlihat muram?" Farhan bertanya tanpa berani menatap langsung pada Satria, ia hanya berani mengintip dengan perasaan takut.

Satria menunduk pandangan, tatapan matanya berubah sendu, kemarahan dari pancaran itu berubah penyesalan dan selalu menyalahkan diri sendiri.

"Aku hanya memikirkan Pangeran Mahkota Kerajaan Bintang Tenggara, dia datang di tengah pertarungan dan memberikan energi suci padaku, sekarang aku tidak tahu apa yang terjadi padanya." Pandangan Satria teralih pada langit biru, menerawang jauh melayang pada sosok pria berambut emas panjang.

Fatir dan Farhan saling berpandangan, lalu mengangkat bahu tidak paham.

Satria kembali memandang Fatir dan Farhan, seketika kedua pria itu memperhatikan Satria.

"Apakah kalian tahu dimana dia?" Satria memperhatikan Farhan dan Fatir secara bergantian.

Fatir dan Farhan saling melirik dan berkata dalam hati," Dikira kita Ibunya?"

Dahi Satria berkerut melihat Farhan dan Fatir saling melirik dengan ekspresi meremehkan.

"Ehem!"

Pandangan mata Farhan dan Fatir kembali fokus pada Satria, menelan ludah sendiri berharap Satria tidak marah.

"Kalau kalian tidak tahu ya sudah." Satria membalikkan tubuh meninggalkan mereka berdua.

Farhan dan Fatir kembali saling bertatapan, kemudian mengikuti Satria.

Cahaya kuning keemasan muncul di depan Satria, ia terkejut reflek mengeluarkan pedang, menghunuskan pedang itu ke arah cahaya kuning keemasan.

Trang ...

Satria terkejut ketika pedangnya ditangkis oleh cahaya kuning keemasan itu, tatapannya berubah waspada.

Fatir dan Farhan memandang heran pada Satria, Jenderal Bulan itu tidak merasakan energi seseorang di balik cahaya itu, sedangkan mereka sadar siapa orang di balik cahaya tersebut.

"Sungguh hebat caramu berterima kasih." Cahaya kuning keemasan itu perlahan menghilang berganti dengan seorang pria berambut emas panjang, mahkota berbentuk bulan bintang berwarna emas duduk dengan anggun di atas kepala.

Baju terbuat sutra mewah membungkus tubuh  menambah aura keagungan, rambut kuning keemasan panjang tergerai indah di atas bahu, memancarkan kesan mewah dan elegan.

Satria tercengang melihat Zein, ia menyarungkan kembali pedangnya, memandang sosok itu lega.

"Aku lega kau baik-baik saja."

Mata safir secerah langit biru itu memandang ke arah para prajurit Bintang Tenggara.

Mahesa dan Arya Anggara berjalan menghampiri Zein, memberi salam pada junjungannya tersebut.

"Salam, Yang Mulia," kata Mahesa dan Arya bersamaan.

"Kalian mengerjakan tugas dengan baik." Zein memuji kinerja Arya dan Mahesa, mereka tidak meninggalkan peperangan dan membiarkan Satria bersama pasukan Bulan sendirian.

Arya dan Mahesa tersenyum lega dan bahagia, Mahesa maju selangkah mendekati Zein, mengulurkan tangan meraih lengan Zein.

Netra safir memandang tidak suka pada tangan Mahesa, pandangan matanya naik pada mata Mahesa, memberikan ancaman pada pengawal pribadinya itu.

Mahesa segera menarik kembali tangannya, rupanya ia telah salah sangka, dipikir pria itu butuh dipapah tapi rupanya jauh lebih kuat dari dirinya.

Zein berjalan melawati Satria, Arya dan Mahesa, berhenti tidak jauh dari ketiga Jenderal perang itu.

Tubuh tinggi tegap berdiri kokoh bagai puncak gunung tertinggi, tak tergoyahkan namun mampu menghancurkan kedzaliman dengan amarah yang terarah.

Zein menoleh pada Satria, pria berambut hitam cepak itu terlihat lelah meski tidak ada luka dalam tubuh, sorot matanya masih memancarkan kekhawatiran akan terjadi lagi serangan balasan dari Ku Ba Ngan dan pasukan Hundan yang tersisa.

"Satria."

Satria membalikkan tubuh memandang punggung gagah tak tergoyahkan tidak jauh darinya.

"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu." Suara Zein terdengar rendah namun penuh tekanan dalam setiap intonasi.

Satria berjalan mendekati Zein."Baik."

Zein membawa Satria ke tempat lain, sebuah jalan sepi tanpa ada seorang pun di tempat itu.

Di tempat itu terdapat gedung menjulang tinggi namun telah hancur akibat serangan Hundan, yang tersisa hanya reruntuhan dan sisa puing-puing bangunan.

Satria memperhatikan tempat itu, memang tidak seindah dulu sebelum ada peperangan tapi kenapa Zein memilih tempat ini?

"Kenapa kau membawa ku ke sini?" Dia bertanya sambil memperhatikan tempat itu.

Zein tidak menjawab pertanyaan Satria, ia membalikkan tubuh memandang gedung menjulang tinggi namun gedung itu sudah tidak bisa digunakan sebagai tempat tinggal lagi.

Zein menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk melompat terbang ke atap gedung, berdiri dengan gagah berani dengan pandangan menyorot pada Satria, meminta Jenderal Bulan itu untuk ikut naik.

Satria mendongak menatap Zein, dahi berkerut dengan mata menyipit melihat sahabatnya itu pergi tanpa mengatakan apapun, atau menjawab pertanyaan darinya.

Satria menghela nafas, betapa sulit memiliki sahabat menjengkelkan seperti Zein, namun tidak dapat menyentuhnya atau dirinya akan dimusnahkan.

Satria menuruti keinginan Zein, ia menggunakan ilmu meringankan tubuh melompat terbang menuju gedung paling atas, mendarat dengan sempurna di samping Zein.

Angin berhembus menerpa dua insan yang berdiri menatap kota, membelai indah rambut kuning keemasan, sinar mentari menerpa rambut emas panjang milik sang Pangeran Mahkota, memancarkan kemilau indah menghiasi cakrawala.

Di depannya adalah sisa-sisa reruntuhan bangunan, seperti rumah telah hancur, tempat usaha yang telah ditinggalkan, hanya tersisa debu dan pasir yang menempati.

Satria memperhatikan pemandangan menyedihkan di depannya, perasaan marah, kecewa dan sedih bercampur menjadi satu, menyatu dalam aliran darah dan nadi.

Dendam dan kebencian tidak dapat dielakkan, keinginan untuk membunuh dan menghancurkan Ku Ba Ngan beserta tentara Hundan memenuhi pikirannya.

Zein melirik Satria, ia menyeringai tipis mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya.

"Satria, aku tahu Ku Ba Ngan masih melarikan diri. Tapi kau tidak perlu merisaukan itu, lebih baik fokus saja memperbaiki negaramu."

Angin berhembus saat Zein mengatakan itu, menerpa wajah rupawan tersebut.



Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang