Episode 39

56 41 66
                                    

Episode 39

Atmosfer udara mendadak mencekam, sunyi, pengap hingga terasa menyesakkan dada.

Semua pandangan tertuju padanya seakan ingin menguliti sosok Permaisuri cantik yang kini berdiri di depan Selir Utama dan Ne Shu serta para pelayan mereka.

“Berlutut!”

Sekar Wangi memerintahkan Arsy untuk berlutut tanpa sebuah alasan, Permaisuri Pangeran Mahkota itu tidak segera menuruti perintah Selir Utama, ia mengingat ucapan Zain bahwa dirinya adalah Istri seorang calon Raja hingga tidak ada yang boleh menindasnya.

Arsy mengangkat pandangan menatap angkuh sang Selir Utama, menyembunyikan rasa takut dan khawatir dalam hati.

“Maaf, Ibu Selir. Bagaimana bisa Anda menyuruh saya berlutut tanpa alasan? Bukankah tidak ada peraturan dalam istana bahwa setiap anggota kerajaan harus berlutut pada Selir?”

Sekar Wangi menatap galak pada Arsy, ia hampir tidak percaya bahwa mantan pelayannya itu bisa menolak perintah darinya.

Sekar Wangi mengangkat tangan memberi isyarat pada pelayan untuk memaksa Arsy berlutut, beberapa pelayan mengangguk lalu berjalan mendekati Arsy.

Saat para pelayan itu hendak menyentuh Arsy, Mahesa langsung menyentakkan semua tangan mereka bahkan memukul beberapa pelayan itu hingga terjatuh.

Mahesa berdiri dengan gagah di depan Arsy, menjadi perisai dari setiap serangan yang mungkin akan terjadi.

Sekar Wangi terkejut dan sangat marah, ia bahkan bangkit dari tempat duduknya dan menatap Mahesa murka.

“Pengawal rendahan! Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke kediaman ku?!”

“Saya Pengawal pribadi Pangeran Mahkota, saya menerima perintah dari Pangeran Mahkota, siapapun yang berani menyakiti Permaisuri harus dibunuh,” jawab Mahesa tanpa rasa takut.

Arsy tersenyum lega melihat Mahesa, ia tidak menyangka kalau sang Suami akan memerintahkan seorang Pengawal pribadi untuk menjaganya.

Di sisi lain…

Jiao Hua membawa Zain ke dalam ruang belajarnya, ia dengan sangat hormat mempersilahkan Sang Pangeran Mahkota duduk pada tempat yang telah disediakan.

“Katakan saja, aku tahu kalau kamu hanya ingin menjauhkan ku dari Permaisuri.”

Zain mendudukkan diri di salah satu kursi, tangannya terulur mengambil sebuah cangkir kemudian menuangkan teh ke dalam cangkir tersebut.

Jiao Hua mengepalkan tangan menahan amarah, tapi ia ingat apa yang dikatakan oleh Sekar Wangi agar dirinya tetap sabar hingga mereka bisa mempermalukan Arsy.
Pangeran ke tujuh tersebut ikut mendudukkan diri di depan Zain, kemudian mengambil cangkir dan ikut menuangkan teh ke dalam cangkir tersebut.

“Kakak, aku tahu kalau selama ini aku tidak baik padamu, sekarang juga sebenarnya aku sangat malas bicara denganmu.”

Zain mengerutkan kening mendengar ucapan Jiao Hua, ia menaruh kembali cangkir berisi teh tersebut kemudian menatap Pangeran ke tujuh penuh tanpa ekspresi.

“Tapi aku memang harus membicarakan hal yang sangat penting denganmu,” lanjut Jiao Hua sebelum Zain marah dan pergi.

“Katakan! Hal penting apa yang ingin kamu bicarakan denganku,” perintah Zain.

“Baiklah, Kakak sangat tidak sabaran sekali.” Jiao Hua menaruh kembali cangkir teh ke atas meja setelah meneguk habis isinya.

“Kakak masih ingat bukan Negara Bulan sabit?”

“Tentu aku ingat, aku tidak akan melupakan setiap tempat yang pernah ku singgahi,” jawab Zain semakin penasaran tujuan Jioa Hua mengajaknya bicara berdua, apalagi membahas negara sahabat.

“Negara Hun Dan kembali menyerang, sebenarnya … terjadi karena Jenderal Satria tiba-tiba saja mengerahkan pasukan menyerang mereka. Aku rasa, Negara Bulan pantas mendapatkan balasan itu.”
Raut kebahagiaan tercetak dengan jelas di wajah Pangeran ke delapan, seakan melihat dua negara yang saling bertikai adalah hal yang sangat menarik.

“Biarkan saja, selama arah serangan Hun Dan bukan para rakyat kecil,” balas Zain santai.

“Itu tidak mungkin, Kak. Sejak dulu arah serangan Hun Dan memang pada rakyat kecil, itulah kenapa negara itu disebut Hun Dan,” sahut Jiao Hua dengan senyum iblis.

Zain mengehal nafas dalam, sudah menjadi rahasia umum bahwa ke dua negara itu tidak pernah damai untuk waktu yang lama, tetapi kali ini dia merasa harus datang berkunjung ke Bulan untuk melihat situasi.

“Aku akan pergi ke Bulan, akan kulindungi rakyat kecil di sana dari apapun bentuk kejahatan.”

“Kakak untuk apa pergi ke sana? Kakak harus ingat, Bintang Tenggara itu bukan negara yang suka berpihak kemanapun,” tanya Jiao Hua tidak suka dengan rencana Zain.

“Aku tidak mengatakan untuk berpihak pada kekuatan manapun, aku hanya akan melindungi rakyat kecil. Selain itu …” Zain menggantungkan ucapannya, ia tidak ingin mengatakan pada Jiao Hua kalau tujuan lain ke sana adalah mencari pedang Rajawali dan pedang Pelangi dua pedang untuk membasmi iblis.

Jiao Hua menatap Zain penasaran, ia menunggu dengan tidak sabar kalian selanjutnya dari pria tersebut.

Zain bangkit dari tempat duduknya.”Aku pergi dulu.”

Jiao Hua tercengang melihat Zain tiba-tiba pergi begitu saja, ia pun sedikit memutar kepala ke belakang memandang punggung tegap sang Pangeran Mahkota berharap pria itu akan berhenti untuk mengatakan kalimat selanjutnya, tetapi harapannya ternyata harus kandas di tengah jalan.

“Sialan, aku sudah menunggu dengan sabar tapi malah pergi. Ibu … aku tidak bisa lagi menghentikan Kak Zain, semoga Ibu dan Adik berhasil mempermalukan Permaisuri Pangeran Mahkota.”

Ruang Tamu kediaman Sekar Wangi

“Yang Mulia Selir Utama, saya yakin Yang Mulia pasti tahu akibatnya kalau Pangeran Mahkota tahu apa yang Anda lakukan pada Istrinya.”
Mahesa memberi peringatan pada Sekar Wangi, ia sudah siap menarik pedang dari sarungnya kalau Selir Utama itu berani bertindak.

Sekar Wangi nampak cemas, ia yakin kalau Zain tahu bahwa Arsy dipermalukan, pria itu tidak akan membiarkan dirinya hidup dengan tenang.

Selir Utama itu tersenyum saat mengingat bahwa Zain sekarang berada bersama Jiao Hua hingga tidak akan mungkin muncul dengan cepat.

“Hahaha…” Selir cantik itu tertawa angkuh, kemudian menatap Mahesa sinis.

“Kamu pikir aku takut, dia hanyalah pria lemah. Kalau Pangeran Mahkota berani bertindak padaku, tentu aku akan melaporkan pada Raja, semua orang juga tau kalau Yang Mulia Raja Jaya Negara sangat mencintai ku.”

“Kalau begitu…”

Sekar Wangi terkejut mendengar suara Zain, tak lama kemudian pria itu muncul dari balik pintu lalu berjalan angkuh mendekati sang Istri.

Sang Pangeran Mahkota menggerakkan tangan meraih jemari Arsy lalu menggenggamnya.

“Lakukan apa yang ingin Ibu Selir lakukan, dan aku akan melakukan apa yang ingin ku lakukan. Kita bisa lihat bersama, siapa yang paling disayang Ayah.”

Raut muka Ne Shu berubah masam melihat Zain begitu sangat melindungi Arsy, ia mencengkram erat bajunya.

“Kakak pertama, kenapa Kakak selalu membela wanita itu? Dia hanya seorang pelayan biasa.”

Putri cantik itu menunjuk wajah Arsy dengan jari telunjuk.

“Jangan bersikap lancang, Ne Shu! Arsy adalah Istri ku, artinya dia adalah Permaisuri Pangeran Mahkota, calon Ratu kerajaan Bintang Tenggara,” tegas Zain menatap Ne Shu dingin.

Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang