Episode 80: Negara Ku

8 2 10
                                    

Bulan Sabit biasa dikenal sebagai kerajaan Bulan, negara yang paling maju di saat semua negara masih berkembang bahkan ada yang tertinggal, namun berubah hancur saat Hundan menjajah dan ingin merampas tanah Bulan dengan mengatakan bahwa tanah Bulan adalah tanah peninggalan nenek moyang mereka.

Orang-orang Bulan umumnya sangat baik dan suka menolong, hingga saat bangsa Hundan diusir oleh kerajaan tempat mereka sebelumnya, Kerajaan Bulan menerima mereka dengan tangan terbuka serta menganggapnya sebagai suadara, namun bukan rasa terimakasih yang diterima Bulan melainkan Pengkhianatan atas bangsa Hundan.

Orang-orang Bulan tidak pernah menaruh dendam pada siapapun, sekalipun dunia seperti tidak menganggap mereka seperti manusia yang memiliki hak untuk hidup dengan layak serta dihormati.

Saat rasa putus asa dan merasa sendiri, Kerajaan Bintang Tenggara tidak pernah meninggalkan Bulan, bahkan sering mengirimkan bantuan berupa sembako dan perlengkapan medis.

Zein Zulkarnain seorang Pangeran Mahkota Kerajaan Bintang Tenggara juga datang sendiri membantu Satria serta rakyat Bulan, meski sikapnya terkadang menjengkelkan, namun orang-orang Bulan tetap berterimakasih pada Zein.

"Terlalu baik pada orang akan merugikan diri sendiri." Angin berhembus bertiup dari arah barat saat Satria mengatakan itu, ucapan itu melambangkan penyesalan terdalam atas sikap leluhurnya, mereka membantu Bangsa Hundan dengan hati ikhlas, namun akhirnya menjadikan penderitaan bagi generasi selanjutnya.

Satria masih berdiri di atas gedung tinggi, meski tidak lagi bisa ditempati akibat serangan Hundan, namun di tempat itu ia bisa melihat seperti apa Kerajaan Bulan sekarang.

"Jangan pernah menyesal saat kau berbuat baik, Satria. Justru kau harus menyesal kalau tidak berbuat baik." Belaian angin memainkan rambut emas panjang milik Zein dengan lembut saat ia membantah pemikiran Satria, kain sutra berwarna putih kebiruan membalut tubuh gagah perkasa menari indah seirama dengan arah angin.

Helaan nafas panjang keluar dari mulut Satria, harusnya ia tidak mengatakan ini di depan Zein, sejuta kejahatan pasti akan dibalas dengan kebaikan oleh pria berambut emas panjang itu karena memang tugasnya di dunia adalah menebarkan kebaikan.

"Aku tidak pernah berdiri di tempat setinggi ini, mengamati puing - puing bangunan yang hancur, keramaian kota berubah mencekam bahkan saat di siang hari."

Ucapan Satria terpotong, sesak dalam dada mengingat betapa kejam bangsa Hundan namun di dunia ini masih ada yang membelanya.

" Sejak awal kami tidak pernah menginginkan peperangan." Suara Satria nyaris tercekat di tenggorokan, tak kuasa menahan air mata melihat penderitaan rakyatnya.

"Ini bukan peperangan, Satria." Zein mengerti kepahitan yang dialami Satria dan rakyat Bulan, ia bukan manusia bodoh yang tidak mengerti seperti apa perang itu seharusnya.

Satria mengusap air matanya yang sempat menetes, menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan perlahan.

Ia memang seorang Pemimpin Perang, namun juga manusia biasa, punya hati dan perasaan, bisa merasakan sedih dan dendam melihat kekejaman Hundan.

Pria itu menoleh pada Zein, menatap pria berambut emas panjang itu dengan alis hampir bertaut, tak berharap kalau Zein akan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanya bentuk pembalasan dendam Hundan pada Bulan.

Zein menoleh pada Satria."Tapi kejahatan perang, sasaran mereka adalah rakyat kecil bukan sesama prajurit. Hanya orang tak punya hati yang mengatakan ini perang, perang haruslah melawan sepadan, prajurit dengan prajurit bukan rakyat kecil."

Satria tersenyum kecil, ia kembali mengalihkan perhatian pada puing-puing bangunan di depannya."Menurut mu ... Apakah salah jika aku menuntut balas pada mereka atas kejahatan pada Negara ku?"

Keinginan membunuh dan melenyapkan Bangsa Hundan terpancar dari mata Satria saat ia mengatakan itu, ia tak berharap ada yang akan membantahnya atau melarangnya dan menyalahkannya, meski begitu dirinya tetap ingin mendengar jawaban dari Zein.

"Tentu tidak, aku pun akan tetap disini membantu mu." Zein kembali memandang langit biru, dihiasi awan putih berarak ke arah selatan.

Satria diam menunggu kalimat selanjutnya dari Zein, tidak mungkin hanya seperti itu.

"Tapi kau harus ingat, Satria. Musuhmu bukan rakyat kecil, melainkan tentara Hundan." Zein tersenyum manis melihat gambaran sosok seperti manusia sedang berdoa, gambaran terbuat dari awan.

Seorang kesatria sejati tidak akan bersikap seperti pengecut, melukai dan menyakiti yang tidak bersalah.

Membelah angin membiarkan mereka kesal saat Zein memutuskan turun dari gedung, menggunakan kekuatan angin sebagai pijakan meski sang angin tidak mengizinkan.

Satria mengikuti Zein, ia mendarat dengan sempurna di samping sang Pangeran Mahkota Kerajaan Bintang Tenggara.

Zein berjalan menjauh dari Satria, tidak mengatakan apapun selain tetap melangkahkan kaki.

Satria menatap Zein dengan dahi berkerut, dirinya seperti seorang pemandu wisata harus mengikuti kemanapun pria itu pergi.

"Kau mau kemana lagi?" Satria bertanya dengan kesal, rasanya ia ingin melempar pria berambut emas panjang itu ke sungai amazon.

Zein menoleh kebelakang, tangannya menunjuk ke arah seorang pria 35 tahun.

Pria itu tertimpa sisa bangunan, tubuhnya tidak bisa bergerak selain tangannya mencoba menggapai udara meminta tolong.

Satria mengikuti arah telunjuk Zein, ia tercengang melihat pria 35 tahun tersebut.

Satria segera berlari menolong pria itu, Zein memandang Satria dengan pandangan mengejek, hampir satu jam di atas gedung tinggi namun tidak melihat pria 35 tahun itu.

Satria berusaha mengangkat beban yang menimpa pria itu, namun terlalu berat hingga ia kesusahan.

Satria menoleh pada Zein dengan dahu serta alir berkerut, dengan santai Zein berjalan mendekati Satria lalu membantu mengangkat beban yang menimpa tubuh pria 35 tahun itu dengan mudah.

Satria tercengang melihat kemampuan Zein, pria itu sangat kuat namun sayang energi sucinya terluka.

"Dasar lemah!" Zein mengejek Satria, ia membantu pria 35 tahun itu berdiri dan menggunakan energi suci untuk menyembuhkan luka.

Pria 35 tahun itu tercengang melihat kekuatan Zein, ini pertama kalinya melihat kemampuan ajaib, mampu menyembuhkan luka tanpa obat-obatan medis.

"Tuan, Anda sungguh hebat. Apakah Anda ini Dewa?"

"Namaku Zein Zulkarnain, bukan Dewa." Zein membalikkan tubuh meninggalkan pria 35 tahun itu tanpa ada niat berbincang.

Satria menatap Zein dongkol, langkah kaki terayun teratur, tenang bagai aliran sungai.

Kain sutra berwarna putih kebiruan membalut tubuh gagah perkasa milik sang Pangeran Mahkota, angin membelai lembut rambut emas panjang seirama dengan langkah kakinya, menjauh meninggalkan sisa-sisa reruntuhan bangunan.

"Jangan pikirkan laki-laki gila itu," kata Satria tanpa menoleh pada pria 35 tahun.

Pria 35 tahun itu menoleh pada Satria, ia tahu bahwa Satria kesal pada Zein namun di mata Satria terdapat rasa cemburu dengan kemampuan Zein.

"Jenderal."

Pria itu mengangguk, memahami kemelut dalam hati sang Jenderal.

Satria menoleh pada pria itu."Aku akan mengantar mu pulang."

Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang