Di dalam markas tentara Hundan suasana berubah suram, Ku Ba Ngan mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangan mendengar Ka Le Nan dan Tong Sam Pah gugur di medan perang.
Mata hitam itu memperlihatkan kemarahan, para prajurit tersisa berbaris di luar markas menunggu perintah.
Mental mereka hancur mendengar cerita dari salah satu prajurit tentang kehebatan pasukan Bintang Tenggara yang dipimpin oleh Zein Zulkarnain, Pangeran Mahkota Kerajaan Bintang Tenggara itu memiliki pedang pusaka sangat aneh, hanya dengan kilatan cahayanya bisa membunuh dan melukai orang.
Selain itu pasukan Bintang Tenggara juga dibantu oleh jelmaan rubah spiritual raksasa, satu rubah itu bisa menghancurkan 100 orang sekaligus.
"Keterlaluan!" Ku Ba Ngan bicara dengan suara rendah namun penuh kemarahan, ia tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh Zein Zulkarnain dan Satria.
Ku Ba Ngan melirik pedang miliknya, ia sedikit memutar tubuh untuk mengambil pedang itu, jemarinya dengan kuat mencengkram erat sebilah pedang di genggamannya.
"Aku pasti akan membalaskan semua dendam kalian." Ekspresi Ku Ba Ngan penuh dengan aura pembunuhan, rahangnya mengeras dengan pandangan mata penuh kebencian.
Menteri Hundan sekaligus jenderal besar itu berjalan keluar markas, berdiri di depan para prajurit yang tersisa.
Seluruh prajurit Hundan berjumlah 600 ribu, terdiri dari 100 ribu pasukan elit dan 100 ribu pasukan berkuda, 100 ribu ahli memanah dan yang lainnya prajurit pejalan kaki.
Tong Sam Pah membawa 200 ribu prajurit sedangkan Ka Le Nan membawa 300 ribu prajurit, kini tersisa 100 ribu prajurit dan semua adalah prajurit berkemampuan khusus.
"Prajurit -prajurit ku! Hari ini kita akan berperang! Mempertahankan tanah perjanjian milik kita! Kita akan mengambil tanah yang dijanjikan! Membalas dendam semua saudara kita yang telah gugur!"
Ku Ba Ngan berteriak dengan suara lantang, menggetarkan jiwa para prajurit Hundan yang tersisa.
"Siap!" Serentak seluruh prajurit tersisa menjawab.
Ku Ba Ngan mengambil nafas panjang lalu mengeluarkan dengan kasar, kaki jenjang Ku Ba Ngan berjalan ke arah kuda kemudian menaiki kuda tersebut.
Diikuti oleh prajurit Hundan yang tersisa, mereka semua menaiki kuda satu persatu, tidak ada pasukan pejalan kaki.
Mereka bersama-sama memacu kuda menuju titik dimana Satria dan pasukan Bulan berada.
***
Satria berdiri di depan para pasukan tersisa, menyambut Zein dan pasukan Bintang Tenggara.
Zein turun dari kuda, di atas salah satu bahu terdapat rubah mungil namun mengerikan saat berubah besar.
Diikuti oleh Mahesa dan Arya, Zein berjalan mendekati Satria.
"Bagaimana?" Zein menatap lurus mata Satria, dari mata itu sebenar-benarnya ia tidak perlu jawaban apapun karena telah terbaca disana.
"Masih ada yang tersisa." Suara Satria terdengar penuh kepedihan, bagaimana tidak? Prajurit Bulan sebenarnya tidak sebanyak pasukan Hundan, namun kini berkurang lagi setelah digunakan bertempur dengan pasukan Tong Sam Pah.
Zein mengalihkan perhatian pada prajurit Bulan yang tersisa, ia perkirakan masih banyak pasukan Bintang Tenggara miliknya.
"Aku yakin sebentar lagi Ku Ba Ngan akan balas dendam." Satria mengingatkan Zein agar pria berambut emas panjang itu lebih waspada.
Zein berjalan melewati Satria, mendekati prajurit Bulan yang terluka.
Satria memutar tubuh, mata jamrud itu memperhatikan apa yang dilakukan Zein pada pasukan Bulan yang tersisa.
Zein menyalurkan energi suci untuk menyembuhkan luka milik prajurit Bulan, bukan luka berat yang disembuhkan, meski dengan energi suci ia mampu melakukan itu, namun akan berdampak besar pada tubuhnya.
Avei sang rubah kecil melompat turun dari bahu Zein, menjelma manjadi pria berambut merah panjang dengan baju merah hitam.
Prajurit Bulan terkejut melihat sosok Avei, sontak mereka mengambil senjata untuk melawan Avei.
"Aku bukan lawan." Avei mendengus sebal melihat reaksi dari prajurit Bulan, menurutnya itu terlalu berlebihan.
"Siapa kau?" Fatir menatap Avei curiga, ia dan yang lain tidak melihat pria itu sejak tadi, tapi tiba-tiba saja sekarang sudah berdiri di tengah barisan dengan ekspresi wajah dingin.
Satria berjalan cepat mendekati Avei, mengamati sosok pria tampan berkulit putih berambut merah itu.
"Darimana asalmu?"
"Dari langit turun ke bumi." Avei menjawab dengan malas, ia merapatkan diri pada Zein.
"Buat apa kau mencari ribut dengan Avei? Perhatikan saja prajurit mu yang terluka, sebentar lagi Ryu Shi akan datang," kata Zein sambil terus menyalurkan energi suci dari telapak tangan pada luka ringan yang diderita prajurit Bulan.
Satria menoleh pada Zein, ia melirik Avei. Pria berambut merah itu ikut membantu mengobati luka prajuritnya, namun tidak seperti yang dilakukan Zein melainkan menggunakan obat-obatan tradisional yang sudah diracik oleh Ryu Shi.
"Darimana kau dapat obat itu?" Satria menatap heran pada Avei, ia ingat tadi pria itu tidak memegang apapun tapi sekarang di tangannya sudah terdapat botol obat.
"Dari Goa hantu." Avei menjawab dengan asal, tentu saja dia tidak akan mendapatkan obat itu dari sembarang tempat, namun ia sangat malas meladeni Satria.
Satria geram namun mengingat Zein pasti mengenal sosok pria berambut merah itu, ia menahan amarah dan tetap sabar.
Satria mengalihkan perhatian ke arah lain sebelum kesabarannya habis oleh sikap Avei, ia memberi isyarat pada Fatir dan Farhan untuk mendekat padanya.
Fatir dan Farhan berjalan mendekat pada Satria, menunggu perintah yang akan disampaikan oleh Satria.
"Kalian jamu Jenderal Mahesa dan Menteri Arya Anggara, mereka secara khusus datang kesini untuk membantu kita." Satria memberikan perintah pada Farhan dan Fatir, ekor mata sesekali melirik Zein dan Avei, ada perasaan tidak nyaman melihat keakraban mereka berdua.
"Baik, Jenderal!" Fatir dan Farhan menjawab secara bersamaan.
Satria mengangguk artinya ia senang dengan jawaban kedua bawahannya tersebut.
Farhan dan Fatir membalikkan tubuh meninggalkan Satria, mereka berjalan menghampiri Mahesa dan Arya.
"Tuan-tuan, mari ikut saya." Fatir meminta Mahesa dan Arya mengikuti nya, sedangkan Farhan menghampiri seluruh pasukan Bintang Tenggara.
"Saudara sekalian, anggaplah ini negara kalian sendiri. Meski keadaan seperti ini, tapi kami disini menyambut saudara dari Bintang Tenggara dengan baik. Silahkan beristirahat, mohon carilah tempat yang nyaman bagi tubuh saudara sekalian." Farhan berkata dengan ramah serta senyum tulus.
Salah satu prajurit Bintang Tenggara melompat turun dari kuda lalu berjalan mendekati Farhan, ia mengulurkan tangan pada Farhan.
Farhan membalas uluran tangan tersebut kemudian mereka berjabat tangan."Kita adalah saudara, sesama saudara harus saling membantu," kata prajurit Bintang Tenggara dengan ramah.
"Iya, tentu saja. Mari." Farhan menjawab ucapan prajurit itu dengan senang hati.
Prajurit Bintang Tenggara bernama Sandi itu mengangguk, ia membalikkan tubuh menatap para rekan prajurit.
"Mari semua, jangan ragu!"
Para prajurit Bintang Tenggara menepikan kuda masing-masing, mereka bersosialisasi dengan pasukan Hundan yang tersisa dengan baik dan sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati
RomanceArsy seorang pelayan jatuh cinta pada pandangan pertama pada Zein Zulkarnain, seorang putra mahkota kerajaan Bintang Tenggara. Sayangnya pria bersurai kuning keemasan itu sangat sulit untuk didekati bahkan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyq...