Ku Ba Ngan berhasil kabur setelah meledakkan bola racun dan membuat Satria keracunan, lagi-lagi Zein menolong Satria dengan energi suci.
Meski ada kekhawatiran Ku Ba Ngan akan kembali menyerang dan bersekutu dengan Dili, namun rakyat Bulan tidak mau peduli, mereka memaksa Satria untuk mengumumkan kemerdekaan Bulan.
Zein mengirimkan pesan pada Jaya Negara agar datang ke Bulan sebagai pengakuan kemerdekaan Bulan, meski seluruh dunia belum ada yang mengakui kemerdekaan Bulan namun Bintang Tenggara adalah kerajaan pertama yang mengakui kemerdekaan Bulan.
Satria dan para petinggi Bulan yang baru saja dibentuk menyediakan kursi singgasana untuk Jaya Negara, Ratu Prameswari dan untuk sang Pangeran Mahkota sebagai tanda terimakasih atas bantuan mereka.
Meski dengan tempat dan bahan seadanya, namun Jaya Negara tidak mempermasalahkan hal itu, tentu saja karena tidak ingin putra pertamanya ngambek dan melepaskan gelar Pangeran Mahkota.
Fatir, Sean dan Farhan juga Surya duduk di barisan kanan , menatap Zein kagum.
Biasanya Zein Zulkarnain akan bertindak seenak hati dan suka memerintah, tapi ketika mahkota bulan bintang dan huruf Alif diletakkan di atas kepalanya, mereka melihat sosok lain dari sang Pangeran.
"Yang Mulia, saya pribadi mewakili seluruh rakyat Bulan mengucapkan terimakasih kepada Bintang Tenggara atas semua bantuan yang diberikan." Satria menunduk hormat di depan singgasana Raja, sesekali melirik Zein, ingatannya berputar saat sahabatnya itu menyamar menjadi wanita.
Jaya Negara mengangguk."Bangunlah, Jenderal Satria. Bukan padaku harusnya kamu berterimakasih, tapi pada Pangeran Zein. Dia yang mengancam ku, kalau aku tidak datang, dia tidak mau lagi menjadi penerusku."
Jaya Negara melirik Zein dongkol, bisa-bisanya punya anak seperti itu, namun sangat disayangi.
Prameswari menahan senyum melihat sikap kekanakan dari dua pria tercintanya."Jenderal, Satria. Setelah ini, apakah kau akan menjadi Raja?"
"Saya rasa tidak, Yang Mulia Ratu. Saya yakin ada orang yang lebih tepat dibandingkan saya," jawab Satria sopan, ia masih belum merubah posisi berdirinya.
Zein Zulkarnain duduk dengan angkuh di atas singgasana, mata safir itu menatap Satria sinis, di sebelah tangannya terdapat kipas bertuliskan sinar kejayaan menggunakan huruf Arab.
"Apakah kau masih memikirkan ku?" Zein mencibir Satria, ia tidak lupa tatapan penuh hasrat sahabatnya itu saat dirinya menyamar menjadi wanita.
Kening Satria berkerut mendengar ucapan Zein, ia yakin sahabatnya itu masih dendam karena ditatap seperti wanita.
Fatir, Sean, Farhan dan Surya menahan senyum. Bisa-bisanya Satria ketahuan hendak mengintip Zein ganti baju hanya karena curiga bahwa pria itu aslinya memang wanita, dan sialnya ketahuan oleh Zein.
"Kakak pertama, apa maksud Kakak? Bukankah kalian sama-sama pria?" Jao Hua angkat bicara ketika melihat kesempatan menjatuhkan Zein datang, sengaja ikut ke Bulan karena ingin mencari kesalahan Zein.
"Apakah seorang pria tidak boleh memikirkan temannya? Sepertinya pikiran mu perlu dibersihkan, Adikku." Zein tersenyum manis saat mengatakan itu, seakan tak tahu bahwa ucapannya itu adalah penghinaan pada Pangeran ke tujuh.
Pupil mata Jao Hua menegang, tangan mengepal namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum saat ingat Jaya Negara masih di sini.
"Kakak Pertama, sepertinya kau selalu ahli membuat ku marah."
"Hmmp." Zein menyeringai tipis, ia mengalihkan perhatian ke arah lain yaitu pada Mahesa.
Pengawal pribadinya itu malah duduk di luar sambil makan kuaci, seakan tidak ada pekerjaan lain.
"Hua-hua, Zein. Kalian ini selalu saja ribut." Prameswari memberikan teguran halus pada kedua Pangeran Bintang Tenggara.
Suasana berubah mencair setelah Prameswari memberikan teguran dan Jaya Negara kesal dengan Zein.
Satria kembali ke tempat duduknya, sesekali ia melirik Zein, rasanya ingin melihat sahabatnya itu menyamar sebagai wanita lagi, pasti akan terlihat sangat cantik.
Satria memerintahkan Fatir dan Farhan membawa keluarga Kerajaan untuk berkeliling, serta membawa pasukan untuk melindungi mereka, sedangkan dirinya menemani Zein meski pria itu tidak butuh ditemani.
"Kenapa kau di sini?" Zein melirik malas sahabatnya itu, bukannya melindungi keluarga Kerajaan malah duduk santai di kamarnya.
Satria nyengir, bangkit dari tempat duduknya lalu duduk di samping Zein."Kamu cantik."
Satria ingin mengatakan itu pada Ne Shu bila nanti bertemu dan ingin berlatih bersama Zein untuk mengungkapkan itu pada Ne Shu, tapi lupa mengatakan alasannya.
Dahi Zein berkerut, netra safir itu berubah menatap geli.
"Eh, maksud ku ... Aku ingin mengatakan itu pada Adikmu." Satria segera menjelaskan alasannya sebelum Zein mengeluarkan naga langit dan menebas lehernya.
"Kamu salah tingkah duduk denganku? Atau kamu masih berfikir bahwa aku adalah wanita?" Zein menatap Satria curiga.
"Bagaimana kalau kita bertaruh?" Satria mengalihkan pembicaraan, ia memang ingin melihat penampilan Zein sebagai seorang wanita sekali lagi.
"Tentang?" Zein mengangkat sebelah alisnya.
"Menebak isi pikiran orang, jika kau gagal ... Menyamarlah sebagai wanita lagi," kata Satria menjelaskan.
Zein memalingkan wajah."Bukankah dari tadi kau ingin mengatakan ini?!"
Udara di luar ruangan terlihat cerah, namun tidak panas, mentari sepertinya enggan untuk memberikan sinarnya secara full.
Satria melirik arah lain, ia berusaha mencari alasan lebih masuk akal agar Zein bersedia menyamar menjadi wanita.
Zein bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekati jendela kamar, mata safir itu memperhatikan udara di luar.
"Kau tahu? Aku sama sekali tidak suka menyamar sebagai wanita."
Satria cemberut, gagal semua ekspektasi tentang penyamaran Zein. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menghampiri sahabatnya itu, berdiri di samping sang sahabat melihat pemandangan di luar.
"Kau tahu?"
"Tidak." Zein memotong ucapan Satria sebelum pria itu menjelaskan lebih lanjut.
Satria terkekeh pelan, siapa yang akan melihat tingkah kekanak-kanakan sahabatnya, teringat saat belajar bersama di sekolah kekaisaran, saat semua orang takut pada Zein dirinya justru suka menggoda pria itu.
"Aku ingin menyatakan perasaan pada Ne Shu, tapi aku tidak tahu caranya. Kalau denganmu, aku merasa bebas."
Zein melirik Satria, kemudian kembali menatap udara kosong di luar."Karena kita bagai saudara, aku tidak mempermasalahkan semua sikapmu."
Zein sedikit memutar tubuh menatap Satria dingin."Tapi bukan artinya aku suka kau menggoda ku dengan menyebut ku cantik."
Satria memalingkan muka menyesal."Padahal dia memang cantik, lihat saja bulu mata lentik dan bibir merah alami. Kalau saja kau adalah wanita, aku pasti akan melamar mu."
Satria tidak berani mengatakan kalimat itu, hanya berani mengatakan dalam hati, siapa juga nanti akan tanggung jawab jika sang Pangeran marah.
Zein memutar tubuh berjalan meninggalkan Satria, tidak ingin terlalu lama berdua dengan sahabatnya, karena tahu untuk sekarang sang sahabat pikirannya ke arah beda.
"Zein, kalau saja kau mau ..." Satria menoleh ke arah Zein, namun ternyata pria itu sudah tidak ada di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirwana Menggapai Kebahagiaan Sejati
RomansaArsy seorang pelayan jatuh cinta pada pandangan pertama pada Zein Zulkarnain, seorang putra mahkota kerajaan Bintang Tenggara. Sayangnya pria bersurai kuning keemasan itu sangat sulit untuk didekati bahkan setiap kata yang keluar dari mulutnya hanyq...