Tanpa memperdulikan Drax Shana langsung bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati dokter konsultasinya, tanpa mengatakan apapun dia mengait lengan dokter wanita itu dan mengajaknya untuk segera pergi.
Tidak apa-apa.
Tidak akan ketahuan.
Banyak yang bernama Shana di dunia ini, bukan hanya dirinya.
Pria itu tidak mungkin mengenalinya.
"Ada apa? Tidak biasanya kamu mendekati saya terlebih dahulu?" ujar dokter wanita itu setelah mereka memasuki ruangannya.
Shana tidak menjawab, sebagai gantinya dia buru-buru mengambil ke toilet membuang permen karetnya dan mengambil air putih untuk tenggorokannya yang tiba-tiba saja kering, dia bahkan kesulitan untuk menelan saliva nya.
"Shana? Are you okey?"
"Yeah, i'm fine, always fine, you don't have to worry about me." Shana menghela nafas panjang. "Tolong percepat terapi kali ini, saya mau pulang."
"Baiklah, duduk dan akan kita lakukan."
Tidak ada yang istimewa dari terapi yang ia lakukan sejak setahun ini, hanya pertanyaan yang diulang-ulang dan ia harus jawab dengan jawaban yang sama seperti sebulan lalu ketika ia datang untuk berkonsultasi, sebenernya apa tujuan terapi ini, sedikitpun Shana tidak pernah merasa lebih baik, malah hari demi hari rasanya semua makin sulit, dia sendirian, tidak ada yang mendukungnya.
Dia lelah.
"Apakah kamu masih belum ingin pulang ke rumah?"
Shana menggelengkan kepalanya, dia tersenyum miring. "Kalau gue pulang ke rumah, yang ada mereka berdua ngekang gue lagi." Shana berujar lirih. "Gue udah susah payah kabur dari mereka, meninggalkan semuanya dan hidup dari penghasilan gue sendiri."
"Jika kamu terus seperti ini, tidak akan ada perubahan yang terjadi."
"Entahlah...." Shana mengalihkan pandangannya. "Kalau begini selamanya juga gak apa-apa, tenang aja gue gak akan memilih kematian, gue terlalu takut untuk mati, dosa gue banyak, orang bodoh mana yang memilih kematian jika ia tahu dirinya memiliki banyak dosa."
"Pria di ruang tunggu tadi adalah kenalan mu kan?"
Ekspresi wajahnya terusik, gadis itu menatap dokter wanita di hadapannya dengan tajam. "Bukan."
"Jangan bohong, detak jantung, ekspresi wajah, suhu tubuh, dan gerak-gerik mu menunjukkan jika kalian memiliki hubungan, apa dia orang yang penting? Aku tidak menyangka kamu berhubungan dengan pria nomor satu di Indonesia yang diinginkan banyak wanita untuk menjadi kekasih mereka."
Shana tertawa kecil, julukan macan apa itu. "Mereka menyukainya karena dia tampan, mereka gak tahu dia dulu seperti apa, gue yang tahu, bagaimana kehidupannya, kepribadiannya, tempat tinggalnya, semuanya, gue tahu." Dia mentertawakan dirinya sendiri, untuk apa dia mengatakan hal ini. "Mereka hanya melihat dia yang sukses, sedangkan gue?" Gadis itu merundung, wajahnya pucat dan tatapan matanya berubah kosong. "Gue cuma beban di kehidupannya, gadis berusia 18 tahun yang begitu polos, lugu, tolol, penyakitan, manja, dan di matanya hanya ada cinta, tidak dengan kenyataan panik kalau sebenarnya mereka tidak akan pernah bisa bersama."
"Oh ternyata kamu adalah gadis itu." Dokter wanita itu tersenyum miring. "Senangnya aku mengetahui hal besar yang tidak diketahui para Madness."
Shana tertawa terbahak-bahak, dia menepuk meja konsultasi mereka. "Itu bukan gue, mana mungkin cewek bego itu adalah gue, yah itu mungkin gue tapi gue yang berumur 18 tahun, sudah lama mati."
Mati bersama semua masa lalu yang ia buang untuk menjadi sebebas sekarang.
"Jangan samakan gue dengan dia, dia adalah orang gila yang dikepala nya hanya berisi musim semi."
KAMU SEDANG MEMBACA
S is She (The End)
Romance~Don't copy my story if you have brain~ -S and when i look at you, i know your already become my world- Drax Shana tidak pernah menyesal kabur dari supir pribadinya hari itu bersama teman kuliah yang baru ia kenal, karena hal itu dia bertemu dengan...