46 : Say It (End)

9.2K 491 23
                                    

Melihat siapa yang datang Shana langsung bangkit dan berlari menjauh dari sana, tidak berpikir panjang gadis itu malah berlari menuju lautan yang luas, Shana membawa dirinya menuju laut, apapun itu selain kembali bersama orang-orang itu.

"Shana!" Steven berlari secepat yang dia bisa, dia menarik lengan adiknya sebelum gadis itu terbawa arus dan pergi ke lautan.

"Engga mau! Lepasin! Lepasin gue!" Shana memberontak, dia tidak mau, tidak mau dikendalikan lagi.

"Tenanglah, tenang okey? Ada kakak disini, kakak pasti akan bela kamu." bisik Steven setenang mungkin, dia memeluk tubuh Shana dengan erat. "Tenang okey? Kakak aku melakukan segalanya, kakak akan membela kamu, tidak ada akan ada yang terjadi, percaya sama kakak." Steven mengelus lembut rambut adiknya, dia berusaha memberikan ketenangan pada Shana.

Nafas Shana yang awalnya tidak stabil menjadi tenang karena kata-kata dan sentuhan dari kakak laki-laki nya itu, dia mengepalkan kedua tangannya dan berusaha menenangkan diri dengan baik.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja, ayo ikut kakak pulang yah?" Steven membalikkan tubuh adiknya, dia elus pipi Shana yang basah oleh air mata, dia tatap wajah adiknya yang sudah lama tidak ia temui.

Shana menatap Steven, dia memberikan tatapan yang sangat dingin.

Steven tersenyum. "Adik kakak sudah dewasa." Dia bukanlah Shana yang dulu lagi.

Gadis itu terkejut mendengarnya, ini pertama kalinya ada yang bilang dirinya sudah dewasa.

"Shana! Astaga, apa yang baru saja ingin kamu lakukan?! Apa kamu mau mati?!" Mama Shana mendekati keduanya, wanita itu menatap Shana dengan marah.

"Kalau aku gak mati, Mama pasti bakalan kontrol hidup aku lagi." gumam Shana.

Mama gadis itu tercengang mendengarnya. "Apa yang kamu katakan?"

"Lebih baik aku mati, daripada kembali ke kehidupan dulu, aku gak mau hidup sama Mama lagi!" seru Shana.

Shana menunjuk dirinya sendiri, dia menatap Mamanya dengan penuh rasa tekad. "Aku sudah dewasa, aku memiliki kemampuan, aku bahkan bisa mencari uang sendiri dengan kemampuan ku, aku bisa tanpa kalian, aku bebas melakukan apapun untuk yang aku mau, aku memang tidak lulus kuliah tapi aku baik-baik saja, hidupku memang tidak semewah sebelumnya, tapi aku baik-baik saja! Aku tahu mana yang baik dan buruk! Aku bisa memutuskan apapun yang aku mau dengan tangan ku sendiri! Aku benar-benar tidak membutuhkan kalian!"

"Aku bukan Shena! Aku bukan kak Shena! Aku engga akan jadi seperti dia! Aku engga akan mati sia-sia! Tolong biarkan aku hidup bebas! Aku benar-benar bisa! Aku engga mau balik kayak dulu lagi! Percayalah padaku dan lepaskan aku!"

Shana menangis setelahnya, dia tidak mempedulikan siapapun dan menangis dengan keras. "Aku baik-baik saja sungguh, tolong berhenti mengatakan aku kekanak-kanakan, tolong berhenti mengatakan aku milik kalian, aku miliki diriku sendiri, aku yang menentukan apa yang aku mau."

Tolong pahami keinginannya ini.

Shana tidak ingin dikekang oleh siapapun, dia hanya ingin hidup bebas tanpa diatur, dia sudah dewasa, dia tahu bagaimana membedakan hal, percayalah padanya, percayalah padanya maka dia tidak akan berubah dan berusaha menjadi apa yang mereka inginkan.

Mama Shana terdiam.

Air mata Steven mengalir, dia tidak tahu jika itulah yang adiknya inginkan selama ini, semuanya salah dia, dia yang menyuruh Shana untuk diam dan menerima semua perlakuan Mamanya, agar Mamanya bahagia, Steven hanya memikirkan kebahagiaan ibunya, dia tidak memikirkan kebahagiaan Shana.

Dia menutup mata untuk penderitan adiknya.

"Apa kamu benci sama Mama?"

Perkataan itu membuat Shana tercengang, dia menatap Mamanya dan menggelengkan kepalanya. "Engga! Aku engga pernah benci Mama, bagaimana mungkin aku benci Mama? Karena Mama aku ada di dunia ini, aku engga benci Mama, aku gak bisa benci Mama." Shana menghapus air matanya, suaranya parau. "Lebih baik aku membenci diriku yang pengecut daripada benci Mama!"

Jawaban atas isi hati seorang anak gadis itu adalah sebuah pelukan dengan air mata seorang ibu.

Kedua mata Shana membelak, otaknya butuh beberapa saat untuk berpikir apa yang sedang terjadi saat ini.

"Maafkan Mama, Mama minta maaf."

Mama minta maaf.

Sebuah kalimat yang cukup menyingkirkan semua beban di tubuh Shana.

Tangan yang selalu menamparnya itu pada akhirnya memeluk tubuhnya, tangan itu mengelus lembut bahunya.

Sesuatu yang selalu Shana harapkan akan terjadi suatu saat nanti akhirnya terwujud.

"Shana juga minta maaf...." Shana memeluk bahu kurus Mamanya, dia menyadarkan kepalanya di bahu Mamanya. "Maaf karena Shana kabur dari rumah, maaf Shana gak ngelanjutin pendidikan Shana." Itu adalah penyesalan lainnya.

"Maaf Shana betingkah seakan-akan Shana tidak bersyukur dengan apa yang Shana punya salama ini..." Dia bersyukur, sangat bersyukur hanya saja keadaan selalu memaksanya untuk memberontak. "Shana gak mau nikah Ma, Shana masih mau menikmati kehidupan Shana." Itu adalah keinginannya.

Dia ingin seperti gadis sesuai dirinya.

Bebas melakukan apapun yang mereka inginkan.

"Mama gak pernah anggap kamu Shena..." ujar Mama Shana. "Mama hanya tidak mau kehilangan kamu itu saja, maaf kalau tindakan Mama egois, Mama mohon jangan lagi kamu berusaha untuk mengakhiri hidup kamu sendiri, kamu berharga untuk Mama." Dia hampir kehilangan nyawanya ketika melihat putrinya berlari menjauh darinya, berlari memeluk lautan seakan-akan alam lebih membuatnya nyaman daripada dirinya, seseorang yang melahirkannya ke dunia ini.

Ah, ternyata hanya perlu dikatakan dan diungkapkan.

Shana selama ini selalu menahan apa yang dia inginkan, dia yang tidak pernah menunjukkan apa yang dia mau, dia orang yang selalu menerima apapun yang Mamanya putuskan untuk dirinya dan jika dirinya tidak mau bukannya mengatakan kalau dia tidak mau, Shana malah berlari pergi dan membuat kesalahpahaman.

Komunikasi sangat dibutuhkan dalam sebuah keluarga, kedua orang tuamu tidak akan tahu apa yang kamu inginkan jika tidak kamu katakan, namun terkadang orang tua tidak terlalu percaya pada anaknya, jadi daripada mengatakan apa yang kamu inginkan lebih baik tunjukkan apa yang kamu bisa.

Jangan salahkan orang tua mu, sama seperti mu, ini adalah kehidupan pertama mereka, ini adalah pertama kalinya mereka menjadi orang tua sama seperti kamu yang pertama kalinya menjadi seorang anak.

Ungkapkan apa yang diinginkan, telan rasa malu dan hadapi tantangan itu.

Kuncinya ada di komunikasi, semuanya belum terlambat, ayo katakan apa yang kamu inginkan pada orang tua mu.

Shana tidak pernah membenci Mamanya, dia hanya membenci dirinya yang pengecut.

Selanjutnya mereka kembali ke rumah dengan suasana yang hangat, yah meksipun Shana masih menangis sembari memeluk tubuh Mamanya.

Steven mengajak Vilna untuk mampir dan Vilna mengangguk setuju.

Begitulah akhir dari semua ini.

***

THE END

Udah yah sampai sini aja.

Seperti judulnya s is she cerita ini memang tentang Shana secara keseluruhan, bukan tentang Drax atau siapapun.

Terima kasih sudah membaca 😘

Aku blank jadi sesekali tolong ramaikan komentar di ending hiks.

S is She (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang