Twenty Eight: Binatang menggonggong

2.8K 210 9
                                    

🍀

Koridor sekolah yang ramai saat jam istirahat tiba, lalu tatapan mata yang mencemooh tertuju padanya, bisikan-bisikan kembali terdengar jelas. Namun, semua itu tak membuat kepalanya menunduk takut. Ia mendongakkan kepalanya, menampilkan wajah parasnya dengan angkuh.

Fitnah itu membuat amarahnya bergemuruh, tadinya. Saat ini Lesya sadar, amarah tidak akan membuat masalahnya mereda, malah akan bertambah buruk nantinya.

Langkahnya terhenti, amarah yang ia simpan baik-baik mulai mengalir kembali ke seluruh tubuhnya, saat seseorang di hadapannya menatap dengan wajah polos tak bedosa.

"Lesya, aku gak nyangka kamu benci aku karena aku anak kandung Mama." Ujarnya dengan raut polos yang dapat menipu ribuan manusia.

"Papa kamu jahat, gimana bisa dia selingkuh sama Mama aku yang udah memiliki keluarga?!" Tuduh Meta, matanya berkaca-kaca menatap Lesya.

"Aku gak tau kalau kamu juga anak Mama dari hubungan terlarang, pantes kamu benci banget setiap lihat aku bareng Mama. Seharusnya ..." ia menjeda ucapannya, bulir bening entah sejak kapan jatuh membasahi pipi. Semua orang yang berada disekitar menatap iba.

"Seharusnya, aku yang benci kamu." Lanjutnya.

Kepalan tangan yang kuat menyalurkan rasa amarah yang Lesya tahan. Menenangkan diri untuk tidak mencoba melawan. Biarkan binatang di depannya menggonggong mencari belas kasihan.

"Tapi, aku gak bisa benci kamu Lesya, sekeras apapun kamu nyakitin aku, aku gak bisa benci. Aku masih nganggap kamu teman, walaupun kamu anak Mama aku dari hubungan yang gak seharusnya." Cetus Metasa, ia menghapus air matanya.

"Aku masih belum terima fakta bahwa Mama punya anak lain selain aku dan Bang Kenzo, tapi Lesya aku pasti akan coba nerima kamu sebagai saudara tiri aku." Meta menampilkan senyumnya, nampak tulus di mata orang lain, tapi yang pasti senyum dan mata itu menyiratkan sesuatu yang buruk.

"Kalau aku bisa nerima fakta ini, kamu juga pasti bisa nerima kan?" tanya Metasa masih menampilkan senyum yang sangat memuakkan bagi Lesya.

Tidak adanya respon dari Lesya, membuat Meta melunturkan senyum dengan wajah murung. "Kalau gak bisa, gak papa kok. Pelan-pelan aja nerima semua ini, yang terpenting aku seneng kita jadi saudara." Perubahan ekspresinya tak lepas dari mata tajam Lesya. Sedih, marah, tersenyum, dan kembali murung. Secepat itu wajah dengan beribu topeng berubah-ubah.

"Udah cukup omong kosong lo?" tanya Lesya menyorot tajam.

"Apa maksud kamu, Lesya?" balas Metasa tak mengerti.

"Waktu berharga gua kebuang sia-sia karena omong kosong, lo!"

"Lesya, aku gak ada omong kosong, semua yang aku bilang-"

"Gua muak." Ungkap Lesya tajam, suasana sekitar menegang.

"Gua muak sama lo, Meta. Sikap, omong kosong, dan semua yang ada di diri lo itu memuakkan." Seru Lesya memberi tekanan pada kata akhirnya.

"Akting lo cukup bagus, tapi lebih baik bakat lo itu di pendam aja dari pada digunakan untuk menghancurkan orang lain."

Lesya mendekat satu langkah, menyorot tajam manik Metasa. "Entah sebutan apa yang pantas untuk lo, ular berbisa atau ... seekor anjing menggonggong?"

Wajah Metasa memerah atas hinaan tersebut, "kamu gak pantes hina aku, Lesya! Karena kamu itu gak lebih dari seorang anak haram!" balas Metasa tak terima. Ia di samakan dengan binatang? Jelas ia tak terima. Bahkan binatang lebih tidak terima di samakan dengan manusia yang di karuniai akal sehat, tapi tidak digunakan dengan baik.

Buku Tanpa JudulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang