Thirty Six: "Gua mau pulang ..."

743 63 0
                                    

🍀

Dulu, Selly pernah berharap Sang Papa kembali untuk dirinya dan Mama. Membangun rumah yang telah lama terkubur, mengobati hati yang terobek atas  kepergian Papa, dan juga menciptakan kehangatan dalam bangunan yang sering di sebut rumah. Rumah, satu kata dengan makna dalam.

Nyatanya, harapan hanya sekedar harapan.

Selly dipatahkan dengan perpisahan kedua orang tuanya. Rumah mereka memang telah runtuh bertahun-tahun lalu, tetapi masih ada satu hal yang tersisa. Harapan Selly, hanya itu yang tersisa. Namun, lagi dan lagi sisaan harapan nya leyap begitu saja, tergantikan luka yang mendalam.

Selly melewati masa-masa sulit. Hingga ia sampai di sini, dalam keadaan yang lebih membaik dari sebelumnya. Dan lagi, seseorang yang menorehkan luka datang. Seenaknya meminta kembali, tanpa memikirkan beribu luka yang telah ia beri.

Tentu. Selly tidak terima. Hatinya telah mati. Tidak ada lagi setitik harapan untuk mengembalikan yang telah lama hancur.

"Saat Papa jatuh, kenapa tempat kembalinya ke rumah yang telah dia hancurkan sendiri?" tanya nya bermonolog. Selly termenung, di taman dengan kesunyian malam.

"Papa kira, hati aku terbuat dari apa sih?" tanyanya lagi, diiringi kekehan hambar.

Susah payah ia bangkit. Menyembuhkan satu persatu dari ribuan luka. Tidak ada yang mendampingi, hanya seorang diri.

Selly tatap bulan terang tanpa bintang-bintang dan awan gelap menemani. Bulan tetap bersinar dalam kegelapan walau seorang diri, awan gelap bahkan tak mampu menutupi cahayanya.

Bisakah Selly menjadi seperti bulan itu?

"Gua juga mau jadi bulan,"

"Lo bisa jadi bulan, Selly." Suara itu mengalihkan lamunannya. Ia tatap sosok pria yang tak terbayang akan berjumpa di sini.

"Katanya, bulan akan lebih bersinar ketika bersama bintang," ucapnya.

"Lo menjadi bulan, dan gua akan menjadi bintang." Lanjut Altheo dengan sorot teduh dan senyum penuh ketulusan.

Selly tidak pernah mendapat sorot teduh dan senyum penuh ketulusan itu dari seseorang yang ia cintai. Ia lebih sering mendapat sorot kebencian dan senyum keremehan. Lalu, pria ini datang tanpa aba-aba, membawa sesuatu yang tidak pernah ia dapati.

"Gua mau menemani lo untuk bersinar lebih terang."

Kalimat itu terdengar indah, dan seolah merayu hatinya untuk menyetujui.

Haruskah ia melanjutkan lembaran lama dengan seseorang yang ia cintai, tapi menyakitinya? Atau memulai lembaran baru dengan seseorang yang menawari ketulusan?

---

Razean tidak pernah mengira, bahwa dunia ini berjalan lebih rumit dari sebelumnya. Namun, ada satu hal yang sangat ia syukuri.

Menemukan Alana.

Menemukan jiwa Alana adalah hal yang sangat ia syukuri dari banyak hal yang telah datang. Razean bersyukur, yang menempati raga Lesya adalah jiwa Alana. Jika bukan, bagaimana dunia ini akan berjalan? Apakah akan lebih rumit? Mungkin saja.

Dan lagi, jika Alana tidak datang, mungkin Razean tidak akan pernah merasakan perasaan yang begitu menyenangkan.

Yaitu, jatuh cinta.

Jatuh cinta pada Alana membuat Razean selalu bersyukur tiap saat. Bersyukur, atas pertemuan mereka satu sama lain. Bersyukur, karena perasaannya bermetafora menjadi hal menyenangkan. Bersyukur, karena jatuh cinta pada Alana dapat dipahami dengan cara paling sederhana.

Buku Tanpa JudulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang