Prolog

2.7K 160 20
                                    

Ibaratnya gini, I ngasih anak-anak kebebasan buat lakuin whatever they want asal bisa ambil tanggung jawab for everything they done. Tapi I lupa if every child have their own characteristic. Same method tidak selamanya can give same result.

Then, this is my experiences with my children. Yang satu jadi anak super peka, yang satunya lagi, ckckck. Sorry, guys, it's my fault.

—Yudha Yudhistira Yudhoyono


Setiap tiga bulan sekali, Yudha dan Sarah akan pulang dari dinas keluar negeri mereka. Lebih tepat disebut sebagai liburan berkedok dinas, sih, karena nyatanya sejak sepuluh tahun belakangan hampir tidak ada lagi pekerjaan yang Yudha handle. Kebanyakan sudah dia pindahkan untuk dikerjakan oleh Arjuna, putra tertuanya. Jadi, bekerja hanyalah kamuflase untuk Yudha dan Sarah untuk menghabiskan masa tua mereka ke tempat-tempat di belahan dunia lain. Walau sebenarnya kedua putra mereka juga sudah mengetahui fakta tersebut.

Perjalanan ke Qatar, transit di Malaysia, dan sekarang akhirnya pasangan itu sudah sampai ke Indonesia setelah tiga bulan lamanya menghabiskan waktu di negara tetangga tersebut. Sarah mengaitkan tangannya ke lengan Yudha, sedangkan sang suami sibuk menerima panggilan dari bungsu mereka.

"Biar Jeffrey jemput saja. Ayah sama ibu pasti capek. Ko Jun juga lagi ada meeting. Biar Jeffrey yang jemput kalian di bandara."

That's totally weird for them. Fishy. Si bungsu, Jeffrey mau menjemput mereka ke bandara. Padahal biasanya anak berusia delapan belas tahun itu paling tidak sudi untuk dimintai pertolongan.

Yudha mengernyit, sedangkan Sarah hanya tertawa saja. Di kepala pasangan itu terukirkan jika putra bungsu mereka pasti menginginkan sesuatu. Jeffrey, si paling manja dan tidak bisa diberitahu itu tidak akan pernah mau melakukan sesuatu yang merepotkannya, kecuali jika dia menginginkan sesuatu.

"You kesambet apa? You tidak pergi ke tempat-tempat keramat atau apa, 'kan?"

"Sayang!" Sarah mendengkus pendek dengan isi kepala suaminya itu. Ada-ada saja kecemasan yang mengisi hati Yudha kalau sudah menyangkut Jeffrey. Pasalnya anak bungsu mereka memang agak ajaib.

"Ayah apa-apan, sih? Aku mana pernah pergi ke tempat begituan!" balas Jeffrey kesal.

"Well, Ayah hanya make sure saja. Soalnya sangat tidak mungkin buat you mau ke sini tanpa diminta lebih dulu." Yudha menjawab dengan santai, tidak peduli dengan potresan Jeffrey tadi. "You dimintain tolong saja masih belum tentu mau, kok."

"Orang tua lain mah seneng kalau anaknya berubah. Ayah malah curigaan sama anak sendiri. Aneh."

Yudha tertawa mendengar ucapan Jeffrey. Kalau menjadi orang tua dari anak lain, mungkin Yudha akan sesenang yang Jeffrey ucapkan tadi. Tapi, dia itu ayahnya Jeffrey. Dia tahu tabiat Jeffrey yang tidak pernah berubah sejak dulu. Makanya, Yudha jadi cemas sendiri kalau Jeffrey tiba-tiba berubah seperti sekarang.

"Jadi, mau Jeffrey jemput, nggak?"

"Alright, alright, you can pick us then. Ayah sama Ibu can duduk dulu sambil nunggu you sampai kalau begitu."

Yudha sudah mencoba mencari tempat duduk untuk mereka berdua saat Jeffrey tiba-tiba berkata, "No need, Ayah. I already here. In which floor you are now?"

"You apa?"

"Jeffrey sudah di bandara, Ayah," jawab suara dari seberang.

Baik Yudha maupun Sarah, mereka jadi makin yakin jika memang ada yang bungsu mereka inginkan.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang