Waktu Ayah jadi young father dulu, Ayah juga banyak crying because of tired, kok. You kenapa sok kuat sekali, sih? Ayo, nangis saja kalau you tired!
—Yudha Yudhistira Yudhoyono
•
"Pilih coklat apa permen?"Bibir Kakal mengerucut, sedangkan matanya menatap tidak terima pada Papa. Di tangan kanan Papa saat ini ada sebungkus coklat, sedangkan di sebelah kiri ada sebungkus permen. Padahal Papa bilang Kakal akan dapat cheating day kalau dia jadi anak yang baik, tapi kenapa hari ini Kakal harus memilih antara coklat dan permen? Papa pasti menipu Kakal lagi, huh!
"Napa hayus piyih? Kakal mau dua-dua!" Kakal menatap marah pada Papa. Papa harus tahu kalau Kakal itu maunya permen dan coklat, bukan permen atau coklat.
"Satu!" Tapi, Papa malah membalas dengan nada tegas. Papa jadi terlihat seram, huh.
"Papa biyang cheating day, yoh. Belalti Kakal bica mam men cama cokat." Kakal mencoba membujuk dengan mengingatkan Papa pada janjinya. Papa harus luluh kalau sudah seperti ini, karena Papa itu sudah janji sama Kakal.
Sayangnya, tidak seperti yang Kakal pikirkan, Papa malah memasukkan coklat dan permen yang ada di tangannya tadi ke saku jaket. Papa bilang, "Ya udah kalau nggak mau. Gue nggak maksa, sih."
"Kok dak kacii Kakal?" Kakal memekik panik, tentu saja. Kesempatan untuk makan coklat dan permen nyarissss saja hilang. Dia harus segera bertindak.
"Katanya nggak mau? Gimana, sih, Cil?" Papa menaikkan sebelah alis, menatap Kakal dengan ekspresi yang terlihat menyebalkan untuk anak itu. "Kalau lo nggak mau, ya, udah, nggak usah makan permen atau coklat. Gampang, 'kan?"
"Enak caja! Kakal dak biyang mamau tau!" balas Kakal tidak terima. "Kakal yagi thinking mau piyih which one!" Dia berusaha mengelak sebisa mungkin tuduhan yang papanya berikan tadi. Lebih baik pilih satu daripada tidak sama sekali, huh!
"Hm," balas Papa dengan nada suara yang terdengar malas. Dia mengeluarkan lagi permen dan coklat dari saku jaketnya. "Mau permen apa coklat jadinya? Hari ini satu, besok satu. Gitu, okay?"
"Ohh, petii ituu. Biyang dong dali tadi!" Kakal menyunggingkan senyuman, senang. "Teyus becokna yagi catu?" Dia malah membuat skenario sendiri dalam kepalanya.
"Nggak! Habis itu disimpan, baru boleh minggu depannya lagi."
Kedua tangan kecil anak itu menampung wajah, menatap tidak percaya seolah-olah Papa baru saja memberikan berita paling tidak masuk akal di dunia ini. "Napa petii ituuuu?"
"Nanti gigi lo ompong kalau kebanyakan makan coklat sama permen. Bisa sugar rush nanti."
"Cuga yas—apa, Papa? Napa cucaahh kayiii?"
Jeffrey mendengkus pelan. Tidak kaget lagi jika anaknya mau ikut apa saja yang dia katakan. "Sugar rush. Bikin lo hyper. Nggak sehat. Nggak bisa tidur, kurang istirahat, terus rewel. Gue nggak suka."
"Ish, cucaa!" gerutu Kakal. Dia masih mencoba mencerna ucapan papanya tadi.
Sekali lagi Jeffrey menyodorkan permen dan coklat dari sakunya. Dia tidak peduli pada ekspresi rumit yang Kakal buat, seolah ada pikiran sulit yang sedang mengisi kepala kecil bayinya itu. "Lo mau yang mana jadinya?" tanya Jeffrey lagi. "Permen apa coklat?"
Kakal menatap kedua tangan papanya penuh minat. Hm, permen itu kecil, tapi lama habisnya. Kakal suka, tapi dia itu sering tidak menghabiskan permen karena bosan mengemut. Dan coklat ... tentu saja enak. Tapi kali ini Papa memberikan coklat yang cukup kecil, padahal tadi Kakal lihat ada banyak coklat yang lebih besar. Huh, Papa memang pelit dan rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa's Diary •√ [Terbit]
Teen Fiction[sebagian chapter diprivate untuk kepentingan penerbitan] • Lika-liku young-adult bernama Jeffrey Sameko Yudhono yang harus membesarkan anaknya, Cakrawala Yudhono, seorang diri. Update setiap hari Rabu(kalau tidak ada halangan).