18. PeterPan

779 124 66
                                    

Sejujurnya gue nggak pernah punya keinginan untuk tumbuh dewasa. Tapi karena ada si bocil gue jadi merasa kalau menjadi dewasa bukan lagi soal mau atau nggak-nya gue, tapi itu sudah jadi KEWAJIBAN buat gue.

—Jeffrey Sameko Yudhoyono

Seperti biasa, Jeffrey akan bangun lebih awal, olahraga sebentar, lalu menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk anaknya. Semua itu Jeffrey lakukan sebelum membangunkan Kakal yang tidur dengan mulut terbuka sedikit lebar menggunakan serangan ciuman. Serangan ciuman yang Jeffrey lalukan itu lebih dari cukup untuk membuat Kakal kesal dan mencoba menyingkirkan wajah papanya dengan tangan kecilnya.

"Kakal dah banun, Papaa. Kakal dah banunn! Cudaaa!"

Kakal merengek sambil mendorong udara karena tidak juga menemukan wajah Papa yang menjadi sumber masalahnya. Anak itu masih enggan membuka kedua kelopaknya yang terasa berat. Kakal itu masih mengantuk.

"Buka mata dong kalau dah bangun," tanggap Jeffrey.

"Cudaaa!"

"Good. Ayo, siap-siap ke sekolah. Gue bantu, soalnya besok gue kan nggak ada di rumah."

Kakal mengangguk. Dibantu oleh Papa, dia meminum segelas air putih, lalu menggosok gigi dan mandi hingga bersih. Papa juga membantu Kakal memakai baju untuk dikenakan hari ini. Dan sekarang Kakal siap untuk pergi ke sekolah.

Setelah siap semuanya, Kakal duduk di kursi sambil menunggu Papa yang sibuk membuatkan susu. Kakal memakan sarapan miliknya dengan sangat baik.

"Cakrawala, dengar."

Kakal yang baru saja menghabiskan sarapan dan susunya, mendongak untuk memberikan perhatian pada Papa. Wajah Papa sudah sangat serius ketika Kakal menatapnya.

"Papa kemarin sudah bilang, tapi Papa mau bilang lagi kalau-kalau Kakal lupa."

Suasana di antara jadi sangat menegangkan karena jika sudah seperti ini biasanya Papa akan berbicara hal penting.

"Papa akan pergi tiga hari. Papa nggak di rumah selama tiga hari. Ingat, tiga hari dari hari ini, okay?"

Kakal masih diam saja. Kali ini Papa mengangkat tangan kanan dan menunjukkan ketiga jari yang berada di tengah. "Ini tiga. Satu, dua, tiga. Papa nggak ada di rumah selama itu. Coba, Cakrawala hitung."

"Catu, uwa, iga."

Kakal ikut menunjukkan ketiga jari kanannya pada Jeffrey.

"Nah, betul." Jeffrey tersenyum puas mendengar ucapan Kakal. "Papa akan pulang di hari keempat. Ini, lihat. Satu, dua, tiga, empat. Papa pulang di hari keempat. Coba Kakal hitung."

"Catu, uwa, iga, foul."

"Anak hebat!" puji Jeffrey. "Jadi, Kakal di rumah sama Mbak Ajeng dulu, ya? Nanti Opa dan Oma juga datang, jadi Kakal tidak akan kesepian. Kakal paham, kan, apa kata Papa?"

"Um."

"Kakal jadi anak yang baik, ya, menurut sama Mbak Ajeng, Opa dan Oma, okay? Kalau Kakal jadi anak baik nanti Papa ajak Kakal ke tempat yang ada saljunya. Kakal mau kan lihat salju?" pancing Jeffrey.

Mendengar kata tempat bersalju membuat Kakal yang tadinya murung menjadi sedikit lebih bersemangat. Anak itu mengangguk heboh. "Maauuu!" seru Kakal.

"Nah, good. Jadi Kakal harus jadi anak yang ...?"

"Good-good!" jawab Kakal diiringi senyuman manis.

Jeffrey mengangguk puas. Dengan begini, dia jadi bisa terbang ke Malaysia tanpa banyak beban. Kakal pasti akan mengerti, karena Jeffrey sudah terbiasa membuat Kakal paham akan kesibukannya sebagai siswa dan mahasiswa.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang