29. Chaos

796 106 19
                                    

Hai, aku menulis note di bawah. Nanti tolong dibaca, yaa.

Oh ya, part ini cukup huru-hara, aku sarankan kalian bacanya pelan-pelan saja.

One thing I wanna told you, you aren't a robot. Memangnya kalau Uncle menuhin ego gitu, Uncle bisa jadi Superman apa? Kagaakkk! Uncle cuma bisa tumbang.

Sorry kalau kesannya kasar. Tapi memang sengaja, sih, biar Uncle sadar.

—Johnny Alaska Yudhoyono


"Papa ... you okay?"

Tidak seperti biasa, Kakal sudah bangun lebih dulu dari Papa. Kakal tidak tahu sekarang jam berapa, yang pasti dia yakin kalau saat ini sudah jauuhhh dari jam biasa mereka memulai hari. Soalnya mataharinya sudah terlihat sangat cerah, walau Kakal hanya bisa melihat beberapa cahaya yang mencoba memaksa masuk lewat berbagai celah-celah.

Padahal Papa bilang hari ini Papa harus pergi ke kampus untuk sesuatu yang berhubungan dengan kikipcinya. Tapi Papa malah masih tidur dan tidak ada tanda-tanda akan bangun dalam waktu dekat.

Kakal menggerakkan tangan kecilnya, untuk kesekian kali dalam pagi ini dia mencoba membangunkan Papa yang masih belum memberikan respons sama sekali. Suhu tubuh Papa tinggi, dan Papa juga berkeringat banyak sekali hingga kaosnya basah. Kakal jadi yakin kalau papanya sedang sakit, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa di saat seperti ini. Kakal itu masih kecil, masih empat tahun. Dia belum paham cara merawat orang sakit.

"Papaaa, banun. Papa num obat bial bubuh," ucap Kakal sambil menahan air matanya. Dia sedih melihat wajah Papa yang pucat, lalu napas Papa juga terdengar berat. Dada Papa naik-turun dengan cepat. Papa jauh dari kata sehat saat ini.

"Papaaa! Papa! Banun!"

Seperti Papa yang selalu membangunkan Kakal dengan ciuman, Kakal mencoba cara itu kali ini. Dia memberikan ciuman bertubi-tubi di wajah Papa, lalu maniknya mencoba mengamati efek dari ciuman tadi. Nihil, tidak ada pergerakan apa pun yang Papa berikan. Papa masih asik menutup mata dan tidak menjawab Kakal sama sekali. Kalau seperti ini terus, Papa bisa tambah parah nanti. Kakal menahan bibirnya agar tidak mengeluarkan isakan. Dia tidak mau Papa semakin sakit kalau dia rewel.

"Papaaa," panggil Kakal pelan. Mata bulatnya semakin terlihat sedih karena tidak ada jawaban.

Padahal kemarin Papa janji agar tidak sakit-sakit. Papa juga masih tersenyum saat bicara sama Kakal. Papa terlihat baik-baik saja walau suhu tubuhnya lumayan tinggi. Dan malamnya mereka masih makan bersama, lalu bermain sebentar karena Papa sedang tidak enak badan. Tapi paling tidak Papa masih menjawab dan merespons Kakal. Sekarang Papa malah tidak membuka mata sama sekali, membuat Kakal sangat ketakutan.

"Papa, banun! Papaaa!" Sebanyak apa pun Kakal mencoba, Papa tetap bergeming. Tidak ada suara lembut yang menjawab panggilan Kakal, dan tidak ada juga gerakan dari papanya. Bahkan sekadar lenguhan pendek pun tidak terdengar sama sekali.

Papa masih hidup, kan?

Kakal yang dilanda rasa panik itu mulai menangis sambil memeluk tubuh papanya dengan erat. Anak itu takut kalau papanya seperti Nenek Jia, bibinya Papa yang sudah dikubur dan tidak pernah terlihat lagi setelahnya.

"Papaaa, ini Kakal! Papa banun! Papaaa! Banun, Papa! Kakal di cini, Papaaa!" rengek Kakal di tengah tangisnya.

Padahal Kakal tidak ingin rewel, tapi kalau begini, Kakal tidak bisa menahan tangisnya. Soalnya dia juga tidak tahu keadaan Papa saat ini. Papa tidak bisa dibangunkan sama sekali meski Kakal sudah memanggil sedari tadi.

"Papaaa, banunnn!"

Bahkan suara Kakal pun sudah mulai serak karena lelah memanggil Papa yang tidak bangun-bangun juga, dan menangis tentunya. Kakal terisak, dia mulai lelah menggoyangkan tubuh Papa. Tapi Kakal tidak mau melihat papanya yang tidak bangun-bangun seperti sekarang. Kakal benar-benar diselimuti oleh rasa takut.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang