23. Fell in love

614 91 16
                                    

Anehnya, rasionalitas itu masih ada di saat rasa sukaku padamu berada di level maksimal.

—Jeffrey Sameko Yudhoyono


"Kalau di pertemuan kedua bisa bikin aku dapat nomor kamu, di pertemuan ketiga nanti bisa bikin aku pacaran sama kamu, nggak, ya?"

Sejujurnya itu hanyalah pertanyaan impulsif yang entah bagaimana bisa Jeffrey ucapkan dengan suara yang terdengar cukup datar. Jeffrey terkikik pelan, mencoba menghilangkan rasa malu yang tiba-tiba mengisi kepalanya. Tentu saja dia malu, dan sepertinya hanya orang konyol yang bisa bertanya selancar itu tanpa ada rasa ingin menenggelamkan diri sendiri ke rawa-rawa setelahnya. Jeffrey menggaruk belakang tengkuk, selayaknya tokoh utama dalam cerita yang sedang salah tingkah setelah bertingkah.

"Well, try it and find the answer."

Jawaban dari Jessie sangat tidak terduga. Seperti bermain-main, tapi di saat yang sama mengundang kesempatan untuk bisa Jeffrey raih. Dan tentunya, jawaban itu mengundang rasa penasaran untuk hadir dalam diri seorang Jeffrey Sameko.

"Masih terdengar nggak meyakinkan," decak Jeffrey.

"Tapi kamu tertantang, 'kan?" balas Jessie.

Jeffrey tersenyum lebar. Jessie benar. Dengan pernyataan darinya tadi, Jeffrey memang jadi lebih menginginkan pertemuan ketiga milik mereka.

"Promise is promise."

"Of course," jawab Jessie, tidak terlihat takut sama sekali.

Pertemuan kedua mereka berakhir dengan satu janji lain. Janji yang Jeffrey genggam dalam hati dengan sangat percaya diri. Jeffrey percaya pada takdir, dan dia yakin jika dalam jarak yang tidak lama mereka pasti akan bertemu kembali.


Seperti membiarkan takdir memainkan dadu untuknya, Jeffrey tidak berusaha keras. Tidak juga bertindak sok keren dengan banyak mencaritahu soal Jessie, meski dia bisa melakukannya dengan mudah. Dia membiarkan semuanya berjalan semestinya, karena Jeffrey percaya jika alam pasti akan bekerja untuk mereka jika takdir memang menjanjikan.

"Kamu kasih saja dokumennya ke Pak Gilang, biar beliau yang antar ke kantor nanti."

Seperti bagaimana dokumen Ko Jun tertinggal di apartemen Jeffrey, dan Jeffrey yang tidak memiliki kegiatan sama sekali memilih untuk mengantarkan sendiri dokumen tersebut ke kantor.

"Kalau gue titipin ke resepsionis gimana? Bilang saja atas nama Pak Gilang atau gimana, kek. Gue bosen di rumah."

"Terserah kamu saja."

Jeffrey tidak pernah menduga, apalagi merencanakan pertemuan ketiga mereka terjadi sangat cepat dengan Jessie yang menarik tangan Jeffrey keluar dari kantor sesaat setelah pemuda itu menginjakkan kakinya di pintu masuk.

"Kamu! Kamu kok bisa ke sini? Kamu tahu kalau saya kerja di sini? Kok bisa tahu? Kamu stalk-stalk saya, ya?"

Ekspresi penuh rasa ingin tahu, terkejut dan juga gugup yang Jessie miliki bisa Jeffrey rekam dengan jelas. Yang pasti, saat itu kata yang terlintas di kepalanya hanyalah satu, cantik.

How pretty you are!

How could a girl be this pretty?

Jessie di mata Jeffry hanyalah untaian pujian yang tidak akan pernah terputus, karena dia sangat cantik dan menawan.

"Jangan diam saja! Cepat jawab!"

Jeffrey mengangkat dokumen yang ada di tangannya. Dokumen yang diminta oleh Ko Jun dan hendak Jeffrey titipkan di resepsionis.

"Itu apa?"

"Dokumen," jawab Jeffrey santai, sedikit mengejek juga. "Aku mau antar dokumen ini ke resepsionis, atas nama Pak Gilang, buat Pak Jun."

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang