10. No one perfect

896 120 27
                                    

Sebagai seorang ibu, melihat kamu menyimpang itu sebuah sakit hati yang tidak dapat didefinisikan. Tapi, sebagai seorang ibu juga, melihat kamu bisa membalik semua kesalahan itu sebagai tanggung jawab juga menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.

Menghamili perempuan di luar nikah itu bukan sebuah prestasi. Tapi kamu sudah belajar banyak hal dan masih terus belajar hingga sekarang, itu yang harus dinilai.

—Sarah Wong

Suara bel yang dipencet menggema ke seluruh ruangan.

Kakal yang tadinya masih asik dengan mainannya sendiri segera berdiri, disusul oleh Jeffrey di belakang anak itu.

"Kakal bukaaa! Kakal bukaaa! Kakal bukakan pintuuu!"

Tubuh gempal itu berlari dengan suara tawa yang mengiringi. Kakal suka sekali membukakan pintu untuk tamu. Papa sendiri hanya mengekor untuk ikut menyambut tamu yang datang.

"Kakal bukaaa! Kakal buka pintuu!"

Cklek!

Pintu telah dibuka.

"Hao—ish! Napain ke cini, cih?"

Wajah-wajah yang memang telah membuat janji untuk datang terlihat. Abin, anak itu tersenyum pada Kakal yang membukakan pintu untuknya. Berbanding terbalik dengan Abin, Kakal langsung mengubah wajah cerianya menjadi cemberut. Bahkan dia tidak ragu-ragu untuk menggerutu.

"Kakal, halo. Abin main-main lumah Kakal, hehe," sapa Abin dengan ramah. Tapi tetap saja, Kakal masih setia memasang wajah juteknya.

Kalau tidak ingat janjinya pada Papa, rasanya Kakal mau mengusir Abin saat ini juga agar tidak masuk ke rumah mereka. Tapi Kakal telanjur janji, jadi dia tidak bisa menariknya lagi. Orang yang tidak bisa menepati janji itu tidak keren; seperti Papa beberapa waktu lalu. Papa tidak keren saat tidak bisa menepati janji, dan Kakal tidak mau menjadi anak yang tidak keren.

Hanya saja ... huh! Melihat wajah Abin sudah membuat mood Kakal langsung merosot drastis.

Abin datang dengan pengasuhnya. Pengasuhnya tidak sama dengan orang yang Jeffrey temui saat di playgroup kemarin. Mungkin ada beberapa pengasuh untuk mengurus Abin. Sangat berbeda dengan Kakal yang hanya memiliki satu pengasuh. Itu pun hanya bekerja tiga sampai empat hari dalam seminggu, dan masih sering diliburkan oleh Jeffrey.

"Abin, ayo masuk," ajak Jeffrey, karena Kakal hanya diam saja sejak tadi di depan pintu.

Kakal mendengkus sebal, memberi jalan pada Abin dan pengasuhnya untuk lewat.

Abin tersenyum pada Jeffrey. Anak itu menyapa dengan sopan. "Uncle Jef, halooo. Apa kabal, Uncle?"

Tawa Jeffrey menggema. Dia mengusap pelan kepala Abin. "Baik. Kabar Uncle semakin baik karena Abin main ke sini," ujar Jeffrey. "Abin sendiri, gimana?"

"Abin baik, Uncle."

"Bagus, bagus. Ayo, ke dalam. Nanti kamu bisa main sama Kakal di dalam. Kakal punya banyak mainan. Abin bisa main bareng nanti, oke?"

Jeffrey menggiring Abin untuk masuk ke ruang mainan. Di sana memang ada banyak sekali kotak besar berisi mainan-mainan milik Kakal yang disusun sedemikian rupa agar tidak berantakan.

"Abin bring mainan for Kakal, Uncle. Aunty, mainan Kakal mana?"

Nannynya Abin memberikan hadiah yang telah anak itu persiapkan untuk Kakal. Abin memberikannya pada Jeffrey.

"Loh, ini bukannya action figure yang kamu bilang kemarin, ya? Waahh, Kakal memang suka ini. Makasih, ya, Abin."

"Cama-cama, Uncle!"

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang