16. Accidently madness

841 113 31
                                    

Gimana, ya? Kadang pas si bocil lagi lucu-lucunya, gue pengin punya anak juga. Tapi, kalau liat Uncle Jef repot karena si bayi lagi tantrum, I got this on my mind, "Okay, I don't need a baby in my life. I'm good enough with my current situation?"

—Johnny Alaska Yudhoyono


"Cakrawala, Papa marah, ya! Papa nggak suka lihat Cakrawala seperti ini! Papa nggak suka!"

Wajah memerah Kakal menatap kesal ke arah Papa. Matanya sudah digenangi oleh cairan bening yang sudah siap meleleh kapan saja, dan tubuh anak itu bergetar karena berusaha keras menahan emosi yang meluap.

Kakal juga marah sama Papa. Kakal marah karena Papa memarahinya di depan umum. Papa tidak membiarkan Kakal berbicara sejak tadi. Papa terus saja marah walau Kakal mencoba untuk berbicara. Kakal sangat marah pada Papa yang seperti itu.

"Cakrawala!" tegas Jeffrey, sudah lelah berdebat. "Dengar Papa!"

Di sisi lain, Kakal juga merasakan hal serupa. Mulut anak itu terbuka dan hal pertama yang terjadi ketika Kakal siap berdebat adalah air matanya yang berakhir leleh, mengaliri pipi temban anak itu.

"PAPAAA! DENAL KAKAL! KAKAL UGA MAYAH!" teriak Kakal. "KAKAL DAK CUKA PAPA! KAKAL DAK CUKA PAPA MAYAH KAKAL! PAPA MAMAU DENAL KAKAL! KAKAL MAYAH PAPAAA! KAKAL UGA DAK CUKAAA!"

"Cakrawala Yudhoyono!"

"PAPAAA!" Kakal berteriak sekuat yang dia bisa. Papa itu seharusnya sadar kalau Kakal sudah tidak bisa dinego lagi. Kakal juga kecewa, bukan hanya Papa saja yang bisa kecewa.

"Kakal dengar Papa!" ucap Jeffrey.

"PAPA DENAL KAKAL!" balas Kakal masih dengan teriak. Dada anak itu sudah naik-turun karena emosinya yang meledak-ledak. Wajah Kakal terlihat sangat kacau saat ini. Dia sangat marah.

Kalau Papa bisa marah, Kakal juga bisa. Kakal menggunakan kedua tangan gempalnya untuk mengusap air mata yang tidak juga mau berhenti mengalir. Kalau dia cengeng, nanti Papa pasti akan mengabaikan ucapannya. Papa tidak mau mendengarkan anak yang banyak menangis, jadi Kakal mengusap-usap terus air mata yang mengaliri pipinya itu walau semuanya seperti percuma karena air mata Kakal terus saja mengalir.

Jeffrey berdecak kesal. Dia menghentikan tangan Kakal sehingga air mata anak itu bisa turun dengan bebas. Kakal marah, dia mencoba melepaskan diri. "Yepas Kakal!" teriak Kakal.

"Cakrawala."

"YEPAS!"

Jeffrey menarik tubuh anaknya ke dalam pelukan. Walau Kakal terus memukuli tubuhnya, Jeffrey tidak melepaskan anak itu.

"PAPA MAMAU DENAL KAKAL! PAPA MAYAH-MAYAH KAKAL! KAKAL DAK CUKA PAPA!"

Jeffrey memejamkan mata, menarik napas panjang-panjang. Dalam usahanya itu, Jeffrey telah menyadari kesalahannya sedari tadi. Seharusnya dia meredakan emosi Kakal lebih dulu, bukannya langsung menyudutkan anaknya seperti itu dengan marah-marah pada Kakal.

Jeffrey menyadari jika dia salah ambil langkah karena terbawa emosinya sendiri. Apalagi saat melihat wajah Kakal sekarang, Jeffrey luluh begitu saja. Dia telah kehilangan semua amarah yang memuncak sedari tadi. Dia kalah telak di depan anaknya.

Mereka saling tatap, dengan Kakal yang berlinang air mata dan Jeffrey yang sedikitnya telah berhasil menguasai diri. Keheningan mengisi udara di antara mereka. "Kakal," panggil Jeffrey.

Kakal menghindar saat papanya itu berniat menyentuh pundaknya. Dia masih marah.

Jeffrey sekali lagi menarik napas panjang. "Kakal, maaf, ya?" Kakal tetap bergeming walau suara Jeffrey terdengar begitu tulus akan rasa bersalahnya.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang