1. Tepon Abin
Di ruang santai yang luas, ada banyak mainan Kakal berserakan. Sedangkan si kecil, pemilik dari berbagai mobil, robot dan boneka yang berserakan itu tengah asik duduk di sofa besar sambil sibuk menatap ke layar ponsel. Oh ya, ponsel Kakal sendiri berada di meja dengan tempat duduk ponsel, sedangkan dia menatap dari jarak yang lumayan. Saat ini Kakal sedang sibuk berbicara dengan Abin lewat panggilan video.
"Mamacii, yoh, cudaa kacii kuki fol Abin. Abin cukaa cekayi kuki papa Nini buatkan. Enakkk!"
Kakal mengangguk sombong. Dia sangat senang karena cookies yang papanya buat dipuji. "Iya, dong. Papa Kakal kan good-good kayo cooking," kikiknya pelan. "Abin amu kuki yagi?"
Bola mata Abin membesar saat pertanyaan dari Kakal tadi keluar. "Boyeh?"
"Boyeh, dong," balas Kakal dengan ekspresi bangga. "Kakal bawakan ke cekuyah, latel. Ote?"
"Oteee! Timacii, Kakal."
"Ama-ama!" balas Kakal senang. Tidak menyadari kalau dia baru saja berjanji tanpa konsultasi ke Papa terlebih dahulu.
2. Cookies Papa
"Cari apa, sih, Cil? Gue bantu, deh, dari tadi nggak selesai-selesai perasaan." Jeffrey mendekati tubuh kecil anaknya, berjongkok untuk menyamakan tinggi badan mereka dan mencoba mencaritahu alasan dari kesibukan Kakal sedari tadi.
"Cari apa, hm?" tanya Jeffrey lagi saat Kakal masih terlihat tidak tergerak sama sekali meskipun dia sudah berada di dekatnya.
Kakal menatap penuh harap pada papanya. "Papaaa," rengek anak itu. "Kuki Kakal mana? Kok iyang? Kakal inat yoh, Kakal macii puna catu topes Papa made for me."
"Cookies apaan? Tadi siang kan lo udah makan yang toples terakhir itu." Jawaban dari Jeffrey segera mengundang keringat Kakal untuk terjun payung dari kulitnya. "Kenapa, sih?"
"Kakal pomis Abin."
"Mau bawain cookies?"
"Um."
"Tapi kan cookiesnya udah nggak ada, udah lo makan tadi siang."
"Papa buatkan, pisss. Bica, 'kan? Papaaa, Kakal hep deh. Piss, Papa. Pissss," rengek Kakal. Dia tidak mau jadi anak tidak keren yang suka ingkar janji. Apalagi janji ke teman sendiri.
"Ini udah malem, Cil. Besok kan lo pergi ke sekolah."
"Papaaa, huhuuu. Pisss, hep me, pissss," bujuk Kakal lagi. Dia menggoyangkan lengan Papa agar tersentuh oleh permintaannya itu.
"Besok minta maaf ajalah ke Abin. Nggak papa tahu, minta maaf. Abin pasti ngerti, kok."
Melihat Papa yang tidak juga tersentuh, Kakal melipat kedua tangan di depan dada. "Dacal pia old-old dak puna peyacaan."
"Heh, nggak sopan!"
"Bialin! Kakal minta hep-hep, but you ignore me! Papa dak puna peyacaan!" ucap anak itu lagi sambil membuang muka. Sudah persis adegan sinetron istri yang tersakiti.
Jeffrey membuang napas lelah. Sekarang masih jam tujuh, sih, tapi waktu tidur Kakal itu jam sembilan paling lambat. Jeffrey tidak mau anaknya kurang tidur. Mungkin kalau dia membiarkan Kakal membuat cookies sampai tahap menyampurkan semua bahan, dan menidurkan Kakal setelah itu, masih ada cukup waktu.
"Ya udah, iya. Ayo, cepetan. Keburu makin malem."
"Yeeyyy! Papa tebaik!"
"Serah, dah," dengkus Jeffrey, tapi kedua sudut bibirnya malah naik ke atas. Jeffrey selalu suka jika Kakal membanggakan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa's Diary •√ [Terbit]
Fiksi Remaja[sebagian chapter diprivate untuk kepentingan penerbitan] • Lika-liku young-adult bernama Jeffrey Sameko Yudhono yang harus membesarkan anaknya, Cakrawala Yudhono, seorang diri. Update setiap hari Rabu(kalau tidak ada halangan).