20. Mission uncompleted

795 126 30
                                    

Terkadang rasanya aneh sih lihat anak kecil bisa sangat memahami orang tua. Iya, dia masih ada masa tantrum dan kekanakan, tapi sering banget dia jadi sok dewasa.

Nak ... kamu masih empat tahun, 'kan?

—Irene Bae


Mbak Ajeng itu bukan bibi pengasuh yang biasa bekerja untuk menjaga Kakal. Dia saudara jauh dari pengasuh Kakal yang kebetulan mendapat pekerjaan saat Kakal masih berusia 2.5 tahun.

Saat itu Bi Sukma, bibi pengasuh Kakal harus pergi ke Lampung karena anaknya menikah. Dan dia mengambil cuti cukup panjang, padahal seharusnya Jeffrey dan Kakal melakukan perjalanan.

Di usia Kakal yang masih sangat muda, Jeffrey tidak berani pergi tanpa bantuan bibi pengasuh, tapi Jeffrey juga terlalu enggan mencari pengasuh lain karena Kakal sudah nyaman sama Bi Sukma. Makanya, saat itu Jeffrey bilang ke Bi Sukma, "Kalau ada kenalan Bibi yang bisa dimintain tolong, boleh banget disuruh ke sini buat kerja sementara."

Kebetulan waktu itu Mbak Ajeng lagi libur setelah lulus sekolah dan masih menunggu informasi lolos masuk kampus pilihannya. Maka dipilihlah Mbak Ajeng buat gantiin Bi Sukma, dan itu terjadi sampai sekarang. Setiap Mbak Ajeng libur dan Bi Sukma ambil cuti, Jeffrey menerima kedatangannya buat membantu menjaga Kakal.

Menjaga Kakal itu tidak susah. Apalagi Kakal anaknya anteng, terutama kalau sudah dikasih lego dan robot. Kakal bisa main dengan tenang tanpa banyak mau. Kakal juga tidak pilih-pilih makanan. Mbak Ajeng hanya perlu tahu waktu yang tepat buat ajak Kakal main keluar sebelum anak itu suntuk di rumah. Kalau semua dilakukan dengan baik, maka Kakal tidak akan tantrum.

Hm ... yang sulit dari menjaga Kakal itu mungkin karena dia anak yang impulsif. Kadang-kadang bisa asal tunjuk dan mau beli ini-itu. Apalagi Kakal juga punya kartu ATM sendiri, belum lagi uang di tas-tas kecilnya; pemberian dari Opa dan Oma, serta uncle-aunty.

Mbak Ajeng, sih, bisa saja berpikir kalau, "Kan itu duit dia, ya, jadi dia mau beli apa mah terserah," aslinya. Cuma, Mbak Ajeng juga tahu jika Jeffrey tidak suka anaknya asal beli-beli. Jadinya kalau mau mengajak Kakal keluar itu agak tricky buat Mbak Ajeng.

Namun, Kakal anak yang manis, kok. Kakal itu tidak bertengkar sama anak lain. Kakal juga tidak pernah asal bertindak kasar ke orang hanya karena iseng. Kakal sangat baik, mungkin kalau mau jahil juga mentok ke papanya sendiri.

Hanya saja, Mbak Ajeng lupa, Kakal tidak pernah melakukan semua itu bukan karena dia tidak mau, tapi lebih karena Kakal tidak punya kesempatan untuk berbaur dengan anak seusianya. There's a big different between the both situations.

Kalau Kakal ada kesempatan, menggigit lengan anak lain pun dia gasskeun!

"Mbak Ajeng, Kakal sedang menangis sekarang. Dia habis bertengkar sama temannya. Bisa tolong Mbak ke ruang kelas dan ditenangkan dulu anaknya?"

Dan Mbak Ajeng yang terbiasa dengan ketenangan Kakal, jadi cukup terkejut sama situasi barunya itu. Hm ... Kakal ternyata bisa bar-bar juga, ya?

Penolakan dari Abin jelas saja membuat Kakal kaget luar biasa. Apalagi Kakal itu mendapat misi dari Papa, harus memberikan cookies yang enak dan lembut buatan Papa pada Abin, si anak nakal.

Tadinya Kakal pikir kalau misi yang diberikan padanya itu terlalu mudah. Abin kan suka menempel sama Kakal, jadi dia pasti akan langsung mau kalau dikasih cookies. Malahan Abin harus banyak berterima kasih karena Kakal mau berbagi cookies buatan papanya.

Harusnya seperti itu, 'kan?

Tapi, kenapa yang terjadi malah sebaliknya?

"Napa mamau?!" seru Kakal. Dia harus menyelesaikan misi dari Papa biar bisa melanjutkan rencana liburan mereka. Titik.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang