13. The moment

995 133 73
                                    

Plisss, aku memohon dengan amat-sangat. Tolong tinggalin banyak komentar di chapter ini buat menghibur aku yang habis ngasih jasa gratis ke customer:)

Tolonggg banget.

Aku hibur kalian dengan cerita, jadi plisss, tolong hibur aku dengan komentar kalian.

Aku mau nangis soalnya karena dari pagi merasa ada yang mengganjal, hahaaa

Tolong yang biasanya nggak kasih feedback, tolong banget aktif di chapter ini buat aku yaaa.

Mau dibilang ngemis gapapa, soalnya aku beneran sedih banget, buseettt!😭

Makasih banyak sebelumnya.

😭😭😭

Sekarang kamu tidak mengerti, tapi pasti akan ada masa di mana kamu akan berpikir, "Now I can feel what you felt in that moment, in that case. And I can't see you as a freak again. Because, if I were you I will do the same."

Soalnya, menjadi orang tua itu tidak hanya membuat kita belajar, tapi juga mengalami beragam warna yang baru.

—Arjuna Langit Yudhoyono


Saat membuka kamar, Jeffrey dapat mendengar suara Kakal yang samar-samar memanggilnya dalam tidur. Ci Irene duduk di samping ranjang anaknya, sambil sesekali mengecek suhu tubuh Kakal; itu yang Jeffrey tangkap karena saat dia masuk Ci Irene sedang mengulurkan tangan dan menyentuh dahi Kakal. Ci Irene terlihat sangat telaten dalam merawat bayinya yang sedang sakit, dan Jeffrey bisa merasakan hatinya yang menghangat.

Tidak ada suara dalam langkah yang Jeffrey ambil, kecuali detak jantungnya yang seperti merosot ke bawah. Di suhu kamarnya yang normal, Jeffrey merasa keringat dingin membasahi telapak tangannya. Plastik berisi obat sudah berada dalam genggaman, tapi sesuatu yang asing terus saja mengusik pikiran papa muda itu.

Jeffrey berhenti di samping tubuh Ci Irene, memberikan sentuhan ringan yang cukup untuk membuat kakak iparnya terkejut.

"Jef sudah balik?" Pertanyaan retoris itu meluncur sebagai refleks lanjutan dari Ci Irene. Jeffrey mengangguk sebagai jawaban. "Kamu mau mandi dulu? Cici bantu jagain Kakal selama kamu mandi."

Mulut Jeffrey hendak terbuka untuk menolak, tapi Ci Irene sudah lebih dulu kembali menguntai kata. "Kamu baru dari luar, nggak mungkin mau langsung ngurusin Kakal, 'kan? Imun anak kecil itu lemah."

"Minta bantuannya, ya, Ci." Dengan paparan yang Ci Irene berikan, Jeffrey akhirnya menurut. Terlebih tadi siang juga dia hanya menyiram tubuhnya dengan air setelah memandikan Kakal. Jeffrey akan mandi dengan lebih bersih kali ini.

"Iya."

Setelah meletakkan plastik obat di meja kecil dekat ranjang, Jeffrey beranjak memasuki kamar mandi dengan satu setel baju di tangan. Handuk kering sudah tertata rapi di dalam, begitu juga dengan keperluan mandi lainnya. Jeffrey menutup pintu, meletakkan baju bersihnya di atas rak.

Hari ini sangat melelahkan, padahal mereka sedang berlibur. Pikiran Jeffrey juga menjadi kusut karena anaknya malah jatuh sakit di hari yang cerah dan seharusnya menyenangkan.

Jeffrey memutar keran shower. Dia menunduk, membiarkan air hangat menetesi kulit tubuhnya hingga basah.

Hari ini memang melelahkan, dan Jeffrey ingin diam sejenak, dengan suara rintik-rintik dari air shower yang menghiasi udara sebagai obat penenang. He needs a moment, just for him. As him, only himself.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang