7. Angy-angy

1.2K 139 47
                                    

Dulu gue selalu bilang, "Kalau nggak bisa nepatin tuh nggak usah bikin janji segala," ke orang-orang yang gampang banget ngasih janji.

Nggak pernah nyangka aja kalau akan ada masa di mana bocil gue ngomong, "Kayo dak bica pomis tuh dak ucaa kacii pomis," ke gue.

Damn, karma is a cold bitch!

—Jeffrey Sameko Yudhoyono


Kakal marah, dan Jeffrey dilarang mendekat dalam radius tiga meter.

Jeffrey mungkin bisa melanggar dan bersikap sok tengil dengan mengabaikan permintaan bayi kecilnya itu, tapi dia tidak melakukannya. Jeffrey berusaha untuk menghargai perasaan Kakal. Dia duduk sejauh radius yang Kakal perbolehkan sambil mengamati apa yang sedang bayinya lakukan sekarang.

Karena Jeffrey tahu, dia yang salah di sini. Dia yang telah mengingkari janji pada Kakal. Dan dia juga yang memilih untuk tetap pergi walau Kakal meraung keras sampai menjatuhkan tubuh ke tanah. It's all him, the problem is him. He makes a mistake.

Kakal sibuk menyusun puzzle bersama Johnny. Sesekali anak itu berceloteh, tapi lebih banyak dia fokus menyusun puzzle dan bahkan sampai mengabaikan sekitarnya.

"Kakal, Aunty Rene bawa buah dan susu, nih. Kakal mau makan camilan dulu, nggak?"

Bahkan saat Ci Irene datang dan menawarkan camilan, Kakal masih asik dengan potongan puzzle yang ada di depannya.

Meski Jeffrey sedang dalam masa hukuman, tapi sikap Kakal jelas mengganggunya. Itu tidak sopan, jadi Kakal dari jaraknya itu mencoba untuk menegur.

"Kakal, Aunty Rene sedang bicara sama Kakal!"

Dari tempat duduknya pula Jeffrey bisa melihat raut wajah Kakal yang mendelik kesal. Walau begitu, si kecil tetap merespons ucapan papanya. Padahal sejak tadi dia tidak banyak bergerak saat orang lain berbicara. The baby knows his daddy.

"Kakal macih mau cucun-cucun dulu, Aunty. Kakal mamam latel caja, ya?" balas Kakal pada Ci Irene, dia masih marah sama papanya.

Jeffrey sih tidak masalah, karena dia telah mendapat respons yang dimaunya. Jeffrey diam saja saat Kakal lagi-lagi memasang wajah permusuhan padanya.

"Okay. Aunty taruh sini, ya? Kalau Kakal butuh apa-apa, bilang ke Aunty atau Johnny saja, oke?"

"Otee," jawab Kakal lagi.

Meski waktu terus bergulir, Kakal dan kegiatan menyusun puzzle miliknya itu tidak juga terhenti. Johnny yang tadinya membantu juga telah menyerah, memilih untuk rebahan di samping tubuh kecil penuh fokus milik Kakal. Buah yang ada di piring tadi setengahnya telah Johnny makan, sedangkan Kakal masih asik sendiri bersama potongan puzzlenya.

Normalnya anak kecil akan dengan mudah merasa bosan. Mereka tidak bisa fokus pada satu objek dengan durasi yang terlalu lama. Begitu pula dengan Kakal, biasanya. Tapi, Kakal sedari tadi tidak beranjak dari tempatnya dan tidak juga bicara dengan Johnny lagi. Anak itu keluar dari jalur biasa, membuat Jeffrey beranjak dari tempat yang telah ditentukan sejak tadi.

Saat bayangan besar menutupi cahaya yang datang untuknya, Kakal mengangkat kepala. Wajah anak itu memerah saat melihat Jeffrey berdiri di depannya.

"PAPA DAK BOYEH NEAL KAKAL!"

Jeffrey menarik napas panjang, meminta Johnny pergi agar mereka bisa memiliki ruang berdua saja. Johnny yang menyadari makna dari tatapan mata Jeffrey pun berpindah tempat dengan cepat. Jeffrey akhirnya duduk di depan tubuh Kakal yang bergetar.

"Papa minta maaf, ya?" ucap Jeffrey lembut, menarik Kakal untuk dia peluk.

Kakal memberontak dengan kuat. Tangisnya pecah saat itu juga.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang