6. Papa's Pomis

987 129 27
                                    

Kadang kita niatnya sudah sat-set, tapi kalau Tuhan belum kasih jadi, ya, hasilnya bisa saja nyungsep.

—Johnny Alaska Yudhoyono


"Nggak bisa diundur? Harus hari ini banget, ya?"

Ujung mata Jeffrey melirik Kakal yang sudah asik berkemas. Mereka akan pergi menginap di rumah Ko Jun, makanya Kakal sudah sangat bersemangat sejak pagi hari. Kakal mengangkat bokong, berlari mendekati tubuh papanya.

"Papaaa," panggil Kakal berbisik sambil menarik ujung kaos Jeffrey. Kakal sudah paham kalau papanya sedang menelepon, maka tidak boleh diganggu. Jadi Kakal harus berbisik untuk memanggil Papa.

Tangan kanan Jeffrey terulur, mengusap lembut rambut Kakal saat anaknya itu menunjukkan dua buah topi baru miliknya. Mungkin Kakal mau meminta pendapat papanya untuk topi yang harus dia bawa nanti.

"Bentar, ya, gue nelpon dulu," ucap Jeffrey sambil berbisik juga, sedikit menjauhkan ponselnya. Kakal mengangguk setuju, lalu berlari untuk kembali ke tempat semula dan mengemasi barang miliknya sekali lagi. Lagi-lagi dia sibuk memilih barang-barang yang akan dibawanya ke rumah Ko Jun nanti.

"Sumpah, deh, harus hari ini banget?" Jeffrey berdecak pelan, mulai terlihat gelisah. "Gue kan udah bukan anggota lagi. Perlu banget gue join rapat?" tanyanya dengan nada kesal.

"Mendingan habis ini bikin evaluasi, dah. Anggota kok nggak becus semua kayak gitu!" Jeffrey mendengkus kesal.

"Iyalah, gila aja!" seru Jeffrey. "Bawa-bawa nama Pak Harto lagi, si sinting!" Dia sudah tidak peduli jika sedari tadi hanya ada umpatan yang keluar dari mulutnya. Jeffrey sudah benar-benar kehilangan kesabaran.

"Gue dateng agak telat nanti. Kalau mau dibuka dulu juga nggak pa-pa. Bilang aja ke mereka kalau ada yang protes, masih untung gue mau dateng." Jeffrey kembali berdecak. Rambutnya dia acak-acak dengan kesal setelah memutus sambungan telepon.

Jeffrey memang sudah semester tujuh, sudah serah terima jabatan dengan adik tingkat juga. Tapi Jeffrey masih sering dimintai tolong jika ada acara. Tidak bertugas langsung memang,
melainkan sebagai pengawas. Hanya saja, Jeffrey sangat kesal jika harus dimintai tolong secara mendadak seperti sekarang. Seperti tidak bisa menghargai waktu orang lain saja.

Kalau bukan karena janji yang dia buat dengan salah satu dosen yang sudah sangat berbaik hati padanya, Jeffrey pasti akan menolak mentah-mentah permintaan tadi.

"Dipikirnya yang punya urusan mereka doang apa? Nggak tahu malu banget!" dengkus Jeffrey.

"Papaaa!"

Panggilan dari Kakal mengundang atensinya. Jeffrey mengumbar senyuman, berubah dengan cepat. Dia berjalan mendekati tubuh kecil di ruangan itu, lalu duduk di samping Kakal. Dengan lembut dia mengusap lembut rambut anaknya. Kakal sendiri cekikikan karena perlakuan yang diberikan oleh papanya, anak itu sedang dalam suasana hati yang baik.

"Lama, ya?"

"No! No!" balas Kakal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya hingga poni anak itu ikut bergerak lucu. "Dak yama, Papa."

Jeffrey tersenyum tipis mendengar jawaban yang Kakal berikan. "Tadi mau milih apa? Sini, Papa bantu."

Segera setelah pertanyaan Jeffrey meluncur, Kakal menunjukkan lagi dua topi yang sempat menjadi pilihan sulit baginya. Topi kepala beruang berwarna coklat, dan topi kepala anak ayam dengan warna kuning mentereng.

"Ini, Papa. Kakal binun. Kakal halus weal mana catu, ya? Kakal cuka muanaaa."

"Hm, sebentar. Let me think."

Dengan gaya super serius, dua pria berbeda usia itu menatap lama topi yang berada di hadapan mereka. Jeffrey bergumam panjang, memasang topi beruang tadi ke kepala Kakal.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang