Dulu Ayah sering bilang, "Having a child doesn't mean someone is ready to be a parent. There are a lot of people who still act like a big kiddo when they already have their own child."
Tadinya saya tidak paham apa maksud dari ucapan Ayah, karena menurut saya, setiap orang pasti sudah siap menjadi orang tua ketika mereka memutuskan untuk memiliki anak. Sampai saya melihat kelakuan si bungsu di rumah kami.
—Arjuna Langit Yudhoyono
•
Kakal memakai hoodie pink yang panjangnya mencapai betis. Celana pendek yang anak itu kenakan tidak terlihat dari luar. Di kedua kaki mungilnya ada sepatu kain berwarna lavender membungkus. Kakal menutup penampilan dengan tas berbentuk kepala bebek berwarna putih.Kaki mungil anak empat tahun itu melangkah menuju kamar atas, tempat Papa istirahat dan membuat tugas termasuk kikipci; kalau kata Kakal itu kamar khusus Papa. Kamar Papa tidak pernah dikunci, jadi Kakal bisa langsung membuka pintu dan masuk. Kakal melangkah pelan, mendekati tubuh Papa yang sedang duduk di depan meja, sibuk mengetik dan mengetik. Tangan kanan Kakal menarik ujung kaos Papa. Papa tidak terusik sama sekali.
"Nanti, ya, Papa lagi nugas." Kalimat dari Papa membuat Kakal menghentikan kegiatan menarik ujung kaos itu. Papa sudah sadar akan keberadaannya.
"Papaaa! Papaaa! Kakal dah ciap!" Tapi, tidak menyerah di sana, bayi itu mengeluarkan suara.
Suara cempreng Kakal yang memakai nada tinggi itu jelas mengundang atensi Jeffrey. Jeffrey mengernyit dalam, mencoba menilai penampilan Kakal yang kelewat rapi. Jeffrey jadi linglung sendiri.
"Siap? Siap ngapain, Cil? Mau pergi ke mana?"
"Pelgi maalll, Papaaa! Pelgi mall cama Papa!" jawab Kakal semangat. Dia mau ke mall hari ini, makanya sejak pagi anak itu sudah sibuk menyiapkan diri.
Sebelah alis Jeffrey terangkat. Dia yang tadinya sibuk mengerjakan tugas kampus pun memilih untuk memberikan perhatian pada si kecil. "Pergi ke mall?" tanya Jeffrey.
"Um!" Kakal mengangguk senang. Dia sudah sangat siap untuk pergi bersama Papa sekarang.
"Sama Papa?" Jeffrey menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, Papaaa!"
"Memangnya Papa pernah bilang mau pergi ke mall, ya? Papa lupa?" Jeffrey menggaruk rambutnya sendiri.
"No, no. Papa no pomis Kakal. Kakal bawa Papa mall!"
Mata bulat Kakal menatap lurus ke arah Jeffrey. "Papa, pelgi mall, ya? Cama Kakal, ya?" pinta Kakal dengan suara yang terdengar penuh harap.
Jeffrey menghela napas, jika sudah begini dia tidak bisa menolak. Kalau mau pergi keluar, Kakal memang selalu izin padanya. Biasanya sih pergi sama pengasuh dan supir, tapi sepertinya jika Jeffeey menolak akan membuat drama panjang nanti. Apalagi anak itu sampai bersiap sejak pagi, terlihat sangat bersemangat. Pasti Kakal telah memikirkan semuanya sejak kemarin, membuat ide sendiri untuk membawa Jeffrey pergi ke mall.
"Papaaa, mau, yaaa?" pinta Kakal lagi saat Jeffrey tidak juga memberi jawaban.
Jeffrey menghela napas lagi. Minggu lalu mereka sudah keluar bersama, tapi tidak buruk juga untuk keluar lagi hari ini. Hitung-hitung menyenangkan anak, pikir Jeffrey.
"Ya udah, Kakal turun dulu, deh. Papa mau matiin laptop sama ganti baju." Jeffrey menerima ajakan pergi Kakal.
"No yama-yama, yaaa!" ucap Kakal. Dia bisa memasang senyum lebar karena Jeffrey sudah setuju untuk pergi bersama.
"Hm, iya. Sana, Cil, turun. Nggak boleh ganggu privasi orang."
"Huh! Apaciii pipacii, pipacii!" Kakal mengomel kesal, tapi tetap menurut untuk keluar dari kamar papanya. Dia akan menunggu di ruang tamu sambil meminum susu botol. Pergi keluar itu butuh energi yang sangaattt banyak, makanya Kakal harus mengisi energinya terlebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa's Diary •√ [Terbit]
Fiksi Remaja[sebagian chapter diprivate untuk kepentingan penerbitan] • Lika-liku young-adult bernama Jeffrey Sameko Yudhono yang harus membesarkan anaknya, Cakrawala Yudhono, seorang diri. Update setiap hari Rabu(kalau tidak ada halangan).