12. Catch a cold

964 127 32
                                    

Namanya juga ... bocil? Sekarang kelihatan sehat, banyak gerak, banyak omong, eh, tiba-tiba malemnya jatuh sakit.

Mau bilang udah biasa, tapi pengennya, sih, nggak dijadiin kebiasaan. Hadeehhh.

—Jeffrey Sameko Yudhoyono


Malam harinya, Kakal demam.

Suhu tubuhnya tinggi. Dia juga susah bernapas karena pilek. Berkali-kali Kakal tersedak oleh batuknya sendiri. Dan tentu saja, bayi berusia empat tahun itu tidak bisa meninggalkan dunia drama para anak saat sedang sakit.

Kakal terus menangis walau ada Oma yang menemani di samping ranjang. Dia terus menangis karena tidak menemukan papanya. Bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya.

Jeffrey sendiri sedang pergi mencari obat untuk Kakal, karena ternyata di kotak P3K yang dia persiapkan tidak ada obat flu untuk anak-anak. Padahal Jeffrey sudah beli sebelumnya, tapi dia malah lupa membawa obat itu bersama mereka. Karena tidak bisa percaya dengan orang lain, akhirnya Jeffrey sendiri yang pergi untuk mencari obatnya.

Hal lain yang papa muda itu tidak ingat karena terlalu panik adalah, Kakal tidak suka ditinggal saat sakit. Kakal memang selalu rewel saat suhu tubuhnya naik drastis, tapi dia jadi semakin rewel karena tidak ada Papa di sampingnya. Kakal hanya bisa tenang jika ada papanya. Karena hanya Papa yang anak itu mau.

"Tenang, ya, Baby. Papa sedang carikan obat untuk Kakal. Jangan menangis, ya?"

Setiap kali Oma mencoba menenangkan, tangisan Kakal malah semakin meledak. Kakal cuma mau papanya, bukan Oma, bukan Opa, bukan Uncle Jun, bukan Auntu Rene, bukan juga Johnny. Kakal hanya mau Papa, bukan yang lain.

Kakal ingin dipeluk Papa, lalu tidur dalam pelukan hangat Papa. Kakal ingin mendengarkan detak jantung Papa sebagai ninabobo. Pokoknya Kakal mau Papa.

"Papaaa! Kakal mau Papaaa!"

"Papaa puyang! Papaaa! Huwaa! Papaaa!!"

"Kakal akitt! Papaaa!"

"Papaa kapan bayikk? Papaaa! Papaa di manaaa? Huwaaa!"

Karena terus menangis, hidung Kakal jadi semakin tersumbat. Panasnya juga tidak mereda sama sekali, padahal keringat dingin terus bercucuran. Tentu saja, Oma yang berada di samping Kakal jadi ikut panik karena sekarang Kakal malah tantrum.

"Sabar, Sayang. Sabar, ya? Papa lagi carikan obat untuk Kakal." Hanya itu yang bisa Oma katakan untuk menenangkan Kakal.

Di sisi lain, Jeffrey mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi untuk bisa mendapatkan obat. Ko Jun dan Opa sempat menawarkan diri agar Jeffrey berada di samping Kakal saja, tapi Jeffrey menolak dengan dalih bahwa hanya dia yang tahu obat yang biasa Kakal konsumsi. Padahal Ko Jun dan Opa hanya takut jika Jeffrey terlalu kalut untuk berkendara sendiri.

"Saya yang menyetir saja, gimana? Kamu sedang tidak stabil, Jeffrey."

Namun, bahkan saat Ko Jun membujuk seperti itu pun, Jeffrey masih setia pada keinginannya sendiri. Dia kembali menolak tawaran Ko Jun dengan kalimat, "Kakal demam tinggi. Kalau Koko yang nyetir, yang ada malah lelet nanti. Kasihan Kakal kalau harus nunggu lebih lama lagi."

Ko Jun membuang napas, menyerah untuk membantu Jeffrey. Opa sendiri menatap tidak percaya ke arah Jeffrey.

"Jeffrey, kalau you menyetir sendiri dalam keadaan panik begini, I jadi khawatir kalau malah—"

"Jeffrey bisa! Jeffrey bisa pergi sendiri. Jeffrey pergi sekarang." Tanpa basa-basi, Jeffrey memotong kalimat Opa dengan cepat. Dia tidak mau membuang waktu lebih lama dengan berdebat tentang menyetir sendiri atau apa pun. Jeffrey hanya ingin segera mendapatkan obat untuk anaknya.

Papa's Diary •√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang