17

21.1K 1.1K 1
                                    

"kenapa rasanya lebih sakit daripada gue mati waktu itu?"

"Mending gue ngerasain sakit waktu mati aja daripada dengar kata-kata menyakitkan dari manusia fiksi"

"Cita-cita gue sangat mudah yaitu menggapai kebahagiaan, tapi kenapa susah kali untuk digapai?"

"Gus sialan, Gue benci banget sama lo. Ngomongnya seolah-olah kayak orang bener padahal dulu dia itu lebih nggak berakhlak daripada gue". Tania berbicara sendiri dengan sesekali melempar batu ke arah danau buatan di samping masjid pesantren.

"Tania lo gak boleh nangis, mati aja lo nggak bisa nangis. Kenapa cuma kata-kata dari Gus Fahri bisa buat lo nangis sih?". Tania mencoba memejamkan matanya mengontrol air matanya untuk tidak keluar.

"Maaf". Seseorang dari belakang menghampiri Tania yang sedang menikmati keindahan danau. Hanya satu kata yang bisa ia sampaikan untuk meminta maaf kepada Tania.

Tania menoleh ke belakang dan ternyata Tania mendapati Gus Fahri. Gus Fahri berdiri di belakangnya dengan mata tertuju ke arah danau.

"It's okay. Gue nggak marah kok. Gue cuma kebawa suasana aja tadi". Jawab Tania.

"Tapi saya tetap merasa bersalah, karena mau bagaimanapun saya sudah menyakiti hati seorang perempuan". Balas Gus Fahri.

"Iya gue paham maksud lo. Tapi kalau boleh gue kasih saran, untuk kedepannya jangan lagi menasehati orang disaat keramaian maupun ada orang-orang disekitar kita selain diri kita. Karena gue pernah denger iman Syafi'i berkata:

Siapa yang menasihatimu secara sembunyi-sembunyi maka ia benar-benar menasihatimu. Siapa yang menasihatimu di khalayak ramai, dia sebenarnya menghinamu.

~Imam Syafi'i~

Dan gue merasa kalau lo sedang menghina gue tadi. Maka dari itu gue kebawa suasana, dan juga gue minta maaf karena udah bentak lo tadi". Ujar Tania tulus.

Ini yang dirinya suka dari seorang Tania. Tania bahkan sangat tahu banyak tentang kata-kata dari ulama-ulama besar maupun filosofi Yunani kuno.

"Tidak apa, saya paham keadaan kamu. Kalau ada sesuatu itu kamu boleh berbagi dengan orang-orang di sekitarmu agar tidak menimbulkan stres". Jawab Gus Fahri.

Dengan sorot mata yang masih menatap kearah air danau Tania terkekeh sumbang. "Gue gak punya siapa-siapa disini selain diri gue sendiri".

"Kamu gak boleh bilang seperti itu, masih ada saya yang mau mendengarnya. Atau kalau kamu tidak bisa menceritakan kepada saya, kamu bisa meluapkan emosi kamu yang kamu pendam selama ini. Saya tidak akan melihatnya". Ujar Gus Fahri.

"Gak mau ah, kayak anak kecil. Lagipula gue gak bisa nangis". Balas Tania yang menolak mentah-mentah perkataan dari Gus Fahri.

“ Menangislah kalian semua. Dan apabila kamu tidak dapat menangis maka pura-pura menangislah kamu” (HR.Ibnu Majah dan Hakim).

"Bukan kamu aja yang bisa memberi kata-kata ke saya. Walaupun saya tidak banyak menghafal tentang kata-kata ulama besar maupun filosofi Yunani tapi saya hapal betul tentang hadits". Ujar Gus Fahri membuat terbius memutar bola matanya malas.

Ada satu sifat Gus Fahri yang Tania baru tahu dan tidak dijelaskan didalam novel. Ternyata Gus Fahri mempunyai sifat ambisi yang besar dan tidak mau kalah dari orang-orang.

"Kalau kamu tidak bisa menangis maka pura-pura menangis lah. Setidaknya itu bisa mengurangi beban yang kamu pikul selama ini".

"Gue gak bisa nangis hiks..". Perkataannya menang mengatakan tidak bisa menangis tapi hatinya tidak serentak dengan perkataannya.

Tania menangis.

"Hiks... Gue gak bisa nangis". Tania terus meracau seperti itu disaat dirinya menangis. Itu hal yang wajar untuk orang yang seperti itu. Karena mereka butuh melepaskan bebannya.

"Kenapa rasanya lebih sakit dari pada gue mati waktu itu. Gak tau apa, gue cuma sendirian didunia entah berantah ini. Padahal gue mau ngejar kebahagiaan gue tapi kok susah banget ya. Mending gue sama ustadz Arlan aja dari pada Gus Fahri disini. Minimal omongannya ustadz Arlan itu nggak pedes kayak omongan Gus Fahri". Tania terus meracau tidak jelas disela sela tangisnya. Padahal sebelumnya Tania tidak pernah membanding-bandingkan orang. Tapi entah kenapa dirinya tiba-tiba berkata seperti itu.

Dan lagi Tania yang tiba-tiba teringat ustadz Arlan atau pimpinan pesantren nya dulu. Entah kenapa Tania seperti rindu dengan pesantren itu. Wajar juga kalau Tania rindu, karena dari umurnya Tania 12 tahun Tania sudah diboyong ke sana. Dan sekarang kalau Tania tidak mati mungkin sudah 6 tahun dirinya tinggal di pesantren.

Gus Fahri yang mendengar ada seseorang yang disebutkan selain dirinya pun mendadak mukanya masam. Entah kenapa Gus Fahri seperti itu. Dan siapa ustadz Arlan?. Gus Fahri tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Di pesantren ini juga tidak ada ustadz yang bernama Arlan.

Saat sedang fokusnya memikirkan hal itu, Gus Fahri tersadar saat melihat pergerakan Tania yang sudah berdiri memunggunginya. Tania sudah berhenti menangis. Tania berbalik menghadap kearahnya dengan mata yang memerah akibat menangis.

"Gue tadi gak nangis, itu cuma ada debu aja nyangkut dimata gue makanya tadi gue kayak gitu". Ujar Tania sambil mengusap air matanya kasar. Gus Fahri terkekeh mendengar elakan dari Tania yang menangis.

"LO". Tunjuk Tania kearah muka Gus Fahri.

"Jangan pernah sekali-kali ngomong tentang semua ini ke orang. Kalau lo ngomong tentang kejadian hari ini, gue bakalan mukul lo lewat Nasya. Jangan mentang-mentang gue bukan mahram lo bukan berarti gue gak akan bisa mukul lo. Gue bisa aja bunuh lo disini, cuma gue masih waras untuk harus masuk penjara". Ujar Tania sebelum dia memutuskan untuk berjalan meninggalkan area danau.

"Eccedentiast Health".

***
"Tania". Panggil umi dari kejauhan.

Tania menghentikan langkahnya saat umi mengambilnya dari arah kejauhan. Umi berjalan mendekat kearah nya. Dengan senyuman tipis Tania mengatakan. "Ada apa umi?".

"Kamu kenapa? Kamu habis nangis?". Tanya umi memegangi daguTania dan melihat muka Tania yang sembab.

"Enggak umi, Tania cuma kelilipan aja tadi". Jawab Tania sambil menjauhkan mukanya dari jangkauan umi.

Umi paham dengan Tania, mungkin ia sedang tidak mau diganggu. Tapi pasti ada seseorang yang membuat Tania menangis seperti ini. Biasanya dia sangat pandai menutupi lukanya. Tapi sekarang entah kenapa Tania bisa menangis.

"Kamu habis dari mana tadi?". Tanya umi.

"Habis dari danau itu umi". Tunjuk Tania kepada arah yang ia lalui tadi.

"Sebelum itu?".

"Diruang BK".

"Kamu buat masalah lagi?". Tanya umi yang tidak habis pikir dengan kelakuan Tania. Dirinya tidak marah kalau Tania melakukan hal seperti itu karena dirinya tahu kalau Tania akan bertanggung jawab. Walaupun Tania memberinya secara sembunyi-sembunyi, tapi dirinya tetap tau.

"Iya umi". Tania menjawab dengan ekspresi datar.

"Ya udah, yang penting kamu mau bertanggung jawab umi udah lega. Umi mau ke tempat Kayla dulu ya, mau jenguk dia takutnya kenapa-kenapa". Pamit umi yang diangguki oleh Tania.

Tania memandang lekat umi yang terus berjalan yang menjauh darinya. Sebelum sesaat ia terkekeh miris.

"Kayaknya yang harus ditangani dulu itu adalah sakit fisik daripada sakit mental".






Ukhti Figuran (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang