Part 25

3K 265 43
                                    

Sudah update sampai part 35 di karyakarsa.
(Part 29-35 mengandung 21+ harap hati hati membaca di siang hari)


💜

Entah berapa lama Joanna tertidur. Hanya saja ketika ia terbangun, lampunya sudah menyala dan tirai ditutup semua. Saat ia melihat ke sekeliling, di sana ada Brandon yang sudah bertukar pakaian.

Brandon menghampiri Joanna dan duduk di sisi ranjang."Joa~"

"Hmmm?" Joanna mengerjapkan matanya. "Paman~jam berapa ini?"

"Jam delapan malam."

"Ya ampun, aku tidur terlalu lama." Joanna melihat air mineral di atas nakas. Ia meraih botol dan meneguknya. Sementara Brandon terus memperhatikannya.

"Bagaimana tidurmu?"

Joanna mengangguk."Tidurku nyenyak, Paman. Aku bermimpi bertemu dengan Paman Levi dan Paman Juan. Mereka memintaku jangan bersedih. Mereka selalu mencintai dan merindukanku."

Brandon mengusap kepala Joanna."Iya, hidup kita harus terus berlanjut. Kita tidak boleh berlarut-larut."

"Aku ingin lihat Ayah dan Paman Rocky. Apa bokeh dilihat?"

"Hanya Paman Rocky yang boleh dilihat,"jawab Brandon dengan nada sedih.

"Oh, Paman Rocky sudah bisa dijenguk?" Raut wajah Joanna tampak bahagia."Tapi, apa Ayah sangat parah sampai belum bisa dijenguk?"

"Hmmm~aku tidak ingin membuatmu kaget lagi. Oaman Rocky bisa dijenguk karena Paman~sudah mengembuskan napas terakhirnya. Paman tidak bertahan, mungkin ia sangat kesakitan dan menyerah."

Joanna mematung selama beberapa saat."Paman pergi?"

Brandon mengangguk.

"Tanpa berpamitan?"

Pria itu kembali mengangguk sembari mengembuskan napas berat."Paman sudah tidak kesakitan. Dia sudah tenang." Brandon berjalan perlahan dan menyandarkan kepala Joanna di dadanya.

Joanna masih sangat kaget dengan kabar ini. Baru pagi tadi ia memakamkan dua Pamannya, dan besok ia harus ke pemakaman Pamannya yang lain."Kenapa semua pergi~"ucapnya lirih.

"Tidak semua. Ayah pasti bertahan demi kita,"ucap Brandon pelan.

"Bagaimana kalau Ayah menyusul Paman? Aku tidak punya siapa pun lagi." Akhirnya tangisan Joanna pecah.

"Masih ada aku, Joanna." Brandon mengusap-usap punggung wanita itu.

"Kenapa ada orang sejahat itu membakar rumah kita. Apa yang sudah kita lakukan sampai mereka setega itu!"Joanna meremas baju Brandon. Ia merasa sangat geram dengan pelakunya.

Brandon tidak bisa berkata-kata lagi. Menghilangkan nyawa manusia secara sengaja tidak dapat dimaafkan. Ia sendiri yang akan membalas apa yang orang itu lakukan.

"Paman~"panggil Joanna sembari tersedu-sedu.

"Iya, sayang?"

"Aku ingin lihat Paman Rocky."

Brandon menangkup wajah Joanna."Tapi, kamu harus kuat, ya? Aku khawatir dengan kondisi kesehatan kamu."

Joanna mengangguk. Brandon tersenyum tipis dan mengusap air mata Joanna. Mereka berdua melihat Rocky yang sudah tidak bernyawa. Hatinya semakin terpukul.

Joanna menangis meraung-raung memeluk Rocky yang sudah terbujur kaku. Bukti bahwa seorang Joanna sangat mencintai Pamannya. Tanpa Ayah dan para Paman, Joanna tidak akan ada di titik ini.

Malam itu kembali mencekam. Tidak ada senyuman di wajah Joanna dan Brandon. Esoknya mereka harus kembali ke pemakaman. Rocky dimakamkan di sebelah Levi dan Juan. Brandon berharap ia tidak datang lagi ke sini untuk mengikhlaskan. Ia hanya ingin datang lagi untuk mengenang.

Mata Joanna terasa perih dan bengkak. Ia menatap Brandon."Apakah kita belum keluar dari alam mimpi ini?"
"Ini nyata, sayang,"ucap Brandon lirih,"kita pulang, ya?"

"Jika Paman tahu siapa pelakunya, beri tahu aku."

"Kamu mau apa?"

"Aku ingin membakar rumahnya,"jawab Joanna dengan wajah penuh dendam.

Brandon memeluknya."Jangan pikirkan itu dulu. Kita fokus ke Ayah, ya. Ayah sudah dipindah ke ruangan. Jadi, kita bisa melihatnya kapan saja."

"Benarkah?"

"Benar, tapi, Ayah belum sadar." Brandon menggenggam tangan Joanna dan mengajaknya pulang.

Keduanya kembali ke rumah sakit. Joanna mulai merasa pusing dan lemas. Perutnya juga terasa perih dan ia merasa mual. Namun, begitu melihat Jack terbaring dengan kondisi beberapa bagian tubuh diperban,rasa sakitnya hilang. Rasa sakit Ayahnya pasti jauh lebih besar.

"Paman, apa kata dokter tentang Ayah?"

"Luka Bakar derajat tiga. Kita doakan saja,ya. Tim Dokter akan melakukan yang terbaik."

Joanna menatap Ayahnya yang masih belum sadar dan dipenuhi oleh alat-alat yang tak ia ketahui namanya."Ayah~terbakar? Semua masih belum bisa kucerna dengan akal sehat. Kenapa bisa separah ini."

Brandon mengusap kepala Joanna."Biar polisi yang akan menjelaskan nanti. Tapi, seoertinya kamu tidak perlu tahu. Kamu akan semakin terluka."

Joanna menatap Brandon."Kenapa begitu? Memangnya Paman tidak terluka?"

"Terluka. Tapi, laki-laki lebih kuat dalam menerima hal tersebut dan tidak mengganggu pikiran begitu dalam."

Joanna meringis dan memegangi perutnya.

Brandon mengernyit."Kamu kenapa?"

Joanna menggeleng."Tidak apa-apa." Wanita itu berusaha terlihat baik-baik saja, tetapi, lama kelamaan perutnya semakin sakit.

"Pa-Paman!"ucapnya sembari meringis.

Brandon menatap Joanna."Ada apa? Ada yang sakit?"

"Perutku sakit sekali!" Joanna meremas perutnya dengan sekuat tenaga.

Brandon segera menghubungi Helen untuk meminta bantuan. Dalam beberapa saat beberapa tenaga kesehatan datang untuk memeriksa Joanna. Helen pun ikut serta untuk melihat keadaan keponakannya.

"Brandon, kau pun harus turut diperiksa."

"Kenapa, Bibi? Aku baik-baik saja. Joanna yang harus diperhatikan." Brandon melihat Joanna dari kejauhan. Wanita itu sedang dipasang infus.

"Meskipun kau terlihat sehat, kita tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi. Kau tidak boleh sakit. Mental kalian sedang diserang habis-habisan, itu akan berpengaruh pada kondisi kesehatan. Setidaknya kau harus minum vitamin." Helen mendorong Brandon agar berbaring dan memanggil salah satu tenaga kesehatan untuk memeriksanya.

💜💜💜

MY HOT UNCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang