Felix tidak pernah merasakan kehadiran dari seorang ibu yang telah melahirkannya.
Sejauh yang bisa di ingat, sejak dirinya masih sangat belia, Felix hanya memiliki seorang ayah sebagai penopang hidupnya. Tentu saja, Felix tidak pernah absen dari hujan pertanyaan memilukan maupun tatapan penuh simpati dari orang-orang di sekitarnya.
'Anak sekecil itu harus tumbuh tanpa seorang Ibu. Ah, kasihan sekali.'
Felix bingung. Apa yang salah jika dirinya tidak memiliki seorang ibu? Felix tidak pernah merasa kekurangan. Baginya, apa yang diberikan oleh ayahnya sudah lebih dari cukup. Cinta dan dukungan ayahnya adalah segalanya baginya.
Felix tak pernah merasa perlu untuk mempertanyakan keberadaan ibunya. Bahkan saat momen Hari Ibu tiba, dan hanya ayahnya yang hadir di sampingnya, Felix tak merasa ada yang aneh. Dia tidak peduli. Atau lebih tepatnya, Felix tak tahu harus bersikap seperti apa.
Felix tidak memerlukan apapun lagi. Selama ayah ada disisinya, Felix yakin ia akan baik-baik saja.
Kala itu, usianya baru saja menginjak sembilan tahun. Berbagai jenis kado dari teman-temannya belum sempat Felix buka, bahkan kue ulang tahun yang ayah beli beberapa hari yang lalu belum selesai Felix habiskan. Saat itu, akhirnya Felix mengetahui kenyataan tentang kedua orang tuanya. Tentang perceraian mereka, dan tentang seorang kakak yang tidak pernah Felix miliki.
Namanya Lee Minho. Sembilan tahun lebih tua darinya. Wajahnya kecil, manis seperti seekor kucing. Meskipun Minho terlihat sedikit kaku, Felix akui kakaknya itu sangatlah tampan.
Ayah bilang, karena suatu hal yang terjadi, Minho akan tinggal bersama mereka. Terkejut, tentu saja. Tapi Felix senang-senang saja. Akhirnya, ia tidak lagi harus merasa sendirian setiap kali menunggu ayah selesai bekerja.
Beberapa hari setelah tinggal bersama, Felix bisa simpulkan kalau Minho bukanlah anak yang suka berbicara. Minho lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Jika Felix bertanya, Minho akan menjawab bahwa dirinya harus belajar giat agar bisa masuk ke universitas.
Jarang sekali Felix memiliki waktu bersama Minho. Kalaupun ada, itu hanyalah ketika mereka berada di meja makan, atau ketika Felix butuh bantuan dengan tugas sekolahnya.
Tetapi Felix tidak pernah menyerah. Sebisa mungkin ia mengambil kesempatan untuk mengobrol dengan sang kakak. Entah untuk masalah penting maupun masalah sepele sekalipun.
"Kakak, seperti apa wajah Mama?" adalah kalimat pertama yang Felix pertanyakan di meja makan setelah sekian lama memendam rasa penasaran.
Minho tidak mengucapkan sepatah katapun. Akan tetapi tangannya meraih sebuah ponsel keluaran lama dan menunjukkan sebuah foto kepada si bungsu.
Seorang wanita cantik dengan gaun putih bercorak mawar merah terlihat tengah duduk di sebuah sofa usang dengan lubang di beberapa sisi. Wajahnya anggun. Senyumnya terukir tipis dari bibir yang dipoles lipstik merah jambu.
Felix tersenyum. Mamanya cantik sekali. Felix akhirnya mengetahui kalau bintik-bintik di wajahnya adalah pemberian mama. Beberapa detik kemudian, pandangannya beralih pada sang kakak dan foto di dalam ponsel selama beberapa kali. Ah, Minho juga sangat mirip dengan mama. Hidung dan matanya seolah jiplakan dari wanita cantik tersebut.
"Kenapa Mama nggak pernah mengunjungi Felix, ya, Kak?" tanya yang lebih muda, "Apa Mama nggak sayang Felix?"
Minho mematikan layar ponsel, memasukkannya ke dalam kantung jaket lalu kembali fokus kepada kudapan manis yang sebelumnya mereka nikmati.
"Mama sayang kamu," jawabnya dengan suara pelan, "Hanya saja pria itu nggak pernah memberi Mama izin untuk mengunjungimu."
Felix tidak mengerti. Tidak juga berani untuk bertanya lebih lanjut. Hingga bertahun-tahun kemudian, ketika keduanya sama sama beranjak dewasa, ketika ayah harus pergi ke kota lain untuk melanjutkan pekerjaannya, ucapan Minho tak juga Felix pahami maknanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled ⚊ Changlix ft. Hyunjin ✔️
Fanfiction(Adj.) Terjerat dalam situasi atau hubungan yang rumit. ••• Felix itu seindah bintang dan sehangat matahari pagi, Changbin mengakuinya dengan lantang. Namun, bagaimana jika keindahan yang ia agung-agungkan selama ini malah membawa petaka yang menger...