Dulu, ketika umurnya menginjak delapan tahun, Changbin tak pernah mau tidur sendiri tanpa dipeluk ibu. Setiap malam setelah ibu menyanyikan lagu tidur atau membacakan dongeng untuknya, Changbin akan mengendap-endap masuk ke dalam kamar kedua orangtuanya dan meringkuk di antara ayah dan ibu.
Di pagi hari, Changbin akan terbangun dengan usapan lembut di kepala. Terkadang ayah dengan jahil langsung menggendongnya untuk kemudian di dudukkan diatas kursi meja makan. Lalu sepanjang makan, Changbin akan mengadu kepada ibu, jika ayah telah mengigiti tubuhnya sampai terasa sakit semua.
Ayah bilang, Changbin tidak akan bisa lepas dari pelukan ibu sampai kapanpun.
Changbin tak sedikitpun menyangkalnya. Dua tahun setelah ibu menyusul ayah, Changbin mengira bahwa ia tidak akan mampu membiasakan diri dengan suasana rumah yang sepi dan dingin.
Changbin akan terbangun sendirian, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk duduk diam di atas ranjang. Setiap membuka mata, setiap hari yang ia lalui, Changbin rasakan sesak akibat mimpi-mimpi buruk yang terus menerus sambangi tidur malamnya.
Di tahun kelima, Changbin mulai coba untuk ikhlaskan keadaan. Toh, dengan terus terpuruk selama bertahun-tahun, tak ada satu hal pun yang bisa ia rubah. Ayah dan ibu tak akan hidup kembali. Changbin tak akan mampu lagi kembalikan suasana rumah yang sehangat dulu.
Setidaknya sampai enam bulan yang lalu.
Enam bulan berlalu begitu saja semenjak Felix mengizinkan Changbin untuk menjadi bagian kecil dalam hidupnya. Enam bulan berlalu setelah Changbin habiskan hari-harinya untuk membenahi hidupnya yang berantakan.
Tidurnya semakin nyenyak, Changbin hampir tak pernah lagi habiskan uangnya untuk membeli makanan cepat saji yang terkadang hasilkan nyeri di perutnya.
Tak pernah Changbin sangka, bahwa melihat makanan hangat yang tersaji di atas meja akan menjadi momen yang sangat ia tunggu setelah sekian tahun lamanya.
Aroma susu hangat yang masih kepulkan uap menyapa penciumannya. Changbin mengerjap kala bibirnya rasakan sebuah kecupan ringan yang seketika membuatnya tersenyum kecil.
"Mikirin apa?"
Felix terlihat semakin cantik dengan surai yang semakin memanjang. Ranumnya tampak lebih merona akibat lipstik yang dibelinya beberapa hari yang lalu. Changbin rentangkan kedua lengannya, isyaratkan agar si manis nyamankan diri di atas pangkuannya.
Dengan kekehan yang terdengar lucu, Felix patuhi segala isyarat Changbin. Ia daratkan jemari kecilnya diantara surai Changbin, rapihkan helainya yang berantakan seraya sesekali menyugarnya ke belakang.
Dengan hela napas berat, Changbin eratkan rengkuhannya pada pinggang sang submisif, "Besok ulang tahun Ibuku,"
Suaranya yang pelan membuat Felix langsung memusatkan seluruh perhatiannya pada yang dewasa. Bibirnya setia mengatup, menunggu kalimat selanjutnya yang akan Changbin katakan.
"Terakhir aku mengunjungi mereka adalah tiga tahun yang lalu," Changbin tersenyum, "... atau empat? Aku nggak terlalu ingat," tambahnya.
Changbin tundukkan kepala. Diraihnya telapak tangan Felix sebagai genggaman untuk kuatkan dirinya, "Setiap tahun rasanya semakin berat untuk mengunjungi mereka. Seolah setiap tahun aku akan kembali diingatkan jika mereka telah meninggalkanku,"
Ketika Changbin kembali dongakkan kepala, Felix dapat lihat dengan jelas kedua netra lelakinya tampak memerah. Hatinya mencelos, tanpa sadar Felix ulurkan tangannya untuk usap pipi Changbin.
"Aku ingin kembali menjenguk mereka," ucap Changbin dengan senyuman lembut, "Bisakah kamu ... menemaniku?"
Felix balas tersenyum. Diusapnya punggung tangan Changbin yang genggam miliknya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled ⚊ Changlix ft. Hyunjin ✔️
Fanfiction(Adj.) Terjerat dalam situasi atau hubungan yang rumit. ••• Felix itu seindah bintang dan sehangat matahari pagi, Changbin mengakuinya dengan lantang. Namun, bagaimana jika keindahan yang ia agung-agungkan selama ini malah membawa petaka yang menger...