23. Ayah dan Anak

123 18 7
                                    

Terakhir kali Felix bertemu ayah adalah sekitar satu tahun yang lalu. Kala itu, ayah datang untuk mengunjungi Felix yang tengah jatuh sakit. Berhari-hari menghabiskan waktu bersama, Felix kembali dibuat menangis merengek saat ayah diharuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya di kota lain.

Felix sangat menikmati hari-hari yang ia habiskan bersama ayah. Ayah adalah superhero-nya, ayah adalah panutannya. Dan selain Changbin yang berada di urutan nomor dua, ayah berada di urutan nomor satu dari orang yang sangat ingin Felix bahagiakan seumur hidupnya.

Tetapi sepertinya Felix harus mengubur dalam-dalam impiannya yang satu itu. Jangankan untuk membahagiakan ayah, untuk menjadi anak berguna yang membanggakan pun Felix sudah gagal.

Jangan bermimpi terlalu tinggi, Felix. Kamu adalah aib untuk keluargamu.

Diam-diam, Felix melirik ayah yang sedang berdiri di dekat pot bunga tak jauh dari meja tempat mereka berada dengan sebuah ponsel yang menempel di telinga. Nasi dan ayam di hadapannya tampak tidak menggugah selera. Sesekali Felix hanya memakan remahan tepung atau kulit yang membalut potongan ayam tersebut.

"Kok nggak dimakan? Nggak enak, ya? Mau cari tempat yang lain saja?"

Felix mendongak, ia tarik sudut bibirnya berlawanan arah untuk merespon pertanyaan dari sang ayah, "Enak! Adek tunggu Ayah. Mau makan bareng,"

Sang ayah⚊Kento⚊balas tersenyum gemas, sebelum kemudian ia daratkan tangan diatas kepala si bungsu untuk mengusap surainya dengan lembut, "Aduh ... Adek nangisnya lama banget tadi. Matanya sakit nggak?"

Mendengar intonasi lembut penuh kasih sayang dari Kento, tanpa sadar Felix kembali berkaca-kaca. Jika boleh jujur, kedua mata Felix kini terasa perih dan bengkak. Diangkatnya kedua telapak tangan untuk tutupi pipinya yang tirus, kemudian Felix mengangguk lucu, "Sedikit. Adek kangen Ayah. Makanya jadi nangis terus. Ayah lama, sih, pulangnya,"

Hati Kento menghangat dibuatnya. Memang di tengah kesibukannya yang seolah tiada henti, hanya Felix dan Minho lah satu-satunya penyemangat baginya. Saat batinnya menyebut nama si sulung, perlahan senyuman itu sedikit meluntur, "Maaf, ya. Kak Minho sepertinya sedang sibuk. Jadi untuk hari ini, kita hanya berdua saja. Felix nggak keberatan, 'kan?"

Menangkap kilat sedih di mata sang ayah, Felix seketika paham jika Minho mungkin telah menolak atau lebih parahnya tidak membalas panggilan Kento. Pemuda manis itu lantas tersenyum lembut, "Nggak papa! Kita masih punya banyak waktu untuk menjemput Kak Minho nanti. Untuk sekarang, giliran Ayah dan Bungsu yang quality time. Ayah nggak boleh lihat ponsel untuk lanjut bekerja, ya?!"

Telunjuk kecil itu terangkat ke arah Kento. Menggemaskan sekali. Perlahan diraihnya pergelangan tangan Felix, sampai kemudian Kento mulai menyadari sesuatu, "Adek kok makin kurus? Adek nggak makan dengan baik, ya?"

Felix sedikit gelagapan. Si manis hanya terdiam untuk beberapa waktu, lalu dengan senyuman kikuk, ia menjawab, "Nggak sempat, Ayah. Tugas kuliahnya banyak banget,"

"Adek masih bekerja?"

Tak memiliki alasan apapun yang bisa dikatakan, Felix mengangguk kecil, "Tapi Adek sudah mau resign kok, Ayah. Ternyata waktunya terlalu padat kalau sambil bekerja. Adek nanti mau bekerja setelah lulus saja,"

Kento pandangi raut wajah si bungsu yang tampak kuyu tak bersemangat meskipun senyum terus tersungging di bibirnya. Tersenyum teduh, Kento genggam tangan Felix sembari ia usapi bagian punggungnya, "Anak Ayah keren banget. Sejak kapan kamu sudah sebesar ini?" kekehan kecil terdengar menghiasi suasana siang itu, sedangkan Felix hanya bisa tersenyum malu, "Ayah bangga, deh,"

Sedikit demi sedikit, senyuman di bibir Felix menyurut begitu saja, "Ayah bangga?" Felix membeo.

Pria yang lebih dewasa segera mengangguk mantap, "Tentu saja! Nanti kalau Ayah sudah kembali bekerja, Ayah bakal cerita ke teman-teman Ayah, kalau Ayah punya Putra yang sangat keren! Sangat membanggakan. Mereka pasti akan iri pada Ayah,"

Entangled ⚊ Changlix ft. Hyunjin ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang