Incheon, Juli 2007.
Tulang selangka yang menonjol, pipi tirus, tubuh kurus kering, dan wajah yang kian hari kian tampak muram. Hyunjin menjalani hari dengan penuh kesengsaraan. Anak sekecil itu, harus hidup tanpa pengawasan orang dewasa, dan tanpa gizi yang terpenuhi dengan cukup.
Tangan-tangan mungilnya dengan perlahan membersihkan setiap piring kotor yang menumpuk. Berhari-hari ibu jatuh sakit, dan sejak saat itulah Hyunjin memilih untuk membolos sekolah. Tenggorokannya kering, keringat sudah membasahi tubuh kecilnya. Disaat ia tengah sibuk membilas sebuah gelas kaca, dari kejauhan Hyunjin mendengar suara teriakan kencang, disusul oleh pecahan kaca yang menggema.
Tergopoh-gopoh, Hyunjin turun dari kursi kecil yang menopang tubuh pendeknya agar bisa dengan mudah menggapai wastafel. Sayangnya, bocah kecil itu tidak menyadari tentang banyaknya cipratan air yang membasahi lantai dapur. Sehingga begitu kaki-kaki pendeknya mulai berlari, Hyunjin terpeleset dan tersungkur dengan lutut membentur lantai.
Anak lelaki yang baru menginjak tujuh tahun sejak empat bulan yang lalu itu mengusap lututnya dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa nyeri yang menjalar. Setelah beberapa detik, ia kembali berlari menghampiri asal suara.
Di dalam kamar, diatas ranjang, ibu menjerit kesetanan. Pecahan gelas dan piring kaca berisi makanan sudah tercecer tidak karuan, botol-botol cantik yang sebelumnya tertata rapih diatas meja rias, dengan kasar ibu lempar satu persatu, tepat ke arah sebuah foto pernikahan yang dicetak dengan bingkai besar dan terpajang diatas dinding.
Tepat pada lemparan kelima, botol terakhir ibu pada akhirnya mengenai paku yang menopang bingkai foto, membuat bingkai berbahan kayu itu terjatuh dan hasilkan suara menggelegar. Hyunjin refleks menutup telinga ketakutan.
Suara laci yang terbuka menarik atensi Hyunjin. Ketika ia menengadahkan kepala, Hyunjin sontak berteriak dan berlari memeluk perut sang ibu. Kakinya melompat kecil, dengan tangan terulur keatas, berusaha untuk merebut pisau kecil yang Hyunjin pun tidak tau sejak kapan benda itu berada dalam laci ibunya.
Berkali-kali Hyunjin menangis dan memohon, berkali-kali pula ibu mendorong tubuhnya hingga terpental ke lantai.
"JANGAN MATI, BU! HYUNJIN NGGAK MAU SENDIRIAN!"
Suara Hyunjin melengking tinggi. Dan tampaknya kalimat tersebut berhasil membuat ibu berhenti histeris. Wanita yang sangat Hyunjin sayangi itu menatapnya dengan berderai air mata. Perlahan, ibu mendekat lalu bersimpuh di hadapan Hyunjin. Tangan ibu yang masih menggenggam sebilah pisau terangkat guna mengusap rambut lepek Hyunjin.
Dengan wajah pucat, bibir kering dan rambut berantakan, ibu berbisik lirih, "Hyunjin nggak perlu sendirian lagi. Hyunjin ... ikut Ibu, ya?"
Setelah kalimat terakhir selesai dirapalkan, Hyunjin melihat tatapan ibu semakin sayu dan sendu. Setelah itu, ibu tergeletak pingsan, dengan sebilah pisau yang terjatuh mengenai kaki Hyunjin.
Saat itu, dengan penuh rasa takut yang berkecamuk, Hyunjin menghubungi ayah menggunakan telepon rumah. Setelah dua jam berlalu, ayah datang bersama seorang dokter. Di belakang mereka, tampak sesosok San kecil yang mengekor tanpa bersuara.
Dokter bilang, ibu mengalami depresi berat akibat stress yang berlebihan. Tekanan darahnya sangat tinggi. Hyunjin dan San memperhatikan dokter yang memberikan beberapa perintah dan saran untuk dilakukan oleh ayah dan ibu, kemudian dokter meminta ibu untuk mengonsumi banyak sekali jenis obat-obatan.
Keesokan harinya, Hyunjin berniat untuk kembali masuk sekolah. Melihat kondisi ibu, dada Hyunjin terasa sesak. Ia sangat khawatir. Apalagi sejak semalam sebelumnya, ayah dan San bermalam disana. Hyunjin sangat khawatir ayah akan kembali melakukan hal-hal kasar pada ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled ⚊ Changlix ft. Hyunjin ✔️
Fanfic(Adj.) Terjerat dalam situasi atau hubungan yang rumit. ••• Felix itu seindah bintang dan sehangat matahari pagi, Changbin mengakuinya dengan lantang. Namun, bagaimana jika keindahan yang ia agung-agungkan selama ini malah membawa petaka yang menger...