40.

184 18 0
                                    

Entah mengapa malam terasa berjalan dengan begitu cepat terlewatkan, seperti sebuah butiran pasir jam yang jatuh dalam hitungan detik. Sepertinya baru semalam mereka berdua tidur dengan nyenyak tanpa memikirkan bagaimana hari esok akan datang, mungkin terlalu singkat.

Pagi ini setelah sarapan bersama, ibu Kun berpamitan untuk pulang lebih awal karena hari ini beliau memiliki acara lain dengan ibu-ibu lain yang seusia dengannya. Tadinya Ten ingin melarang ibu mertuanya itu untuk pulang lebih awal karena dirinya masih ingin menghabiskan waktunya dengan ibu mertuanya itu, tapi karena acara yang akan dihadiri beliau juga penting jadi mau tidak mau ia harus membiarkan ibu mertuanya untuk pulang dengan diantar oleh Kun dan juga Ten beserta dua anak kembar yang selalu tidak bisa lepas dari neneknya ini.

"Kamu beli action figure lagi?" Tanya Ten saat dirinya memasuki rumah setelah mengantarkan ibu Kun kembali ke rumah, kepada Kun yang saat itu sedang berjalan menuju dapur untuk mengambil sebuah biskuit coklat di dalam toples. Lelaki manis itu ingat bahwa pagi ini ia kembali menemukan dua kardus action figure baru di kamar si kembar saat ingin membangunkan keduanya.

Kun menoleh setelah mendapat satu gigitan renyah dari biskuit coklat miliknya dan menatap Ten dan juga kedua anaknya yang baru saja berjalan melewati tempat Ten berdiri. "Iya, buat anak-anak."

"Action figure mereka kan udah banyak, kenapa kamu beliin lagi?" Lelaki manis itu berjalan menghampiri Kun dan duduk di atas kursi dapur, tepat di hadapan Kun.

"Yang keluaran terbaru mereka belum ada, jadi aku beliin." Kun menjawab dengan santai menikmati biskuit coklat di tangannya.

"Anak-anak itu masih kecil Kun, gak usah kamu kasih mainan action figure yang lengkap kaya gitu, mereka itu gak akan paham. Lagian uangnya bisa dipake buat nanti anak-anak sekolah."

"Biaya buat mereka sekolah udah ada kok. Lagian aku beli action figure juga gak pake uang aku."

Ten mengangkat sebelah alisnya saat mendengar pernyataan tersebut dari Kun, apa maksudnya Kun sudah menyiapkan biaya sekolah untuk anak-anak mereka? Bukankah beberapa hari yang lalu mereka baru membicarakan hal ini?

"Sebentar." Melihat Ten yang tampak kebingungan dengan ucapannya, Kun pun segera merogoh saku celananya untuk mengeluarkan sebuah dompet yang biasanya akan selalu dijamah oleh Ten setiap kali lelaki manis itu bosan dan ingin berbelanja pakaian bersama Winwin.

Pria tampan itu tampak mengeluarkan tiga kartu kredit yang kemudian dirinya letaknya di atas meja untuk ditunjukkan kepada kekasihnya. "Yang ini buat anak-anak sekolah.."

"ini buat beli mainan anak-anak.."

"dan yang terakhir.."

"Ini kartu member di mall langganan kamu."

Lelaki manis di atas tempat duduk itu diam terperangah saat melihat deretan kartu kredit yang masing-masing memiliki fungsi dan tujuan masing-masing itu di atas meja. Sejak kapan Kun mempersiapkan hal ini? Padahal selama ini dirinya tidak pernah menemukan ada tiga kartu ini di dalam dompet Kun.

"Kamu..."

"Pinter."

Ten merengut seketika ketika Kun dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya itu pintar, tapi ya memang benar, tapi bukan seperti ini. Lelaki manis itu berdecak sambil berujar, "CK! Gak!"

"Kok gak sih?"

"Ya iyalah, ngapain kamu pake bikin kartu kredit cuma buat beli mainan kaya gini.. Xiaojun, Hendery masuk ke kamar!" Lelaki manis itu menyelipkan perintah kepada kedua putranya yang sejak tadi terus menguping pembicaraan mereka berdua tentang kartu kredit. Apalagi saat mereka membahas action figure, lelaki manis itu bisa melihat anak-anak yang sebelumnya terlihat asik dengan dunianya sendiri di ruang tamu itu tiba-tiba menolehkan kepalanya ke arah kedua orang tuanya, kepo.

Karena takut terkena omelan lebih banyak lagi dari Ten, kedua anak kembar itu segera berlari menuju lantai atas dan bersembunyi di dalam kamar. Dasar anak kecil.

"Ini itu namanya mempermudah hidup, sayang. Jadi kalo semisal anak-anak minta dibeliin mainan itu kita gak usah keluarin kartu kredit kita, tinggal pake yang ini. Gampang kan?"

"Tapi kan gak harus mainan juga, Kun. Kamu bisa pake kartunya buat hal lain kaya daftarin anak-anak ke les, gitu? Atau gak kamu bisa pake kartunya buat hal yang lebih bermanfaat lagi."

Kun hanya diam, mengunyah sisa potongan biskuit yang belum sempat ia habiskan karena sibuk mendengarkan argumen Ten yang sangat jelas jika lelaki manis itu tidak setuju dengan keputusannya untuk membuat kartu kredit untuk membeli mainan anak-anak. Mainan anak juga termasuk kebutuhan, bukan? Padahal dengan begitu mereka tidak perlu repot-repot mengurangi jumlah saldo mereka hanya untuk membeli mainan yang harganya bisa di atas titik wajar itu.

Tapi jika dipikir-pikir lagi, apa gunanya juga membuat kartu kredit hanya untuk membeli mainan anak-anak? Itu hanya akan membuang waktu dan tempat di dalam dompetnya sendiri.

***

"Ayah?"

Kedua langkah kaki mungil itu melangkah mendekati sofa yang menjadi tempat duduk Kun sembari menatap layar dan keyboard laptop di atas kedua pahanya. Ayah dengan dua anak itu segera menolehkan kepalanya saat seorang anak kecil itu mulai naik ke atas sofa dan duduk di sampingnya dengan santai. Bocah laki-laki lima tahun itu terdiam dan menatapnya seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.

"Kenapa?" Kun bertanya dengan halus, kedua matanya menatap lurus pada sepasang mata bulat dan alis tebal milik Xiaojun.

"Injun mau sekolah SD kaya kakak Mark."

Pria tampan itu seketika mengangkat kedua alisnya saat si kecil Xiaojun berkata bahwa ia ingin masuk ke sekolah dasar seperti Mark, anak pertama Johnny dan Doyoung. "Sekolah SD?"

Anak kecil itu menganggukkan kepalanya dengan wajah polos, dirinya tidak tau bagaimana sulitnya sekolah meskipun hanya SD sekalipun. Apalagi jika mengingat usianya yang masih menginjak lima tahun, sekolah SD pun belum bisa menerimanya di sana.

"Kenapa tiba-tiba mau sekolah SD?" Kun menutup layar laptopnya dan beralih untuk menatap putra kecilnya.

"Soalnya Injun mau punya banyak temen kaya kakak Mark."

"Temen Xiaojun kan juga udah banyak, kaya Hendery kakak Mark.."

"Bukan itu." Xiaojun menggelengkan kepalanya cepat dan kembali menatap Kun yang masih duduk di hadapannya. "Tapi temen yang ada di sekolah."

"Coba sekarang Ayah tanya. Umur Xiaojun sekarang berapa?" Tanya Kun setelah menyimpan laptop di atas meja. Atensinya masih terus tertuju pada mimik wajah manis putranya.

Di samping Xiaojun tampak berpikir tentang umurnya saat ini. Kedua tangannya tampak menghitung jumlah umur yang dirinya punya, meskipun anak itu belum terlalu pandai dalam hal berhitung. "Lima!"

Kun tertawa saat anak kecil itu mulai menunjukkan jumlah angka di kedua jari tangannya, kata yang keluar dari mulutnya lima namun jumlah jari yang dirinya tunjukkan pada Kun berjumlah enam. Dengan sabar pria tampan yang merupakan ayahnya itu menurunkan satu jari dari tangan Xiaojun agar benar menunjukkan angka lima. "Lima itu begini."

Xiaojun hanya diam dan mengamati jari tangannya sendiri.

"Terus umur buat bisa masuk SD itu berarti berapa?"

"Enam.."

"Enam? Berarti Xiaojun gak bisa masuk SD dong?"

Xiaojun terdiam sejenak untuk mencerna kembali ucapan Kun. Kalau begitu ia tidak bisa masuk sekolah SD seperti Mark?

"Masuk playgroup aja ya?"

Anak kecil itu seketika merengut, kakinya yang mungil terlihat menendang paha Kun sembari memasang wajah sedih. "Heuunngg.. tapi Injun maunya sekolah SD."

"Tapi kan umurnya Xiaojun belum cukup, makanya sebelum masuk SD masuk playgroup dulu." Ujarnya sambil mengusap rambut hitam Xiaojun yang menutupi sebagian keningnya.

"Tapi di playgroup masih bisa mainan kan?"







To Be Continue...

Injun taunya masih main ya bukan belajar😚🤏🏻

When You Beside Me || Kunten WayV ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang