24.

319 39 1
                                    

Pukul tujuh pagi Kun dan Ten sudah berada di dalam ruang rawat rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan sebelum operasi Caesar Ten dan kedua bayi di dalam perutnya. Kun sengaja pergi lebih awal dari yang ditentukan oleh dokter karena takut jika tiba-tiba jadwal operasinya dimajukan, jadi karena tidak ingin mengambil resiko akhirnya Kun dan Ten berangkat lebih awal.

Namun dokter dan tim medis yang akan membantu saat operasi Caesar nanti mengatakan bahwa operasi Caesar tetap akan dilakukan pada pukul sembilan nanti, dan itu sedikit membuat Kun merasa lega karena rasa takutnya sedikit menghilang. Semua akan baik-baik, kan?

"Udah aku bilang operasinya masih jam sembilan kamu malah ngeyel." Protes Ten yang saat itu sedang duduk di pinggir tempat tidur VIP yang sengaja dipesan oleh Kun untuknya. Sebenarnya Ten tidak pernah meminta Kun untuk memberikan kamar VIP untuknya saat akan operasi Caesar nanti, karena menurutnya itu sangat menguras banyak biaya.

"Gak apa-apa lah, sayang. Itung-itung buat latihan nanti waktu di ruang operasi." Jawab Kun sembari menarik kursi dan duduk tepat di hadapan perutnya. "Peluk sini."

Perlahan Kun menarik pinggang kecil Ten untuk dibawa ke dalam pelukannya yang kemudian dibalas oleh lelaki manis itu. Telinga kanannya mendarat tepat di atas permukaan perut Ten hingga beberapa saat kemudian dirinya mulai mendengar suara-suara getaran-getaran kecil yang bergerak cepat di dalam sana.

Pria tampan itu perlahan mulai tersenyum lebar, ternyata bayi yang belum lahir juga bisa merasakan gugup seperti orang dewasa. "Semangat banget geraknya, anak Ayah udah gak sabar buat ketemu sama Papa ya?"

"Sama Ayahnya juga kali." Ten ikut menyahuti perkataan Kun yang sedang asik mengobrol dengan kedua anaknya. Kedua tangannya ia gunakan untuk mengusap belakang kepala Kun dan sesekali mengusap punggung pria tampan yang terlihat begitu tenang itu dengan halus.

Karena jujur saja saat ini perasaannya benar-benar gugup sekaligus khawatir. Apalagi ketika mengingat bahwa ini adalah persalinan pertamanya dengan Kun, tidak ada pengalaman apapun yang dirinya miliki tentang ini. Yang dirinya ketahui saat ini hanyalah masa dimana semua ibu akan mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan satu-dua nyawa di dalam tubuhnya.

Mungkin dulu Doyoung pernah memberikan sedikit pengalamannya selama ia mengandung sampai melahirkan Mark ke dunia, terlihat sangat sulit dan sama-sama mengancam nyawa. Namun saat itu Doyoung hanya melahirkan satu anak, sedangkan dirinya dua sekaligus. Dari selisih jumlah anak yang dilahirkan saja sudah berbeda, bagaimana jika frekuensi yang akan dihadapi lebih tinggi dari yang pernah dialami oleh Doyoung?

"Kun. Aku takut.."

***

Pukul sembilan lebih tiga puluh pagi, Ten sudah berada di ruang operasi untuk melangsungkan proses operasinya. Di sampingnya, ada Kun yang berpakaian medis yang selalu berada di samping lelaki manis itu selama operasi berlangsung.

Sedangkan Ten? Entahlah, wajahnya sedikit pucat semenjak operasi Caesar dimulai tadi. Tubuh bagian bawahnya sudah mati rasa semenjak dokter menyuntikkan bius anestesi setengah jam yang lalu, sedangkan bagian kepalanya dihalangi oleh sebuah kain yang menjadi sekat antara kepala dengan perutnya. Bahkan pada saat dokter mulai menyayat permukaan perutnya dirinya sudah tidak merasakan apapun, kecuali rasa takut.

"Jangan tidur ya, sayang." Kedua mata yang sebelumnya menatap kosong pada operating light di atasnya itu seketika beralih kepada Kun yang hingga saat ini juga masih selalu berada di sampingnya.

Kedua tangannya menggenggam erat telapak tangan Ten yang terasa lebih dingin dari biasanya itu. Dirinya tau jika lelaki manis itu saat ini sedang ketakutan dengan operasi yang ia lakukan sekarang. Bukan apa-apa, hanya saja ini kali pertamanya melakukan operasi dalam keadaan sadar seperti ini. Karena bukankah operasi itu dilakukan ketika pasien mulai tertidur karena efek obat bius?

"Kun.." kedua bola mata itu terlihat berkaca-kaca saat dirinya mulai menyebutkan nama Kun di sampingnya.

"Iya, sayang." Kun mengusap air mata yang keluar dari kedua kelopak mata Ten yang sepertinya sudah tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya lebih lama lagi.

Suara Elektrokardiograf saling bersahutan dengan suara-suara lirih dari tim medis yang saat itu sedang melakukan tindakan mengeluarkan bayi dari dalam perut Ten di ruang operasi. Ada banyak jenis pisau bedah yang dokter gunakan selama operasi, darah segar muncul dimana-mana hingga nyaris melumuri hampir seluruh tempat operasi. Mungkin ini alasannya mengapa dokter memberikan sebuah kain untuk menghalangi pandangan pasiennya dari kegiatan operasi, karena dalam sekali lihat saja bisa menimbulkan rasa trauma yang entah kapan bisa sembuh.

"Kamu masih di sini kan?"

Kun mengangguk, kedua tangannya masih menggenggam erat telapak tangan Ten dihadapannya. "Masih, sayang. Aku masih di sini."

"Kamu gak kemana-mana kan?" Ujarnya dengan pelan. Kedua matanya sudah tak tahan menahan rasa kantuknya setelah mendapat suntikan bius yang mengharuskannya untuk tetap terjaga walaupun kedua kelopak matanya sudah meronta-ronta meminta untuk dipejamkan.

"Gak akan kemana-mana, sayang. Aku bakal tetep di sini sama kamu." Kun terus meyakinkan lelaki manis bahwa dirinya tidak akan pergi kemanapun dan selalu menemaninya sembari memberikan beberapa kecupan di atas telapak tangan yang dingin itu.

"Kun." Panggilnya sekali lagi.

"Ya?"

"Kamu nangis?"

Saat itu juga Kun baru menyadari bahwa sudah banyak air mata yang dirinya keluarkan selama empat puluh menit lamanya dirinya berada di dalam ruang operasi bersama Ten. Cepat-cepat pria tampan itu mengusap air mata di wajahnya tanpa memperdulikan Ten yang saat itu sedang menatapnya dalam diam.

Kedua sudut bibirnya kemudian tertarik dan menciptakan sebuah senyuman manis yang selalu menjadi alasannya untuk pulang selama ini. Senyuman manis yang mungkin akan jarang orang lain temui pada orang yang sama, dan hanya Kun yang memilikinya di dunia ini.

"Aku baru tau kalo kamu nangis kaya gini. Jelek." Ejeknya meskipun dengan wajah yang pucat dan kelopak mata yang sudah begitu lengket satu sama lain.

"Maaf.." ujarnya lirih. Kelopak matanya yang halus seketika berubah sembab, memerah.

Ten hanya diam dan menatap wajah tampan itu tanpa mengucapkan sepatah katapun dari mulutnya. Seluruh tenaganya seolah-olah habis dalam satu waktu yang bersamaan. Seluruh tubuhnya serasa mati, tidak ada satupun hal yang bisa dirinya rasakan saat ini. Mati, benar-benar mati tak berasa.

Perasaannya sudah bercampur aduk.  Rasanya seperti takut, khawatir sekaligus bingung mengapa hal yang dulu selalu menjadi ketakutannya bisa terjadi sekarang? Apa tidak ada cara lain agar mereka bisa dipertemukan dengan dua anak mereka tanpa harus melewati hal seperti ini? 

"Ten."

"Ya?"

Kun menarik napasnya panjang kemudian menghembuskannya perlahan, entah mengapa dadanya terasa begitu berat saat ini. Apa mungkin ini efek yang timbul karena dirinya yang terlalu gugup menunggu kelahiran kedua putranya saat ini? Itu mungkin saja terjadi kepada setiap orang. "Aku boleh minta sesuatu sama kamu?"

"Apa?"

"Jangan tinggalin aku, ya?"











To Be Continue...
Hari ini aku gabut banget. Enaknya ngapain ya kalo gabut?

When You Beside Me || Kunten WayV ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang