Bagian 26

16 4 0
                                    

26| Bunga Yang Telah Layu

🥀🥀🥀

Bu Ressa menangis histeris disamping tubuh ringkih putrinya, Eilana. Sementara Pak Tio hanya bisa berdiam disamping dengan ekspresi tanpa daya. Eliana membenamkan wajahnya disisi brankar, kedua bahunya gemetar hebat memperlihatkan betapa banyaknya ia menangis. Namun sosok yang terbaring diatas brankar tersenyum dengan tenang.

"Lana belum mati, kenapa kalian semua menangis?" ucapnya dengan suara lemah.

Namun tak ada satupun dari mereka yang ingin menjawab pertanyaannnya. Eilana memang telah memilih untuk menyerah, ini bahkan belum genap satu bulan sejak dia dirawat tapi tubuhnya kurus kering, bahkan rambut dikepalanya telah ia botakkan karena mengalami rontok parah akibat kemoterapi.

Dokter tak bisa berbuat banyak karena leukimianya telah menyebar ke semua organ hingga dokter menyerah. Sekarang Eilana hanya bisa menunggu kapan dia mati.

"Lana, Mama akan membawamu ke rumah sakit yang lebih canggih, oke? Kamu pasti akan sembuh." Kata Bu Ressa sesugukan.

Eilana tersenyum, "Mama, Lana nggak kuat, tolong jangan paksa Lana untuk bertahan."

"Tolong, nak, setidaknya biarkan kami berusaha."

Eliana bangkit dari kursi, dia dengan marah keluar dari ruangan. Pak Tio memperhatikan putrinya keluar dan mengikuti Eliana.

Perempuan itu berdiri dibalkon yang ada diujung koridor. Dia memegang pembatas balkon sambil memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang dibawah sana, sesekali mengusap air matanya yang tumpah. Pak Tio berdiri disampingnya, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuh mereka.

"Kenapa Lana harus sekeras kepala itu sih, Pa. Bukannya dia dulu anak yang penurut. Dia selalu dengerin apapun yang Papa dan Mama nasehati, nggak pernah jadi pembangkang. Tapi kenapa sekarang dia dia harus seegois itu?"

Pak Tio menolehkan kepalanya saat putrinya mulai menggerutu. Merasa sependapat dengan kata-kata Eliana.

Eliana mengusap air matanya yang kembali tumpah, lalu melanjutkan, "Papa tahu, dulu Liana merasa iri dengan kehidupan Eilana. Dia selalu jadi anak yang berprestasi meski sifatnya pendiam. Dia punya sifat penyayang yang tak bisa Eliana miliki. Setiap kali Papa dan Mama memberikan keputusan untuk Eilana, dia selalu melakukannya tanpa ada pertanyaan kenapa."

Pak Tio mengangkat tangan, mengelus puncak kepalanya untuk menenangkan Eliana yang terus sesugukan sambil merutuki Eilana.

"Apa dia merasa hebat karena udah dewasa dan mengambil keputusan seenaknya? Liana benci menganggapnya saudari."

Tangisan Eliana meledak, dia berhambur ke pelukan Pak Tio dengan sesugukan.

"Pokoknya Papa harus bisa buat Lana pindah ke rumah sakit lain. Liana nggak mau Lana pergi, Pa, Liana nggak mau berpisah dari Lana."

Tenggorokan Pak Tio tercekat. Dia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun, hanya bisa menepuk punggung Eliana untuk menenangkan putrinya yang menangis histeris dipelukannya.

Sudah berbagai cara mereka lakukan agar Eilana dapat mengerti keadaannya, bahkan dokter saja meminta mereka untuk pindah ke rumah sakit yang lebih bagus agar Eilana bisa dirawat. Tapi Eilana menolak dengan keras kepala karena merasa tidak mampu lagi untuk bertahan.

Ditengah larut malam, dengan cahaya yang minim Eliana duduk disamping brankar sambil bermain ponsel. Kedua orang tuanya ada didalam ruangan lain yang ada di kamar rawat Eilana, tidur didalam sana atas suruhan Eliana.

Saat tengah fokus menghapus berita buruk tentangnya di kolom komentar sosial medianya, suara serak Eilana memanggil. Eilana buru-buru menurunkan ponselnya dan bertanya, "Ada apa, Lana?"

"Aku haus."

Eliana menatap botol kosong diatas nakas, dia mengambil botol itu dan bangkit. "Gue keluar dulu, mau ambil air." Katanya sambil berlalu pergi.

Setelah kembali dari mengambil air yang tak jauh dari kamar mereka, beberapa meter sebelum sampai ke ruangan Eliana melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi mengintip dijendela pintu.

DEG!

Seluruh tubuh Eliana menegang, tanpa sadar botol ditangannya jatuh dan bergelinding dibawah kaki laki-laki itu membuat orang itu dengan cepat menurunkan pandangannya kemudian beralih ke Eliana yang berdiri mematung ditempat.

Hidung Eliana kembang kempis saat ia menatap Kim. Ia tidak percaya Kim berani datang kemari dengan menggunakan wajah tanpa rasa malunya itu.

Eliana menghampiri Kim sambil memelototinya. Sebelum Kim bereaksi, Eliana sudah mendorongnya sambil berteriak, "Ngapain lo disini?!"

Kim menelan ludahnya dengan susah payah. Dia terlihat lelah dengan rambut acak-acakan dan setelan kerjanya yang tampak berantakan. Seolah dia datang kesini dengan terburu-buru.

"Biarkan saya bertemu Eilana."

Eilana berdiri dengan kedua tangan yang terkepal di sampingnya. Dengan nada mencibir dia berkata, "Setelah apa yang telah lo lakuin ke saudari gue, lo masih punya muka buat ketemu sama dia?! Mimpi lo, brengsek!"

Alih-alih marah, Kim malah memperlihatkan wajah yang kuyu dan memelas. "Saya mau tahu, apa yang terjadi pada Eilana. Penyakit apa yang membuat dia harus dirawat selama itu di rumah sakit."

"Bukan urusan lo, bajingan. Sekarang lo pergi dari sini sekarang, gue dan keluarga gue nggak mau liat muka lo disini. Pergi!" teriak Eliana menunjuk ke ujung lorong dengan ekspresi menggebu-gebu, marah.

Untungnya mereka ada dilantai VVIP sehingga tidak ada satupun orang yang lewat dikoridor yang memungkinkan perdebatan mereka tidak akan menjadi pusat perhatian orang lain.

"Tolong, biarkan saya ketemu Eilana sebentar saja. Saya janji nggak akan mengganggu, saya cuma ingin melihat."

"Lo nggak ngerti bahasa manusia, ya? Gue bilang pergi! Pergi!"

"Hoooeek.... Hoooeeek."

Tubuh Eliana tersentak, begitupula Kim yang terdiam ketika suara Eilana menghentikan perdebatan keduanya. Eliana mendorong Kim pergi sebelum buru-buru masuk dan melihat Eilana muntah-muntah.

Kedua orang tuanya keluar dari ruangan sambil menyalakan lampu. Eilana sedang terbaring disisi brangkar, terus menerus memuntahkan air dan kemudian di ikuti oleh darah. Eliana menekan tombol darurat, memanggil dokter dengan panik.

Bu Ressa mengusap-usap punggung putrinya dan kembali menangis. Hatinya terasa sakit saat melihat bagaimana tersiksanya Eilana.

Tidak berapa lama kemudian seorang dokter dan dua perawat datang dengan terburu-buru. Dibelakangnya, Kim muncul dengan panik. Ketika melihat bagian belakang Eilana, langkah Kim tersendat. Tubuh itu kurus, kepalanya tanpa sehelai rambut. Dan ketika Eilana memalingkan wajahnya, Kim dengan jelas melihat sosok mayat hidup berlumuran darah. Sangat mengerikan, namun Kim tidak merasa takut. Sebaliknya, dia merasakan rasa sakit dihatinya yang berdenyut-denyut.

"Untuk seluruh keluarga, di mohon untuk keluar." Ujar seorang suster dalam bahasa inggris.

Pak Tio menarik istrinya pergi, namun Bu Ressa menolak pergi dan menangis karena khawatir.

Mata Eliana basah oleh air mata, begitu dia melewati Kim, dia berbisik dengan suara serak. "Lo liat sendiri, 'kan gimana kondisinya?" Setelah itu dia membantu Pak Tio menyeret Bu Ressa keluar dari ruangan.

Kim menelan ludah dengan susah payah, matanya tidak berkedip saat dokter mulai memeriksa Eilana. Suster terpaksa mendorong tubuh Kim keluar karena pemuda itu tidak ingin pindah. Pintu ditutup dan tirai dijendela bahkan di tutup rapat. Tidak tahu apa yang terjadi didalam, tetapi beberapa suster lainnya datang membawakan troli dengan berbagai macam peralatan medis.

Kim linglung.

***

BERSAMBUNG...

Nahasnya Cinta [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang