2

23.9K 1.2K 28
                                    

Keheningan melanda perjalanan mereka malam itu. Yang terdengar hanyalah suara kendaraan lain yang lalu lalang di sebelah mobil mereka.

Tak ada percakapan, gadis yang tak menyetir tenggelam dalam permainan ponselnya.

"Ge, kalau cape tidur aja. Nanti aku bangunin kalau udah sampe" suara lembut Shani terdengar. Mengambil atensi Gracia dari ponselnya.

"Nggak ah, Ci. Mau nemenin aja"tolak yang muda.

"Nemenin kok diem mulu? Nggak suka yaa aku ajak nginep?"

"Bukan kayak gitu.. Aku cuma.. " bibir bawah di gigit. Atensi di lempar ke arah jendela. Rasanya kelu untuk membuka suara. Berdua dengan Shani seperti ini membuat kesedihan semakin menyelimutinya. Dia tak mau menangis. Terlalu dini.

Melihat itu, Shanipun cuma bisa menghela nafasnya. Dia tak memaksa Gracia melanjutkan ucapannya yang menggantung. Dia membiarkan kediamannya. Tanpa bertanya, dia sudah tau apa yang dipikirkan gadis itu.

Berselang beberapa saat, mereka akhirnya tiba di area apartement. Memarkirkan mobil, Shani keluar lebih dulu. Dan dengan gentle nya membukakan gadis bergingsul itu pintu.

"Ci, aku bisa sendiri" ucap Gracia sedikit tak enak. Meskipun itu kebiasaan Shani, dia tetap merasa terlalu dimanjakan.

Tapi yang di tegur cuma tersenyum lalu menepuk puncak kepala gadis yang lebih pendek darinya itu. "Kamu ke atas lebih dulu. Bawa tas kecil kamu itu aja. Barang barang yang lain nanti aku yang bawa"

"Berat Ci, aku bantu yaa.."

"Nggak kok. Jadi naik lebih dulu"

"Humm.. Ya udah" Gracia menurut. Dia tak mau membantah gadis itu.

Di dalam unit, Gracia melangkah pelan masuk  ke dalam kamar. Meletakkan tasnya di atas nakas dan mendudukan diri diatas ranjang. Berselang beberapa saat, Shani pun terlihat masuk juga.

"Loh? Nggak ganti baju, Ge? Pilih aja kayak biasa dilemari" ucapnya saat melihat gadis itu masih dengan pakaiannya yang tadi.

"Aku boleh mand-"

"Nggak!" potong Shani cepat sambil menarik koper kecilnya dan di letakkan di samping lemarinya. "Udah jam berapa ini, hm? Mau sakit?"

"Tapi badan aku lengket, Ci" keluh Gracia

"Tetep nggak boleh, Ge. Aku nggak mau kamu sakit" Shani mendekati dan berdiri di hadapannya. "Ganti baju aja yaa.."

"Ci~" rengek Gracia. Bahkan memeluk pinggang Shani, menyandarkan dahinya di perut gadis itu dan lanjut merengek. "Mau mandi, Ci~"

"Nggak boleh, Ge" dan yang tua tetap melarang. Menghela nafas kecil karena gadis itu. "Kalau masih mau mandi, aku yang mandiin sekalian. Mau?"

"Ih kok gitu.. " kepala mendongak. Dia cemberut saat mendengar ancaman Shani.

"Karena kamu itu mandinya lama. Kalau aku yang mandiinkan kamu nggak bakal lam-"

"Huft. Iya iya. Aku nggak mandi" potong Gracia lalu menjauhkan diri dan berdiri. "Kalau aku kebauan, jangan salahin yaa.." baliknya mengancam sebelum masuk kamar mandi.

Yang ditinggalkan mengulum senyum. Memangnya kapan gadis itu tidak wangi? Mau mandi ataupun tidak , aromanya tetap sama. Tetap enak di penciuman.
.

Pukul 11 malam itu, Shani menatap Gracia di sebelahnya yang belum memejamkan mata. Sedari tadi mereka tak memiliki perbincangan berat. Shani masih enggan menyinggung soal kelulusannya.

"Ci.. " hingga suara Gracia yang nyaris berbisik membuyarkan lamunannya.

"Hm?" posisi yang tadi terlentang berubah menyamping. Gadis anggun itu memilih menatap Gracia yang tengah menatap langit langit kamarnya.

"Aku belum siap jauh dari kamu" nada sedih mulai terdengar didalamnya. Gracia memilih membawa hal yang mengganggunya itu lagi saat ini. Mumpung dia tengah berdua dengan yang bersangkutan.

"Aku nggak jauh, aku masih ada kalau kamu butuh" balas Shani

"Tetap beda. Jadwal kamu sama aku nggak bakal sama lagi" ucap Gracia yang kini balas menatap Shani. Diikuti air mata yang mulai keluar. "Kita bakal susah buat ketemu" ucapnya lagi sambil berusaha menghapus jejak air matanya.

"Nggak Ge, aku bakal sering ajak kamu main kok" Shani mendekati dan mengambil alih jemari gadis itu. Membantunya menghapus air matanya. "Aku janji"

"Iya. Cici janji sekarang. Tapi kedepannya nggak tau kayak gimana kan.. Mungkin aja cici lebih mentingin hal lain daripada aku" bantah Gracia. "Aku mau egois kalo bersangkutan sama cici" semakin deras tangisannya.

"Iya. Nggak apa apa bersikap egois" dengan lembut Shani mengutarakan itu. "Aku juga nggak bakal risih sama apapun yang kamu buat" dia berlahan menarik Gracia masuk dalam dekapannya. Membiarkan dadanya mulai basah. "Tapi yang harus kamu inget. Aku bakal tetap ada buat kamu. Aku udah sering ngomong itu kan.."

"Tapi kan.."

"Shh.. Udah yaa.. Jangan negatif terus pikirannya. Kamu nggak capek terus terusan nangis kayak gini, hm?" belakang kepala dan punggung terus di elus Shani.

"Aku nangis karena cici" pelukan semakin dia eratkan. Biarkan saja dada gadis itu basah akan air matanya. Gracia cuma ingin menangis dan menangis. Toh alasan dia menangis karena dia juga.

"Iya iya. Aku minta maaf sudah buat Puteri tercinta pak Harlan ini nangis"

Buk
Pukulan reflek Gracia berikan di punggung Shani karena itu. Tapi yang dipukul cuma mengaduh kecil lalu berakhir tertawa.

"Nggak lucu.. Hikss"

"Eh? Masih lanjut nih nangisnya? Udah dong. Mau ice cream nggak? Atau cokelat? Aku ambilin di kulkas"

"Aku bukan anak kecil"

"Iya. Emang bukan. Tapi bayi kan.. "

"A~ cici!!!"
.

Pukul 1 subuh kala itu, Gracia sudah tertidur nyenyak dalam dekapan Shani dari sejam yang lalu. Nafasnya teratur menubruk indera pendengaran si gadis Indira. Menimbulkan senyum yang memperlihatkan lesung pipinya.

Mengendurkan dekapan, Shani menunduk kecil demi menatap wajah tenang gadis manis yang sudah bertahun tahun berteman dengannya itu.

Wajah yang tak berubah, hanya guratan kecantikan yang terus bertambah padanya. Sisi dewasanya yang kadang kala timbul, tapi tertutupi oleh tingkah laku kekanakannya yang tak bisa di hentikan. Dan Shani tak pernah lelah karena itu. Dia justru menikmatinya.

Gadis itu sangat ceria. Selalu tersenyum dan menebar kebahagiaan bagi orang orang disekelilingnya.

Tapi belakangan ini, Shani berhasil membuat benteng gadis itu runtuh. Rasa bersalah jelas terasa besar.

"Maaf ya Ge, udah buat keputusan yang buat kamu terus keluarin air mata" penyesalan terdengar dari suaranya.

Dia ingat pertama kali mengutarakannya pada Gracia. Wajah kagetnya dan tak percaya itu terngiang di benak. Penentangan terjadi, tapi berakhir mengalah. Gracia mencoba berpikir dewasa dan tak ingin menahan Shani dan mimpinya.

Shani pun lega akan itu. Berpikir jika semua akan baik-baik saja saat sahabatnya juga ikut mendukung. Tapi tidak, dia telat mengetahui jika dibalik semua itu ada tangisan yang terus meluncur di belakangnya.

"Ngh Ci~" suara serak itu tiba tiba membuyarkan lamunannya. Di tambah elusan lembut di pipinya membuat dia sedikit kaget. "Kenapa belum tidur?"

"Eh..iya Ge, ini Aku udah mau tidur kok. Kamu lanjutin tidurnya yaa. Maaf udah ngebangunin" Shani kembali mendekap erat. Mengelus kepala Gracia dan punggungnya untuk memberi kenyamanan.

"Jangan bergadang Ci~ "

"Iya iya. Jadi tidur lagi yaa.. "

"Hum.. "

_Tbc_

After GraduationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang