CHAPTER 6

302 22 1
                                    

Dipta terduduk di samping gundukan tanah, di mana itu adalah makam dari Zayyan. Tangannya terulur menggapai papan nisan bertuliskan nama Sang sahabat. Raut wajah kusut tak bersahabat kini tercipta jelas di wajah pemuda yang akan memasuki usia tujuh belas tahun itu.

"Lo terlalu cepet pergi. Bahkan misi belum selesai, gimana caranya selesai kalau orang berguna kayak lo udah metong duluan," helaan nafas gusar terdengar setelah mengucapkan kata itu.

Kemarin dia baru saja kembali dari Amerika, hingga hari ini juga dia memutuskan untuk mengunjungi makam Zayyan yang tampak masih baru itu. Di letakkan nya bunga Daisy di gundukan tanah itu.

Dirinya menghela nafas berat memandang foto Zayyan yang tengah tersenyum di galeri ponsel nya. "Gue pamit, kapan kapan gue bakalan kesini lagi bareng mereka. Maaf karena gak bisa buat lo idup lagi, see you next time." Pemuda itu berlalu pergi dari sana dengan langkah malas.

Hari ini dia membolos sekolah dan pergi ke makam Zayyan. Toh, tak ada yang memperhatikan dirinya sekolah atau tidak. Teman sepantinya yang lain juga sudah mulai sibuk dengan urusan sekolah mereka. Sedangkan rombongan Raksa terus menelponnya dan dirinya mengatakan jika dia masih berada di Amerika, itulah sebabnya mereka tak lagi menghubungi nya ataupun menemui nya.

Jalanan padat dan ramai tak membuat Dipta terusik sedikitpun. Sepatu Sneakers putih milik nya terus melangkah menyusuri trotoar. Hingga langkah itu terhenti saat netra terbalut soflen itu menatap sebuah gedung hotel yang berdiri di sebrang jalan. Dipta tertawa sumbang merasa geli sendiri dengan bangunan yang berdiri megah itu. Yang jelas-jelas gedung itu berdiri di bekas tanah panti Cahaya nya dulu.

"Tanah yang diambil paksa aja bisa jadi bangunan semegah itu. Kocak." Dipta membungkuk guna mengambil sebuah batu di dekatnya. Lalu mulai membidik ke arah salah satu kaca bangunan hotel itu. "Harus kena!"

Prang!!

Dipta segera berlari saat batu berukuran sedang itu berhasil memecahkan salah satu kaca hotel itu. Hingga suara teriakan satpam yang berjaga di pos nya terdengar membuat Dipta mempercepat laju larinya dengan tawa lebar yang menyertai pemuda itu.

Lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Beberapa pejalan kaki mulai menyebrang tak luput juga beberapa pengendara motor dan mobil turut berhenti karena lampu merah. Dipta terus melangkah dengan senyum yang mengembang di wajahnya, mungkin mood pemuda itu cukup baik pagi ini

Hingga tibalah ia di sebrang jalan namun langkah nya harus ia hentikan saat melihat seorang kakek kakek buta berjalan linglung di zebracos. Dipta mengigit bibir bawah nya saat sebuah mobil terus melaju ingin menembus jalanan yang masih di lalui oleh kakek itu.

"Bismillah, semoga gue kagak mati!" katanya, dengan cepat berlari ke arah kakek itu. Dengan jantung perpacuh cepat Dipta meraih dan memeluk lengan kakek itu, membuat kakek tua itu sempat terkejut. Namun suara dari Dipta yang berbicara akan membantunya menyebrang membuat kakek tua itu mengangguk dengan tersenyum kecil.

Dipta mengangkat tangan kirinya mengkode untuk beberapa mobil untuk tetap berhenti selagi menunggu mereka sampai ke sebrang jalan. Beberapa mobil berhenti melihat kode dari Dipta namun pemuda itu tetap saja merasa cemas saat ekor matanya melihat siluet sebuah mobil putih yang masih terus melaju mendekat ke arah mereka.

"Tuh mobil kagak liat apa, gue sama ni kakek masih di tengah jalan."

Dipta terus membatin hingga matanya memejam saat merasakan mobil itu semakin mendekat. Hampir menabrak mereka. Namun suara rem mendadak terdengar jelas oleh Dipta. Pemuda itu bernafas manual, lantaran kaget dan Specheals. Karena jarak antara mobil itu dan tubuh nya sangat lah dekat. Hampir berjarak hanya beberapa centimeter lagi.

PRADIPTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang