CHAPTER 13

245 15 0
                                    

Harus rame. Guys
Kagak rame gue ngaret update🔥

****

Memanfaatkan waktu dimana Januar dan Raksa sedang bersekolah. Dipta mendatangi panti cahaya yang kini nampak masih sama seperti saat ia meninggalkan tempat itu. Kaki yang terbalut sandal jepit kebesaran milik Regan itu melangkah semakin memasuki pekarangan rumah berlantai dua itu.

Bangunan milik Setyo yang hampir saja tersita bank karena tunggakan hutang Setyo. Namun bangunan itu berhasil di selamatkan Rikson, yang kini mengambil alih sepenuhnya atas panti itu.

Sepi dan sunyi, hanya itu yang terlihat di bangunan berlantai dua itu. Namun sayu-sayu ia mendengar beberapa suara anak kecil yang tengah berkumpul di suatu tempat. Berbicara dengan celotehan kecil mereka, kontan ia menelisik dan meneliti sekitar mencari asal suara. Namun tak berlangsung lama sebuah sebuah bola karet menggelinding ke arah kakinya hingga menyentuh punggung kakinya.

Menundukkan tubuh nya lalu meraih bola karet itu. Melirik ke bawah di bawah seorang bocah perempuan berusia lima tahun tengah berdiri di sebelah nya sembari mendongakkan Kepala menatap nya.

"Bola mu, Asa?" ujar Dipta memberikan bola itu pada bocah itu. Namun bukan nya diambil, bocah berkepang dua itu menangis melihat nya.

"Kakak Ipta dali mana aja. Satu minggu kak Ipta pelgi dali sini. Ibuk santi bilang kak Ipta diadopsi sama orang kaya." Dipta menyengir lebar di tempat nya. Segera ia angkat ke gendongan nya bocah lima tahun itu. Ia kecupi pipi bulat di penuhi air mata itu.

Asara Jiah. Nama bocah lima tahun itu, tangan kecilnya menggenggam kuat leher jaket kulit yang Dipta kenakan. Ia tatapi lekat wajah Dipta dengan Kepala memiring.

"Ohoo, jadi adikku ini merindukan ku. Benar?" usai mengucapkan itu, pipi nya mendapat dua kecupan lembut dari Asa.

"Jangan kesini lagi," Sahutan dari bawah membuat Dipta baru menyadari jika tiga orang anak berusia tujuh tahun kini juga ikut hadir di dekatnya. Dipta menatap lekat wajah ketiga bocah itu yang nampak memar di bagian pipi dan bibir. Perempatan imajiner nya semakin muncul, bertanya-tanya. Apa yang terjadi sebenarnya.

"Ada apa? Kenapa bisa memar." pertanyaan beruntun terus ia lontarkan. Namun keempatnya memilih diam. Justru menarik kuat tangan Dipta, mengajaknya ke suatu tempat saat bocah bernama Ara melihat atensi sebuah mobil hitam berhenti di pinggir jalan dekat panti cahaya.

Dipta bisa menangkap raut wajah cemas keempat bocah itu, alhasil segera ia menuntut mereka memasuki Panti. Namun sebelum benar-benar melewati masuk pintu panti, justru Ara menggelengkan Kepala nya brutal. Seolah ada ketakutan membelenggu didiri bocah itu.

"Tenang Okay, katakan pada kakak ada apa. Tak akan ada yang menyakiti-,"

"Ada!" Ara memotong cepat. Tangan gemeteran nya mengenggam kuat tangan Dipta. "Mereka semua jahat! Mereka mau nyakitin kita. Terutama kakak, kakak gak boleh ada di sini." suara itu lembut namun meninggi.

"Kakak pergi dari sini. Mereka bukan orang baik yang selalu kita liat," Rean. Bocah lelaki di sebelah Ara ikut menggenggam tangan sebelah kiri Dipta.

Mata bulat mereka menyorot kesedihan, juga rasa sayang teramat pada sosok Dipta. Yang menjadi pelindung dan kakak terbaik mereka semua.

"Disini kakak cuma sendirian. Gak ada bang Rendra, gak ada yang lain. Disini cuma ada kami. Kami gak bisa ngelindungin kakak." Rean kembali berucap, lalu keempatnya mendekap erat badan nya.

"Waktu ibu santi bilang sama kami kalau kakak diadopsi sama orang kaya. Disitu kami seneng, walaupun kami kesepian waktu kakak gak ada. Tapi gak lama dari hari ibu ngomong gitu. Sikap ibu berubah, gak kayak dulu yang selalu sayang sama kami. Kak Rendra dan kakak yang lain juga ngilang tiba-tiba, gak tau kemana. Gak ada kabar sama sekali. Tiap hari ibu selalu mukul kami, ibu selalu pergi keluar dari Tuan Rikson. Dan selalu balik sama berberapa orang pakaian hitam. Mereka selalu jaga di dekat panti tapi untung sekarang mereka lagi gak ada."

PRADIPTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang