55. Fakta lingkungan.

745 37 2
                                    

Renja mematung melihat keadaan rumah yang seperti... habis perang? Berserakan dengan sampah, barang-barang tidak berada di tempatnya, debu, lebih parahnya pintu kamar mandi lepas.

Ia menoleh kaku ke arah Darel, tidak bisa berkata-kata selain ekspresi syok teramat kental.

Laki-laki itu menggaruk tengkuknya, ia mengerti maksud tatapan wanita yang tidak pernah membiarkan rumahnya berdebu.

“Maaf, aku lupa rumah belum dibersihkan.”

Renja masih diam, tenggorokannya tercekat saking bingungnya ia mau mulai protes dari mana. Mengatur napas, kesulitan menelan ludah beberapa kali, hingga akhirnya ia hanya bisa mendesah berat melemaskan badan setelah melihat kembali kekacauan tersebut.

“A-aku yang akan bersihkan, jangan khawatir.” Dan entah sejak kepan Darel berubah menjadi suami takut istri. Kebetulan ada sapu di sampingnya, dia langsung menggenggam sapu itu secepat kilat.

Renja mengangguk-angguk, baguslah Darel mau bertanggung jawab atas kelakuannya. Namun bukan berarti Renja diam saja, ia pergi mengambil keranjang tempat baju kotor bertumpuk, lantas menyiapkan alat cuci sebelum Darel menghadang Renja yang akan keluar.

“Mau ke mana?” Darel bersikap siaga, ekspresi menekan kembali muncul di wajahnya.

“Me-mencuci.” Renja jadi takut, ia pikir setelah Darel meminta maaf, pria itu tidak lagi mengekangnya.

“Tidak perlu, aku akan mengantar itu ke loundry. Istirahatlah.”

Tangan Renja gemetar melepaskan keranjang cucian, ia menunduk dalam memikirkan kehidupan terisolasi. “Aku tidak akan kabur, biarkan aku hidup normal lagi,” tuturnya sedih.

Darel terkesiap sesaat, memang ia takut Renja pergi lagi, sehingga secara spontan dia bersikap over posesif. Bagaimana Renja akan memaafkannya jika seperti ini? Langsung ia menatap bersalah, berusaha meyakinkan diri sendiri, pun Renja bilang dia tidak akan kabur.

“Janji?”

Renja mendongak. “Janji,” balasnya tampak tidak memiliki kebohongan dari matanya. “Aku akan bilang ke mana pun aku pergi. Sekarang mau mencuci di sungai, boleh?” Ia paham apa yang diinginkan suaminya saat ini.

“Baiklah.” Darel menyingkir dari pintu, membiarkan Renja lewat, terus mengamati Renja hingga wanita itu sampai di sungai, barulah Darel bergerak.

***

“Dorie,” sapa Renja pada wanita tengah menyikat pakaian.

Dorie menoleh, tiba-tiba matanya berbinar-binar memancarkan kesenangan. Ia tersenyum lebar, rasanya sudah lama tidak melihat Renja sehingga ada setitik kerinduan dalam benaknya. Tentu, Renja tidak terlihat hampir sebulan lamanya.

“Renja! Kau dari mana saja?”

Renja meletakkan keranjang di batu samping Dorie. “Rasanya sudah lama tidak bertemu, ya.” Ia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Dorie.

“Memangnya kau ke mana?” Tetapi Dorie tetap pada pertanyaannya.

“Tidak ke mana-mana, hanya di rumah orang tuaku.” Berbohong sekali, akan menciptakan kebohongan lainnya, Renja tidak menyukai hal tersebut.

“Oh, begitu.” Dia mengangguk percaya, tidak ada yang aneh dari seorang anak yang mengunjungi rumah orang tuanya. Lalu kenapa sepupu Renja mencari Renja di sini pekan lalu? Sudahlah, Dorie tidak mau ambil pusing. Ia melanjutkan menyikat pakaian.

“Eh, lima hari lagi kapal pesiar terbesar di Asia berlabuh di Singapura. Ayo kita naik!” seru Dorie semangat.

Satu pakaian Renja hampir terlepas dari tangan, ucapan Dorie di luar akal Renja. Ia menatap Dorie secara heran, berkedip-kedip bingung mendapati wanita itu masih semeringah. Apa impian Dorie naik kapal pesiar?

Renja jadi kasihan dengan orang yang banyak bermimpi namun tidak dapat terpenuhi. Untunglah Renja tidak pernah ingin membayangkan macam-macam karena akan membuat sakit hati.

“Aku tidak mau membuat angan-angan tinggi, Dorie. Jalani hidup apa adanya dan syurkuri, dengan begitu tamparan fakta tidak akan membuatmu jatuh.”

Renja teringat masa lalu, saat ia melihat anak kecil sebayanya bersenang-senang dengan sepeda baru. Ia membayangkan akan mendapatkan juga, bahagia, tapi ternyata dia tidak mendapatkannya. Tidak hanya sekali, berulang-ulang kali, bayangan Renja hanya akan tenggelam dalam kekecewaan. Pada akhirnya, rasa kecewa itu menekan Renja untuk berhenti berangan-angan.

“Angan-angan tinggi? Apa maksudmu?” tanya Dorie.

Dorie tidak mengerti, Renja juga tidak mengerti. Percakapan mereka berada di topik yang sama, dengan pemahaman yang berbeda.

“Tidak mungkin Darel memiliki cukup uang untuk bersenang-senang seperti itu, pun dia sudah lama berhenti kerja.”

Dorie terdiam sesaat, hening, kecuali suara aliran sungai jernih. Kemudian...

“Ahahaha!” Dorie tertawa kencang. “Lucu sekali candaanmu, Renja.”

“Aku sedang tidak bercanda!”

“Aku yakin semua orang di sini kagum dengan kesederhanaanmu itu. Luar biasa, sangat mendalami peran.”

Kenapa Dorie tertawa? Apa yang lucu? Renja menatapnya lama, meski begitu tetap saja dia tidak bisa bergabung tertawa bersama Dorie. Hentikan! Renja ingin menjerit, menanyakan di mana letak lucunya. Tapi dia diam seperti orang bodoh yang tidak mengerti bahasa manusia.

“Aduh, maaf. Ini lucu sekali membayangkan suamimu tidak memiliki cukup uang untuk berlibur.” Dorie menyeka sedikit air mata akibat tertawa. “Lima hari lagi, ingat ya, Renja. Bilang sama suamimu nanti.” Dia benar-benar menganggap Renja sedang bercanda.

‘Hah?’ Renja sulit berkata-kata, otaknya dipenuhi oleh pertanyaan beruntun. Ada banyak hal yang tidak dapat ditangkap oleh otaknya, banyak sekali sampai rasanya ia malas berpikir, mencoba melupakan seperti saat-saat yang lalu.

“Kau tau enggak? Ada penghuni baru di depan.”

“Di depan?”

“Iya, jaraknya enam rumah dari rumahmu. Putra kedua pemilik stasiun TV, yang juga artis lagi naik daun, peran utam dari film—”

“Kenapa artis mau tinggal di sini?” potong Renja.

“Kenapa tidak? Ini adalah tempat tinggal yang sulit didapatkan, loh. Punya uang saja tidak cukup.” Dorie sontak berdiri, berkacak pinggang, telunjuknya mulai merentang menelusuri udara dengan garis strip panjang. “Hutan ini tertata indah bukan hasil alami, melainkan sengaja dibentuk untuk orang-orang yang hidupnya tersisa untuk mencari kedamaian.”

Renja mendongak menatap kepercayaan diri Dorie, bangga berdiri di atas batu kokoh seolah ia baru saja melakukan aksi heroik.

“Lihatlah, Renja. Bagaimana menurutmu tempat ini?”

Renja ikut berdiri, menelusuri pandangannya ke seluruh tempat yang bisa dijangkau oleh mata. Indah, ia sudah menilai demikian sejak pertama kali datang. Tapi setelah disebut oleh Dorie, Renja jadi berpikir lingkungan ini benar-benar terlihat berbeda dari hutan biasa. Tidak ada pohon liar, semua bercabang kokoh mekar seperti kuntum bunga.

“Tanah per meternya saja mahal. Lalu ada aturan khusus melakukan pembangunan hanya dengan kayu, atau boleh dikombinasikan juga oleh batu sungai agar terlihat alami,” Dorie lanjut bicara.

Benarkah yang dikatakan Dorie? Berarti Darel juga bukan hanya seorang montir biasa? Renja mengingat kembali, kali ini dia tidak mengabaikan lagi atau selamanya dia akan bingung. Warga luar yang mendadak hormat saat tahu ia tinggal di sini, satpam penjaga, lingkungan tertata, dan uang Darel yang tidak pernah habis meski ia tampak santai-santai saja di rumah.

“Bos dari bos besar merupakan rata-rata penghuni daerah ini. Mereka tidak perlu repot-repot mencari uang, karena merekalah yang menggerakkan orang menggunakan uang untuk mencari uang.”

Dorie terus mengoceh, tetapi ocehannya kali ini dicerna Renja secara maksimal.

“Renja, kenapa wajahmu pucat?”

“Ti-tidak apa-apa, rasanya agak dingin.”

“Iya juga, hari ini air sungainya sangat dingin.” Dorie kembali duduk di atas batu, membalas pakaian sambil ia bersenandung ceria. “Semoga suami Renja mau ikut liburan bersama kami,” gumamnya memanjakan doa.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang