☘️ Triánta

845 135 22
                                    

🍂🍂🍂

"Alistaire, ini hari pertama kamu kembali ke sekolah setelah cukup lama absen. Tapi lihat apa yang sudah kamu lakukan hari ini!" suara lantang Pak Slamet memenuhi ruangan konseling siang itu.

"Sekolah sudah cukup tenang dan damai selama beberapa minggu ini. Kamu nggak bisa menjadi anak yang baik dan penurut sehari saja?" kembali Pak Slamet berceloteh sebal. Menatap kesal salah satu siswanya yang baru saja membuat masalah tersebut.

Alistaire, siswa yang duduk di hadapan Pak Slamet, yang beberapa menit lalu baru saja membuat masalah itu terdengar menghela napas panjang. Alih-alih mendengarkan celotehan sang guru, anak itu lebih memilih memilin ujung seragamnya yang sudah berantakan.

"Alis, perlu saya memberikan surat panggilan kepada orangtua kamu?!" Pak Slamet tampak semakin murka kala tak mendapat respon apapun dari Alistaire.

"Percuma, Pak. Yang datang pasti bukan ayah saya sendiri. Seperti biasanya." akhirnya Alistaire memberi tanggapan dengan nada malas.

"Kamu sungguh tidak merasa bersalah?" tanya Pak Slamet dengan dahi berkerut.

"Ya buat apa, Pak? Saya memang nggak salah." sahut Alistaire.

Pria paruhbaya itu sungguh tak habis pikir dengan pola pikir salah satu siswanya yang senang sekali membuat keributan tersebut. "Memang tidak pernah ada gunanya saya menegur kamu, Alis." katanya.

Alistaire berdecih sebal tanpa sepengetahuan pria di hadapannya itu. Rasanya ia ingin segera enyah dari ruangan pengap tersebut. Bosan sekali rasanya dengan suasana ruangan menyebalkan tersebut. Sialnya, ia sering sekali berkunjung kesini tanpa keinginannya sendiri.

"Saya akan menghubungi orangtua kamu." final Pak Slamet yang berhasil membuat Alistaire menatap kesal pria di hadapannya itu.

"Nggak fair dong, Pak. Saya nggak sepenuhnya salah disini," Alistaire berusaha membela diri.

"Keluar dari sini dan jalani hukuman yang sudah saya persiapkan!" titah Pak Slamet tak terbantahkan.

"Ini namanya diskriminasi, Pak. Nggak bisa gitu dong. Nggak adil kalau cuma saya yang harus menanggung hukumannya!" Alistaire masih bersikeras melayangkan protesnya.

Pak Slamet acuh tak acuh. "Lantas siapa? Siswa yang sudah kamu buat babakbelur?" katanya hampir sengit.

Alistaire berdecak sebal. Ia sungguh merasa tak mendapat keadilan disini. Padahal ia tak sepenuhnya salah. Tapi guru konseling tersebut seakan melimpahkan semua hukuman hanya padanya. Oh, demi Tuhan, harinya buruk sekali. Seharusnya ia kembali absen saja hari ini jika ia tahu akan mendapat masalah di sekolah. Menyebalkan.

"Kenapa masih disini? Cepat selesaikan hukuman kamu. Saya hanya memberi waktu sampai jam empat sore ini." dingin Pak Slamet.

Alistaire segera beranjak dari duduknya dan berbalik pergi meninggalkan ruangan tersebut.

"Gimana?" pertanyaan itu muncul dari Felix yang sejak tadi menunggu di depan ruang konseling sambil terus memeluk ransel milik Alistaire.

"Brengsek!" sungut Alistaire alih-alih menjawab pertanyaan Felix.

"Demi Tuhan, si Slamet nggak percaya banget kalau gue bilang lo nggak salah!" Felix yang cukup terkejut dengan kemurkaan Alistaire segera memberi penjelasan. Sebelum Alistaire, ia sudah lebih dulu masuk ruangan konseling dan di interogasi oleh Pak Slamet sebagai saksi kejadian perkara yang melibatkan Alistaire.

SADAJIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang