🍂🍂🍂
Lysander mendapati ibunya berada di tengah kolam sore itu. Sambil menyangking ranselnya ia dekati kolam renang cukup luas yang ada di halaman belakang mansion mewah tersebut. Lantas ia mengambil duduk di salah satu sofa yang ada di tepi kolam itu. Memperhatikan ibunya yang masih berendam di kolam seakan menikmati waktu santai sorenya.
"Bunda," panggil Lysander. Jujur saja ia selalu iri setiap kali melihat ibunya berenang. Ia juga ingin melakukannya.
Wanita berpakaian renang hitam itu menyembulkan kepalanya kemudian menepi. "Hey, udah pulang?" tanya Raena sembari tersenyum pada putranya itu.
"Bunda kenapa nggak bilang kalau ketemu Dokter Carlo?" tanya Lysander langsung pada intinya. Tak mengindahkan sapaan sang ibu.
"Lean juga nggak bilang kalau dihukum sama Pak Slamet." sahut Raena masih dengan senyumnya.
Lysander berdecih sebal. Pasti ulah Lionel yang melaporkan semua itu pada ibunya. Salah ia juga tak memperingatkan Lionel untuk tak bicara sembarangan pada ibunya.
"Lean juga nggak bilang kalau ada panggilan dari sekolah buat Bunda." Raena lantas menarik tubuhnya naik, keluar dari kolam renang tersebut.
"Nggak penting juga." Lysander melengos menghindari tatapan ibunya.
Raena menyambar piyama mandinya untuk membungkus tubuhnya yang basah. "Kok nggak penting?" tanyanya kemudian menatap serius putranya.
"Bunda nggak akan bisa memenuhi panggilan itu. Jadi buat apa Lean sampaikan ke Bunda?" Lysander menatap air kolam yang masih belum tenang setelah terusik ibunya tadi.
Raena menghela napas panjang. Benar adanya ucapan Lysander. Ia memang tak pernah bisa memenuhi panggilan dari sekolah jika putranya itu membuat ulah. Tapi sebagai gantinya ia mengirim Lionel untuk itu. Dan selalu berakhir tanpa masalah. Ia bukannya sengaja tak bisa datang, tapi kesibukannya benar-benar menyita waktu. Sebagai seorang ibu memang tak seharusnya ia bersikap seperti ini. Seharusnya ia bisa membagi waktunya untuk Lysander, putranya.
"Lean marah?" tanya Raena.
"Iya, Lean marah dan kecewa." Lysander memberanikan diri menatap ibunya. "Tapi percuma juga." senyum kecut terukir disana.
Raena ikut tersenyum kecut. "Bunda jahat ya? Bunda nggak bisa membagi waktu Bunda buat Lean?" tanyanya.
"Iya, Bunda jahat." sahut Lysander. "Tapi yang Lean punya cuma Bunda. Jadi Lean nggak bisa apa-apa selain bersikap menerima." katanya.
"Lean selalu protes ke Bunda tapi Bunda selalu mengabaikan itu. Lean berhak loh marah sama Bunda. Lean juga berhak membenci Bunda. Kalau semua itu bisa menebus kesalahan Bunda, Bunda akan menerimanya. Asalkan Lean sehat terus dan jangan sakit. Bunda akan membenci diri Bunda sendiri kalau Lean sakit." ujar Raena. Perasaan bersalahnya terhadap putranya seperti terus bertambah setiap harinya. Putranya bukan lagi anak kecil yang bisa selalu ia bohongi. Putranya itu sudah beranjak dewasa dan mengerti banyak hal. Salah satunya diabaikan.
"Tapi Lean nggak bisa benci Bunda." Lysander meremat kedua tangannya sambil menatap air kolam yang perlahan mulai kembali tenang.
"Karena?" tanya Raena.
"Lean nggak tahu. Pokoknya nggak bisa." Lysander menyahut dengan penuh penekanan di setiap katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADAJIWA
Fiksi PenggemarMereka yang satu namun tak dipersatukan oleh takdir. Mereka yang seharusnya bersama namun tak dibiarkan bersama oleh waktu. Dan mereka yang berbahagia namun tak dibahagiakan oleh semesta dan segala isinya. Tentang ia dan ia yang tergores luka tanpa...