☘️ Dódeka

1.7K 160 55
                                        


🍂🍂🍂

Sejak semalam, Raena benar-benar tak bisa memejamkan kedua matanya. Ia tak bisa membuat dirinya terlelap meski seluruh tubuh dan pikirannya terasa sangat lelah. Banyak sekali hal yang mengganggu pikirannya. Salah satunya adalah kemarahan Lysander padanya kemarin malam.

Namun ada hal lain yang lebih rumit yang membuatnya berpikir dan akhirnya terjaga semalaman. Dan hal itu tentu berasal dari kedua orangtuanya sendiri.

Suara telfon berdering membuat lamunan Raena buyar begitu saja. Ia menatap nanar telfon di meja kerjanya yang berdering itu. Sudah deringan kedua namun ia masih enggan mengangkat gagang telfon tersebut. Toh ia sudah tahu siapa yang menghubunginya sepagi ini. Dan pula ia memang menunggu telfon tersebut.

"Halo," Raena akhirnya menempelkan gagang telfon tersebut ke telinganya di dering ketiga.

"Apa yang membuat kamu begitu lama menerima telfon Papa, Sayang?" pertanyaan dari seberang berhasil membuat Raena meremang. Suara berat itu selalu berhasil membuatnya ingin lenyap dari muka bumi tiap kali mendengarnya.

"Can I get the point?" tanya Raena dingin.

"Kamu selalu kurang ajar seperti biasanya," komentar tak kalah dingin Raena dapatkan dari pria diseberang sana yang tak lain adalah ayahnya sendiri.

"Raena harus ke kantor. Papa punya waktu kurang lebih sepuluh menit. It's enough?" tandas Raena.

Pria di seberang terkekeh. "Baiklah, Papa akan langsung pada intinya. Tolong dengarkan baik-baik, Sayang." katanya.

Raena berdecak sebal mendengar panggilan Sayang dari ayahnya itu. Jika kebanyakan anak menyukai panggilan tersebut dari kedua orangtuanya, Raena justru membenci panggilan tersebut. Orangtua lain memanggil anak-anak mereka dengan panggilan tersebut karena mereka memang benar-benar menyayangi buah hati mereka. Tapi orangtua Raena tidak seperti itu. Panggilan itu selalu Raena dapatkan tiap kali ia berbuat kesalahan atau kekeliruan. Orangtuanya adalah manusia-manusia andal dalam menghakimi dan mengintimidasinya melalui kalimat-kalimat atau kata-kata manis seperti itu.

"Raena, kamu benar-benar ingin mempermainkan Papa?" pertanyaan itu sukses membuat perasaan Raena kembali ketar-ketir hebat.

"Soal apa?" Raena bertanya dengan tenang. Meski ia tahu pertanyaan tersebut sudah ia ketahui jawabannya.

"Kamu benar-benar ingin melihat salah satu putra kamu terluka?" pertanyaan dingin kembali Raena dapatkan. Dan pertanyaan kali ini membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.

"Keduanya sudah terluka bahkan sejak baru dilahirkan. Raena ingatkan kalau Papa lupa soal itu." Raena masih berusaha bersikap tenang. Menghadapi ayahnya memang harus lebih tenang dan tak boleh gegabah.

"Jangan memulainya, Raena." sahut suara diseberang.

"Papa, Raena ingin bertanya dengan benar kali ini. Apa yang harus Raena lakukan agar Papa dan Mama berhenti mengganggu kebahagiaan Raena?" tanya Raena yang kedua matanya sudah berkaca.

"Apa lagi yang kamu inginkan, Sayang? Papa sudah mengizinkan kamu merawat salah satu putra kamu. Papa ingatkan kalau kamu lupa mengenai hal itu. Apa itu belum cukup?" kalimat panjang lebar Raena dapatkan sebagai jawaban pertanyaannya.

"Bukankah kamu hanya perlu menjadi ibu yang baik untuk Leandre seperti yang selalu kamu janjikan pada Papa dan Mama?" dingin suara diseberang.

"Kalau begitu Raena juga ingin tahu apa yang Papa inginkan dengan memisahkan Raena dengan belahan jiwa Raena? Karena Papa, Raena harus kehilangan dua belahan jiwa Raena sekaligus." tandas Raena dengan napas tertahan.

SADAJIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang