Part 19

2.7K 57 4
                                        

Setelah perjalanan yang cukup panjang, Raka mendorong kursi roda Gema memasuki sebuah pemakaman. Awalnya Raka bingung, lantaran ia tidak mengira bahwa bertemu seseorang yang di maksud Kaluna saat itu adalah ternyata mendiang ayah kandungnya. Raka memang mengetahui pak Bara merupakan ayah angkat Kaluna, namun sekarang ia pun mengetahui sosok ayah biologis Kaluna setelah berhenti di sebuah makam yang terlihat cukup tua. Terdapat foto ayah Kaluna saat masih muda, sangat mirip dengan Gema.

Raka melirik pada Kaluna yang membawa karangan bunga di tangannya. Pantas saja Kaluna tumben memakai dress hitam yang anggun, ternyata ia ingin menghormati untuk bertemu ayahnya.

Julio Gemario Antonio, Raka membaca nama batu nisan ayah kandung Kaluna. Mungkin nama Gema diambil dari nama tengah sang mendiang dan nama akhir Kaluna merupakan nama yang sama. Badan Raka bergeser, memberi ruang untuk Kaluna berjongkok di pemakaman ayahnya.

"Hai ayah, luna dateng." Kaluna mengusap batu nisan yang terdapat foto ayahnya itu.

Kaluna tersenyum miris, terlihat jelas guratan kesedihan yang terpancar di wajahnya yang cantik. Raka mengusap belakang punggung Kaluna, memberikan dukungan kepada gadis itu.

"Ayah baik-baik aja disana kan? Luna sama Gema di sini baik. Cuman Gema belum sembuh, obatnya aja di hilangin. Kalau ada ayah, pasti ayah yang marahin Gema. Katanya Gema kangen sama ayah, luna juga kangen sama ayah."

"Luna bawa Raka, nanti dia yang bakal nikahin Luna. Kalau dia gamau, ayah gentayangi dia ya?" Sambung Kaluna.

Seketika mata Raka langsung terbuka lebar. Apa-apaan ini? Apa sekarang Kaluna mulai mengajak ayahnya untuk sekongkol mengganggu hidupnya? Mungkin jika di ancam Kaluna, Raka masih bisa menghadapinya. Tapi jika orang yang telah tiada, bukankah itu jauh lebih menyeramkan?

Raka mendengus, "Luna, saya tahu ayah kamu ga senyebelin kamu. Jangan ajak orang yang sudah tenang untuk melakukan pekerjaan konyol."

Gema mengulum bibirnya, menahan tawa. Melihat reaksi Raka yang tak terima, sangat menggelitik humornya.

Kaluna tak menghiraukan Raka, ia meletakkan karangan bunga itu di atas makam ayahnya.

"Nanti ayah punya cucu sepuluh dari Luna sama Raka. Sekarang satu bunga buat ayah, nanti Kalau ayah bantu Kaluna, Luna bakal kasih bunga lebih banyak buat ayah."

Kali ini bukan hanya mata Raka yang melotot, tapi bibirnya ikut ternganga. Otaknya masih mencerna pendengarannya barusan. Sepuluh anak? Kaluna pikir dirinya kucing beranak kah? Sekarang saja, banyak program menganjurkan dua anak lebih baik.

Raka memijat pelipisnya, percayalah ia sudah tidak sanggup. Omongan Kaluna semakin ngawur. Ia merasakan tepukan pada belakang punggungnya. Menoleh, menatap Gema yang nyengir lebar.

"Semangat ya bang, di denger ayah soalnya."

__

"Setelah kepergian ibu saya, papa saya kembali menikah. Sekarang sudah punya keluarganya sendiri di Bogor.Tapi hubungan saya masih berjalan baik sih, saya beberapa kali berkunjung ke sana jika ada waktu luang."

Kaluna menatap serius Raka, mendengarkan detail cerita tentang kehidupan Raka. "Lu ga kesel bokap lu nikah lagi?"

Raka tersenyum, "Sedih pasti,iya. Tapi kalau anak yang sayang sama orang tua, pasti dia akan memahami kok. Tidak mungkin juga saya bisa selalu menemani Papa saya saat sendirian. Butuh seseorang yang menemani, merawat, seperti itu."

Kaluna mengangguk, tidak menjawab apa pun lagi.

Raka tertawa kecil, menarik hidung mancung Kaluna gemas.

Kaluna (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang