"Astaga, gue seneng banget akhirnya lu Sekolah lagi." Caca berjingkrak-jingkrak kegirangan menyambut kehadiran Kaluna yang baru saja menutup pintu mobil.
Baru saja hendak memeluk Kaluna, namun gadis itu sudah terlebih dahulu menahan tubuh Caca agar tidak mendekat. Ia hanya memasang raut wajah datar, tak menghiraukan Caca. Ia justru menyodorkan tas nya pada gadis bertubuh kecil itu. "Bawain tas gue Ca," titah Kaluna.
"Hah?"
"Kenapa? Lu gamau?" Tanya Kaluna, dengan satu alisnya yang terangkat ke atas.
Walaupun Caca memang teman dekat Kaluna di Sekolah, namun bukan berarti gadis cantik itu memperlakukannya seperti sahabat. Justru Kaluna menjadikan Caca seperti seorang babu. Caca menggerutu dalam hati, jika saja ia tidak butuh beasiswa, tidak ingin sekali Caca menuruti Kaluna yang suka memerintah seenak jidat.
Tidak bisa menolak, terpaksa Caca tetap menurut dan meraih tas tersebut dengan raut wajah yang ditekuk. Padahal dirinya berharap selama Kaluna tidak masuk Sekolah, ada sedikitnya jiwa iblis yang keluar di dalam diri sahabatnya itu.
"Lu bawa baju olahraga?"
Baju olahraga? Bahkan Kaluna tidak tahu mata pelajaran apa saja hari ini. Bagi Kaluna, kehadirannya di Sekolah ini saja sudah sangat cukup.
Dengan acuh tak acuh, Kaluna mengedikkan bahu merespons pertanyaan Caca. Mengibaskan rambutnya lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Caca sendiri di tempat. Pagi ini, Kaluna sengaja menyuruh Caca untuk menjemputnya di parkiran Sekolah. Bukan tanpa alasan, ia hanya butuh seseorang membawakan tasnya ke dalam kelas.
Kaluna merasa, saat ini ia tidak butuh siapa pun lagi untuk menemaninya. Entah itu Caca maupun Anna. Baginya, orang yang dianggap lebih dekat justru yang akan menusuknya lebih dalam.
Sementara itu, Caca memutar bola matanya jengah dan berjalan cepat untuk menyesuaikan langkah kaki Kaluna yang mendahuluinya. "Gue kemarin ke Apartement si Anna, tapi kayak ga ada orang deh, Lun."
Wajah gadis itu menoleh, "Lu ga tanya dimana dia?"
"Dari kemarin ponselnya ga aktif. Aneh banget tu anak, masa iya dia udah balik lagi ke Bali. Harusnya kan ada kabar gitu ga sih?"
Kaluna mendengus. Omong-omong, selama beberapa hari ke belakang Kaluna pun merasa tidak ada komunikasi yang terjalin dengan Anna. Ia memang tidak sempat memikirkan orang lain, lagi pula Anna juga tidak mengirimkannya pesan atau pun bertanya kabar saat ia telah mengecek kembali ponselnya.
"Tapi terakhir itu gue sempet ngajakin dia jenguk lu, Lun. Katanya dia lagi ga enak badan. Mukanya juga pucet banget, makanya waktu itu gue niatnya mau ke Apartment dia. Eh bocahnya, kagak ada."
"Nanti gue tanya bonyok nya deh," ucap Kaluna.
Caca mengangguk, sebagai jawaban. Selama perjalanan melewati koridor kelas, lagi-lagi seluruh pusat perhatian tertuju ke arah mereka berdua. Mengingatkannya pada saat awal-awal pertama ia menjadi anak baru di Sekolah ini.
"Gue mau ke ruangan Raka, lu duluan."
Caca mencebikkan bibir, "Awas lu bablas."
Tak menghiraukan Caca, Kaluna berbelok menuju ruangan Raka. Tak lama kemudian, seorang siswa tiba-tiba menghampiri Kaluna. Menepuk bahu gadis itu, hingga membuat Kaluna menoleh. Kaluna kenal orang tersebut, yaitu teman sekelasnya, Oji.
"Lu baikkan?" Tanya Oji berbasa-basi. Posturnya yang menjulang tinggi namun kurus, membuat Kaluna hanya sebatas pundak lelaki itu.
Kaluna tetap berjalan, dengan raut wajahnya yang datar. "Gue ngga kenapa-kenapa," jawabnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kaluna (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction"Kalo gue maunya sama lu, gimana?" "Saya sudah bertunangan, Kaluna." Kaluna putri Antonio, seorang gadis cantik yang mengejar cinta seorang guru Matematika yang sudah bertunangan, Raka Praja Mahesa.