15. Sunset
~Sunset, Davichi~
"Terkadang terlalu banyak ambisi, sampai kita tidak punya waktu untuk menikmati keindahan sekitar."
__________________
Sera sebenarnya sudah mengira-ngira akan kemana ia dibawa pergi oleh orang yang beberapa saat lalu memaksanya ikut dan berciuman dengannya di atap sekolah. Dalam diamnya disepanjang jalan Sera mengatur rencana di dalam rencana, mengantisipasi segala kemungkinan buruk jika saja Shaga berniat melakukan pembalasan akan sikapnya tempo hari lalu.
Namun, saat kendaraan beroda empat itu melewati hutan di kiri kanannya, sebuah cahaya berwarna jingga menanti di depan sana. Mata Sera menyipit untuk menyesuaikan perubahan suasana yang begitu cepat. Hingga Shaga menghentikan mobilnya di pinggir tebing, matahari sebentar lagi terbenam. Pemandangan itu sangat indah hingga Sera merasa hatinya menghangat—cukup lama ia terpana sebelum akhirnya tersadar jika mereka berada di pinggir tebing—Shaga bisa saja mendorongnya dari sini bukan? Keadaan sedang sepi. Shaga bisa dengan mudah memanipulasi kematiannya.
"Ayok turun!" Terlalu lama berpikir, Sera bahkan tidak sadar jika Shaga sudah lebih dulu turun dan membukakan dirinya pintu seraya mengulurkan tangan.
Sera melirik tangan Shaga, "Nggak mau! Gue mau pulang. Siapa yang tahu kalau disini lo apa-apain gue?"
Shaga mengulum senyum gemas, bagaimana bisa ada orang yang memiliki perubahan mood secepat itu. Bahkan Shaga masih terbayang ciuman mereka, tapi lihatlah Sera? Gadis itu bersikap sangat anti padanya di saat beberapa jam yang lalu memaksakan diri untuk melakukan ciuman.
"Nggak akan, Seraphina. Untuk apa? Udah ayok turun, mataharinya lagi cantik banget di luar." Tangan Shaga masih tergantung di hadapan Sera yang menatapnya ogah-ogahan.
"Ya untuk balas dendam, dua minggu lalu kan kita sempat bertengkar hebat. Mungkin aja karena gue bikin tulang tangan lo bergeser, lo juga mau geser gue dari muka bumi ini ke alam baka," oceh Sera keras kepala. Mengabaikan perintah hatinya untuk keluar dan menikmati pemandangan yang jarang ia dapat karena jadwalnya yang super padat. Membuat dirinya kesulitan melakukan kegiatan kesukaannya itu—melihat matahari terbenam tanpa melakukan apapun.
"Oh ya?" Shaga berjongkok di samping mobil yang pintunya masih terbuka. Ia menarik jemari Sera lagi, lalu memainkannya dengan mudah. "Kalau gue mau, udah gue lakuin dari tadi. Nggak harus disini. Nggak harus nempuh perjalanan setengah jam buat bawa lo ke hidden place gue."
"Bisa aja, kan, karena lo mau hilangkan bukti." Tuding Sera semakin menjadi. "Jangan pegang-pegang, ih!"
Shaga terkekeh, bukannya mendengar ia semakin semangat memainkan jemari Sera. Mengelus kuku berwarna itu lalu menekan-nekan telapak tangannya. Shaga ini sebenarnya kerasukan apasih? Sera jadi ngeri sendiri.
"Turun dulu, baru gue lepas, lo yakin nih nggak nyesel karena nggak lihat sunset sebagus ini?" Mulut Shaga itu racun. Sayangnya Sera terbuai dengan racun itu, meminumnya dengan bodoh dan melakukan seperti yang diinginkan pria itu.
Sera duduk di atas kap mobil, dengan tubuh terbalut kemeja sekolah dan rok sekolahnya. Saat Sera terhanyut memperhatikan matahari terbenam yang memancarkan keindahan di langitnya, Shaga justru memusatkan perhatiannya pada gadis cantik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVISIBLE STRING
DragosteKaya raya, cantik, trendsetter, pintar, dan mandiri. Sempurna bukan? Ya, itu Seraphina Zephyra Jenggala. Gadis cantik yang digadang-gadang bisa menjadi Miss Indonesia beberapa tahun lagi jika tubuh gadis itu bisa semakin bertumbuh tinggi. Namun, mem...