DUA PULUH DUA

1.5K 166 17
                                    

Pulang ini Sera ditemani Shaga ke tempat pacuan kuda, gadis itu punya jadwal untuk berlatih. Awalnya Sera tidak ingin ditemani Shaga, karena ia sadar, bersama pria itu tidak akan pernah baik untuk pola hidupnya. Sera takut ia akan terbiasa dan melupakan banyak tujuan awalnya hanya karena terlena dengan perlakuan Shaga yang berubah akhir-akhir ini. Namun, entah sejak kapan Shaga bisa menguasainya begitu jauh, memengaruhi segala keputusan Sera hingga membuat gadis itu duduk di dalam mobilnya. Meninggalkan Zoya yang malang.

"Gue lama lho ya! Lo nggak boleh ngeluh capek juga disana, nggak boleh nunjukkin muka badmood semisal lo bete karena nggak nyaman. Intinya muka lo harus oke terus, soalnya itu pasti akan mempengaruhi mood gue." Sera mengomel panjang dengan wajah seriusnya, menunjuk-nunjuk Shaga yang terlihat tenang-tenang saja di balik kemudinya. 

"Iya, sayang,"ujar Shaga dengan tatapan teduhnya pada Sera.  Menatap Sera yang sedang mengomel-ngomel itu beberapa detik, sebelum akhirnya mulai menjalankan kendaraan beroda empat itu untuk berbaur bersama kendaraan lainnya di jalan. " Ke apart gue dulu ya? Masih ada tiga puluh menit kan, ke tempat lo? Gue buatin makanan dulu sama ganti baju sebentar."

Netra Sera mengerling senis diikutin dengan dengan gadis itu, "Lo mau mesumin gue di sana ya? Enggak ah! Langsung ke tempat latihan gue aja."

"Sayang, nggak perlu mesumin lo ke apart gue, kalau di dalam mobil ini aja bisa. Kita ke sana karena tempatnya bener-bener ada di tengah-tengah antara sekolahan dan tempat latihan lo. Sebelum latihan, lo harus isi asupan dulu, ambisi itu butuh amunisi supaya tetap bisa bertahan, sayang. Kalau amunisi lo aja kurang gimana bisa tetap bertahan bahkan menang?"

"Nggak mau juga! Makanan berat nggak cocok buat gue yang mau beraktivitas berat, perut gue bisa sakit nanti waktu nunggangi kuda. Lo mau tanggung jawab apa?"tanya Sera dengan wajah kesal yang tidak ia tutupi sama sekali. Begitu kentara dan berhasil mengelabui orang lain jika ia merasa kesal.

"Tanggung jawab? Kita kan belum ngapa-ngapain," celetuk Shaga bersamaan senyum jahil yang terbit di wajah rupawan pria berjam tangan hitam di tangan kirinya.

Sera menoleh cepat, otaknya berusaha mencerna dengan baik kalimat yang ia tangkap dari mulut Shaga. Wajah kebingungan yang Sera tunjukkan berhasil mengundang tawa renyah seorang Shaga, terdengar merdu saat mengudara di dalam mobil. Lesung pipi nampak di pipinya.

"Kok, ketawa? Lo pasti lagi ngelakuin satu hal yang nggak gue tahu, kan?" tuding Sera bersamaan dengan ketidaksadaran jika ia benar-benar telah diculik oleh Shaga ke hunian elite yang di kelilingi gedung pencakar langit.

Mobil Shaga berhenti tepat di parkiran basement apartemen, "Udah sampai, Seraphina. Mau turun sendiri atau gue gendong?"

Perkataan Shaga membuat Sera membayangkan ia bergelantungan seperti monyet di balik punggung pria itu—benar-benar bukan seperti Sera—orang yang selalu berjalan tegap di atas kakinya, lalu tiba-tiba digendong tentu saja bukan gaya Sera. Segera Sera mengenyahkan pemikiran bodohnya lalu bergerak turun tanpa Shaga minta dua kali.

Shaga mengeluarkan kartu akses untuk menuju langsung ke lantainya, terjadi keheningan, dengan tangan Shaga yang lagi-lagi sialnya sibuk memainkan jemari Sera. Sedangkan, Sera sendiri tidak perlu ada yang dia tanyakan tentang cara kerja hunian elite ini. Ia tidak sekampungan itu hingga berujung mempermalukan dirinya sendiri.

Saat pintu lift terbuka, keduanya langsung disambut tempat rapih yang menunjukkan kesan mewah dan berkelas. Benar kata Zoya, tanpa perlu memperkenalkan dirinya siapa, hal-hal di sekitar Shaga sudah menjelaskannya dengan baik.

Menenggelamkan sifatnya yang terkadang sangat norak, Sera menyeletuk tidak tahu diri. "Kecil banget!"

Shaga tersenyum maklum, ia menaruh tasnya di sofa empuk yang sangat dekat dengan pintu lift lalu bertepuk tangan dua kali untuk menyalakan secara otomatis alat-alat elektronik di tempat ini. Mendekati Sera lalu menarik gadis itu untuk duduk di kursi pantry, membuat gadis itu membelakangi kaca yang memperlihatkan keindahan puncak gedung pencakar langit.

INVISIBLE STRINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang